• September 20, 2024

Nasib Tina dan 226 WNI yang terancam hukuman mati

Ada kasus serupa yang dialami Mary Jane Veloso, yang saat ini menghadapi hukuman mati beberapa jam sebelum dia dieksekusi, karena dicap sebagai kurir narkoba. Seorang warga negara Indonesia (WNI) terancam hukuman mati di Pengadilan Tinggi Kulai, Johor, Malaysia. ST, inisial WNI, terancam tuntutan hukum di Negeri Jiran karena menjadi kurir sabu.

Pemerintah Indonesia menunjuk firma hukum Norisah & Co. mendampingi ST dan mengajukan banding untuk membebaskan dirinya dari dakwaan. “ST didakwa melakukan Peredaran Narkoba (UU Narkoba Berbahaya 39 B) dengan ancaman hukuman mati,” seperti dikutip dalam siaran pers KJRI Johor Baru, Malaysia, 16 April 2015.

Berita ini saya baca di laman detik.com. Informasi ini hilang dari perbincangan publik di media sosial.

Saya mengajak media dan kita semua untuk membangun perbincangan intensif di media sosial tentang setiap kasus ancaman hukuman mati yang menimpa WNI kita, agar nasibnya tidak seperti Mary Jane Veloso yang dukungannya semakin menguat setelah grasi ditolak. . Saya membaca bahwa bahkan di Filipina terdapat kritik keras dari masyarakat mengenai cara pemerintah Filipina menangani kasus Mary Jane. Lambat.

Namun kita lihat dalam dua minggu terakhir, semua forum, termasuk Forum Konferensi Asia Afrika di Jakarta dan KTT ASEAN di Kuala Lumpur, dimanfaatkan oleh Presiden Benigno Aquino III dan Wakil Presiden Jejomar Binay untuk Presiden Joko “Jokowi. “. Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Saya yakin organisasi-organisasi yang sangat gigih melakukan advokasi terhadap pekerja migran kita, seperti Migrant Care, mengikuti semua kasus ini. Kita perlu memberikan dukungan yang lebih besar kepada teman-teman kita di Migrant Care.
Pada periode 2009-2014, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terdapat 214 kasus WNI yang dibebaskan dari hukuman mati di Malaysia. Warga negara Indonesia umumnya dijatuhi hukuman mati di Malaysia karena pembunuhan atau perdagangan narkoba.

Jika Mary Jane dieksekusi malam ini, meski tak terkecuali Presiden Filipina sudah berbicara langsung kepada Jokowi dan meminta maaf, sulit membayangkan Jokowi punya landasan moral untuk menyelamatkan WNI yang terancam hukuman mati. termasuk ST.

Kasus lainnya adalah nasib Tina, seorang pekerja perempuan yang terancam hukuman mati karena dituduh membunuh majikannya di Kuching, Serawak, Malaysia. Tina, anak di bawah umur asal Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, ditahan Kepolisian Kerajaan Malaysia empat tahun lalu.

Saat ditangkap, Tina berumur 15 tahun. Awal pekan lalu, 21 April, kakek Tina, Aswandi, meminta pemerintah menyelamatkan cucunya dari hukuman mati.

Direktur Jenderal Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Muhammad Iqbal mengatakan, saat ini terdapat 227 WNI yang terancam hukuman mati. Sebanyak 37 orang di Arab Saudi. Kebanyakan di Malaysia yang proses litigasinya mirip dengan Indonesia. Mereka berada dalam tahapan kasus yang berbeda, namun dakwaan awal mereka termasuk dalam kategori yang membawa hukuman mati.

Eksekusi Karni dan Siti Zaenab di Arab Saudi dilakukan tanpa informasi terlebih dahulu dari pihak Indonesia. Pemerintah dinilai kurang gigih memperjuangkan nasib buruh migran yang dijatuhi hukuman mati di luar negeri. Kementerian Luar Negeri membantah hal tersebut, begitu pula Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Validitas data pengguna narkoba

Setelah eksekusi mati terpidana narkoba secara besar-besaran oleh pemerintahan Jokowi sejak Januari tahun ini, dan berlanjut hingga hari ini sebanyak sembilan orang, kembali menjadi pertanyaan, apa argumen Jokowi saat memperjuangkan WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri jika dia pemerintah terus melakukan eksekusi?

