Nina tidak bisa menjawab pertanyaan seputar undang-undang pencucian uang
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Kata Nina, UU Pencucian Uang itu keren
JAKARTA, Indonesia—Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nina Nurlina Pramono tak mampu menjawab pertanyaan anggota panitia seleksi Yenti Ganarsih soal UU Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 8 Tahun 2010.
“Saya kira undang-undang ini keren,” kata Nina, Selasa, 25 Agustus, di hadapan panitia, di Gedung Kementerian Sekretaris Negara.
Usai wawancara, Yenti yang ditemui Rappler mengaku kecewa dengan jawaban Nina. “Karena berkaitan dengan pentingnya TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). “Saya kecewa dengan pak ketua yang tidak paham,” ucapnya. Menurut Yenti, Nina harus mempersiapkan diri dan menunjukkan kesungguhannya. Setidaknya dengan membaca undang-undang tersebut.
Nina Nurlina Pramono (57 tahun) adalah mantan Direktur Eksekutif Pertamina Foundation. Suami Nina, Hardy Pramono menjabat sebagai Presiden dan General Manager Total E&P Indonesia.
Untuk memastikan apakah benar Nina tidak memahami undang-undang pencucian uang, Rappler mewawancarainya lagi. Tonton videonya di bawah ini:
Kekayaan Nina pun ikut disorot
Selain soal pengertian, Nina juga ditanya soal kekayaannya. Ia menyebutkan, ia baru satu kali melaporkan kekayaannya ke KPK, yakni pada tahun 2002. Dia tidak ingat persis berapa nilai properti yang dilaporkan.
Namun ia mengaku punya rumah di Jatibening-Bekasi, Lembang, Cinere, Malang, Bandung. Ia bahkan berinvestasi di kondotel di Cipanas, Jawa Barat.
Ia pun mengaku memiliki beberapa mobil. “Terakhir saya membeli mobil BMW senilai Rp 1,7 miliar. Tunai,” katanya. “Ya. Tunai. Tidak apa-apa setelah bekerja selama 30 tahun.”
Nina mengatakan kekayaannya saat ini mencapai Rp 25 miliar.
Terlibat dalam proyek 100 juta pohon
Dalam wawancara tersebut, panel juga menanyakan mengenai program 100 juta pohon senilai Rp 220 miliar saat dirinya menjabat Direktur Eksekutif Pertamina Foundation.
“Kenapa proyeknya hanya 30 persen (terealisasi)?” tanya salah satu panelis, Supra Wimbarti.
Menurut Nina, hal itu merupakan kesalahpahaman auditor publik yang mengambil sampel hanya 0,05 persen. Dari hasil sampel, baru terealisasi 30 persen. —Rappler.com