• November 26, 2024

Nenek Asyani dan sepenggal kenangan pahit di penjara

SITUBONDO, Indonesia — “Saya ingin buang air kecil.” Permintaan sederhana diam-diam keluar dari bibir Asyani. Wanita berusia 70 tahun itu terbaring lemah di tempat tidurnya. Salah satu kerabatnya membawanya ke toilet di rumah tetangga.

Rumah Asyani yang berukuran 4 x 6 meter itu tidak memiliki toilet. Rumah di Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situndo, Jawa Timur, sebagian berdinding batu bata dan sebagian lagi berbahan triplek.

Hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu, dan dapur. Dinding dapur terbuat dari enam detik atau anyaman rotan. Tidak ada kompor elpiji 3 kilogram yang biasa dimiliki masyarakat miskin.

“Sudah terjual. Ibu memasak bersama Tomang (kompor batu bata),” kata Abdus Syukur, menantu Asyani, saat Rappler berkunjung ke rumahnya, Selasa, 17 Maret.

Di luar dapur terdapat toilet yang tidak terpakai dan tergenang air berwarna kecoklatan. “Kami tidak punya uang untuk membangun toilet,” kata Syukur.

Tidak banyak perabotan di rumah itu. Di ruang tamu hanya ada satu lemari kecil. Tidak ada kursi dan meja.

Hari itu hanya ada satu karpet dan permadani biru kusam. Asyani sedang tidur di tempat tidur. “Tempat tidur itu diberikan oleh seseorang kepada saya,” kata Syuaib, anak ketiga Asyani.

“Ibuku adalah orang terkaya di dunia,” tambah Shuaib sambil tersenyum. Bersyukur bisa tersenyum ketika mendengar penuturan adik iparnya.

Seperti lagu musik legendaris Indonesia God Bless sekalipun rumah kamibagi Asyani, tidak ada yang seindah rumah sendiri. “Lebih baik berada di sini. Anda meminta tiang,” katanya dalam bahasa Madura. Artinya lebih baik berada di rumah, dan dia takut masuk penjara lagi.

“Seperti itulah tampilan lapangannya” atau takut masuk penjara lagi. Ketakutan itu masih menghantui Asyani. “Kaule tidak bisa tedung, kepekkeran terros. Kaule pon toah jangan menikah,” dia berkata. Ia mengaku tak bisa tidur, dan terus memikirkan kemungkinan menghabiskan masa tuanya di penjara.

‘Ibuku bukan pencuri’

Asyani menjalani masa tahanan di Lapas Situbondo sejak 15 Desember 2014 dan mendapat penangguhan penahanan pada Senin, 16 Maret.

Akibat 7 potong kayu jati itu, ia dijerat Pasal 12 juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukumannya adalah 5 tahun penjara.

Shuaib kaget melihat nasib sang ibu. “Ibuku bukan pencuri. Ketujuh batang kayu yang dibawanya merupakan batang kecil dengan diameter 5-6 sentimeter dan panjang 1,5 meter. Kayunya akan dijadikan kursi atau semacam dipan atau tempat tidur kecil untuk pijat anak,” ujarnya.

Asyani selama ini dikenal sebagai tukang pijat anak-anak. Untuk sekali pijat, ia hanya dibayar Rp 5.000. “Saya tidak fit untuk dipijat ibu saya karena saya sudah tua dan tidak punya tenaga. “Tetapi banyak masyarakat yang kasihan dan memanfaatkan jasanya,” kata Syuaib.

Asyani biasanya tinggal sendirian di rumah dan mencari nafkah sendiri, sejak suaminya Sumardin meninggal. Keempat anaknya tinggal di tempat lain. Di dekatnya ada Linda, putri keduanya, yang tinggal di belakang rumah.

Keempat anak Asyani mengetahui kondisi ibunya. Namun mereka juga terjebak dalam kemiskinan dan tidak berdaya untuk membantu.

Mereka sebenarnya punya rumah di Dusun Secangan, Kecamatan Jatibanteng, namun rumah yang tak sebesar itu dijual untuk membiayai pengobatan Sumardin yang menderita penyakit liver, sebelum meninggal 6 tahun lalu.