Jokowi tidak bisa mengelak dengan mengatakan, “Saya tidak mau bicara soal hukuman mati lagi, tanya Jaksa Agung,” padahal kewenangan pemberian grasi ada di tangannya. Proses hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia masih mencantumkan hukuman mati bagi narapidana narkoba, namun sebagai pemimpin dan kepala negara, Jokowi diberi hak konstitusional untuk mempertimbangkan siapa yang layak dieksekusi. Jokowi bahkan mempunyai posisi strategis untuk menerapkan moratorium hukuman mati, karena penghapusannya memerlukan perubahan undang-undang.

Tapi dia tidak melakukannya.

Dalam sebuah wawancara dengan TV Al-Jazeera 100 hari pemerintahan Jokowi-JK Presiden mengatakan sikap tegasnya menolak grasi bagi narapidana narkoba yang membuka jalan bagi eksekusi hukuman mati oleh kejaksaan didasarkan pada kepeduliannya terhadap masa depan generasi muda kita.

Jokowi menyebut angkanya 50 orang meninggal setiap harinya karena narkoba. Saat ini terdapat 4,5 juta orang yang menjalani rehabilitasi narkoba di Indonesia dan 1,5 juta diantaranya tidak dapat diobati lagi karena sangat kecanduan.

Jokowi bahkan mencari dukungan media di Indonesia atas kebijakannya mengeksekusi narapidana narkoba.

Saya mengapresiasi niat baik Presiden Jokowi. Yang saya tanyakan, datanya dari mana? Asumsinya adalah Badan Narkotika Nasional (NNA) sebagai lembaga yang menangani masalah narkoba, termasuk pencegahan dan penindakannya. Jika ada 4,5 juta orang yang direhabilitasi, berapa rumah rehabilitasi yang harus disediakan?

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pernah berkata: Rumah rehabilitasi yang ada saat ini hanya memenuhi 8% kebutuhan nasional. Dari total 105 unit rumah rehabilitasi di seluruh Indonesia, dua unit dikelola oleh Kementerian Sosial.

“Masing-masing rumah diisi 180 pengguna. Jumlah ini tidak dapat ditangani oleh konselor. Seorang konselor haruscakupan 10 pengguna, tapi di sini, satu konselor man-cakupan 45 orang,” kata Khofifah.

Berdasarkan angka yang disampaikan Khofifah, perkiraan jumlah pecandu narkoba yang dirawat di panti berjumlah 18.900 orang, dari angka 4,5 juta yang disebutkan Jokowi. Lalu di mana sisanya dirawat? Di rumah masing-masing? Di sekolah berasrama? Bagaimana cara BNN atau pemerintah mengaksesnya? Oleh tetangga? Daerah? RSUD?

Claudia Stoicescu, kandidat PhD dari Universitas Oxford, di bidang intervensi sosial telah menulis tentang keprihatinan tersebut Jokowi menggunakan data yang salah. Claudia menulis, angka 4,5 juta pengguna narkoba tersebut diambil dari proyeksi jumlah pengguna narkoba pada tahun 2013. Proyeksi tersebut dihitung oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia dan BNN, sebagai bagian dari laporan. survei penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2008. Survei tersebut melibatkan 2.143 responden.

Menurut Claudia, angka 4,5 juta tersebut bukanlah perkiraan jumlah sebenarnya orang yang tidak dapat mengelola kecanduannya dan membutuhkan pertolongan (misalnya rehabilitasi). Angka ini juga tidak bisa digeneralisasi untuk mewakili prevalensi pengguna narkoba di masyarakat Indonesia. Melalui akun @Claudia85, ia berkata: “Pemerintah memilih data untuk mendukung deklarasi darurat narkoba dan membenarkan kebijakan yang tidak efektif.”

Saya tertarik mengetahui keabsahan angka-angka yang disampaikan Presiden. Ini soal kredibilitas data yang digunakan kepala pemerintahan. Soalnya, angka-angka tersebut menjadi alasan mengapa narkoba dianggap sebagai ancaman serius, bahkan Indonesia sudah dinyatakan sebagai “darurat narkoba”.

Otoritas penjara juga tidak gentar

Pada tahun 2007, Departemen Urusan Terkini ANTV memenangkan Penghargaan Mochtar Lubis dan penghargaan khusus dari Asian Television Award atas investigasinya terhadap “Bisnis Narkoba di Penjara” dalam program Telisik.

Pejabat yang korup dan pengadilan yang korup, menurut saya, menjadi alasan utama mengapa bisnis narkoba ini tumbuh subur, meski sudah ada hukuman mati bagi narapidana narkoba. Jika melihat dari penangkapan-penangkapan yang masih terjadi dan merebaknya bisnis narkoba hingga saat ini, maka dapat dikatakan bahwa terungkapnya supermarket narkoba di penjara pun, seperti diberitakan dalam investigasi tahun 2007, tidak menyurutkan minat untuk berkomitmen dan mengizinkan. tidak punya. kejahatan yang sama.

Tidak ada efek jera bagi pejabat yang seharusnya bertanggung jawab atas pelanggaran seperti ini.

Kita tahu dari kasus Freddy Budiman ada keterlibatan pihak berwenang. Yang tertangkap adalah tingkat sipir. Kepala penjara, sejauh yang diketahui media, hanya dicopot. Menurut saya, jika ditemukan ada bisnis narkoba yang dikendalikan dari lapas, maka kepala lapas dan seluruh sipir di sana juga masuk dalam kategori berbisnis. Hukuman bagi mereka bukan hanya hukuman administratif seperti pencopotan atau pemberhentian.

Namun Jokowi, yang diharapkan bisa membawa angin segar dalam penegakan hak asasi manusia, memilih jalan pintas: eksekusi. Bang!

Perbaikan pengelolaan lapas narkoba perlu segera dilakukan karena hal inilah yang menjadi akar utama tidak adanya efek jera. Bukan eksekusi hukuman mati. Pada pertemuan tingkat tinggi Komisi Hak Asasi Manusia PBB tahun lalu, kata Ivan Simonovic, Asisten Sekretaris Jenderal PBB. Penelitian menunjukkan bahwa tidak ada bukti bahwa hukuman mati mempunyai efek jera.

Peluang Jokowi terbuang percuma?

Tahun lalu, Indonesia kembali terpilih menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB periode 2015-2017. Pemungutan suara dilakukan dalam forum Majelis Umum PBB. Terpilihnya kembali Indonesia sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia merupakan sebuah kado istimewa di hari kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, kata Desra Believe, Duta Besar Indonesia untuk PBB, dalam siaran persnya saat itu.

Kado istimewa itu dibalas dengan menyiapkan regu tembak untuk mencabut nyawa para terpidana, termasuk kurir narkoba.

Kemiskinan adalah masalah lain yang ditimbulkannya. Inilah yang kami baca secara mendalam dalam pemberitaan media tentang Mary Jane. Mengapa kasus ini menarik perhatian publik dan dukungan dari lembaga swadaya masyarakat bahkan Komnas Perempuan? Sebab kasus ini merupakan bukti nyata adanya kejahatan lain yang juga sulit diberantas: perdagangan manusia.

Presiden Jokowi berpeluang menjadikan kasus Mary Jane sebagai pintu masuk untuk mendorong seluruh pejabatnya mengungkap kasus perdagangan manusia. Tapi itu tidak dilakukan. Jawaban Jokowi sederhana saja. Hukum formil. “Hormati supremasi hukum. Hormati kedaulatan setiap negara.”

Maka bersiaplah kita mendapatkan jawaban yang sama ketika kita berusaha memperjuangkan 227 WNI kita yang menghadapi eksekusi di luar negeri. Apakah kita masih punya kredibilitas untuk duduk di Dewan Hak Asasi Manusia ini?

Dosen Universitas Indonesia @RockyGerung mentweet, “Demi HAM, semua pihak dihina setelah memenangkan HAM. Tapi tidak ada yang tertarik untuk pamit. Politik intelektual tidak boleh seperti ini.”

Kita harus lebih serius membela ST, Tina dan 225 WNI lainnya sebelum mereka menjadi Karni, Siti Zaenab dan Mary Jane serta terpidana mati lainnya. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


link alternatif sbobet