Juli 2014 lalu, Asyani mengambil 7 batang kayu di Secangan. Keluarga Asyani menyatakan, kayu tersebut busuk dan diambil dari tanah yang dulunya milik orang tua Asyani, bukan dari Perhutani, badan usaha milik negara (BUMN).

“Tanah itu dijual kepada orang lain. Saya lupa kapan dijual. Banyak waktu telah berlalu. Namun sebelum dijual, sejumlah pohon jati telah dipotong kecil-kecil, kata Syuaib. Inilah potongan-potongan yang dibawa Asyani.

Namun Perhutani berkata sebaliknya. Asyani ditangkap dengan tuduhan berat. Seperti diberitakan media massa, 11 Maret 2015, Sekretaris Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur Yahya Amin di Surabaya menyatakan awalnya ada dua pohon jati dengan keliling 115 sentimeter dan 105 sentimeter yang hilang.

Lebih panjang dan lebar dari diameter yang diketahui Asyani, yaitu diameter 5-6 sentimeter dan panjang 1,5 meter. Hilangnya 2 pohon jati menyebabkan kerugian sebesar Rp 4,323 juta.

Polisi hutan dan aparat kepolisian setempat melakukan operasi gabungan pada 7 Juli 2014 dan menyita 38 batang kayu jati ilegal dari rumah Cipto yang bekerja sebagai tukang kayu di Dusun Secangan.

Ukuran kayunya bermacam-macam, mulai dari 90 x 3 x 8 sentimeter hingga 200 x 2 x 15 sentimeter dan yang terkecil 90 x 3 x 8 sentimeter.

Nenek Asyani ditemani salah satu anggota keluarganya saat keluar rumah.  Foto oleh Oryza Wirawan/Rappler

Keluarga Asyani kaget karena bukti yang diberikan di persidangan berbeda dari yang mereka yakini. Perhutani melaporkan Asyani terlibat pencurian 38 lembar papan jati di kawasan hutan produksi Perum Perhutani Jatibanteng, Kesatuan Pengelolaan Hutan Besuki, Sub Kesatuan Pengelolaan Hutan Bondowoso Utara, Kesatuan Pengelolaan Hutan Bondowoso.

“Bagaimana ibuku bisa kuat membawa tongkat sebesar itu? Ibuku hanya membawa 5 kilogram beras, itu tidak kuat,” kata Shuaib.

Sulistyo Wardono, salah seorang tetangga, juga tidak percaya Asyani menyia-nyiakan kayu milik Perhutani. “Bagaimana bisa menebang dan membawa kayu milik Perhutani? “Hanya untuk berjalan, Bu. Asyani harus dibantu,” ujarnya.

Kabar tentang Asyani mengejutkan banyak orang. Bupati Situbondo Dadang Wigiarto dan Wakil Bupati Rachmad menyerahkan diri sebagai jaminan agar sang nenek bisa mendapatkan penangguhan penahanan. Pada Senin, majelis hakim Pengadilan Negeri Situbondo mengabulkan permohonan penangguhan penahanan tersebut.

Syuaib berharap ibunya bisa lepas dari ancaman penjara. “Ibuku sudah tua. “Kalau terjadi apa-apa di sana, kalau sakit atau meninggal di penjara, bagaimana jadinya,” ujarnya.

Selama di tahanan, kondisi fisik Asyani menurun. Bahkan selama persidangan dia tidak sadarkan diri. Sesampainya di rumah, kondisinya belum membaik. “Saya pingsan pagi ini,” kata Linda.

Petugas medis terus memantau kondisi Asyani. Arkan Wahyudi, petugas kesehatan puskesmas setempat, meminta pihak keluarga memindahkan Asyani ke puskesmas.

“Dia harus dipasang infus. “Kondisi badannya lemah, karena kekurangan cairan,” ujarnya.

Namun Asyani menolak. “Buatkan saja aku tagine,” katanya dalam bahasa Madura. Tajin adalah sebutan untuk bubur khas Madura.

Asyani dan keluarganya masih khawatir dengan biaya yang harus mereka keluarkan jika harus berobat ke puskesmas. “Tidak perlu takut. “Tidak perlu bayar, gratis,” ucap Arkan meyakinkan.

Sejumlah jurnalis yang berada di rumah Asyani pun membujuk Syukur untuk membawa ibunya ke puskesmas. “Iya, nanti kita bawa,” akhirnya dia berkata.—Rappler.com

Togel Sydney