Ogoh-ogoh: Kreasi pada Hari Raya Nyepi
- keren989
- 0
DENPASAR, Indonesia – Menyambut perayaan Nyepi hari ini, seluruh pelosok Bali diwarnai oleh patung raksasa yang disebut ogoh-ogoh. Patung-patung dalam berbagai bentuk ini mudah ditemukan di berbagai tempat seperti balai banjar.
Di Balai Banjar Gerenceng, Denpasar misalnya, ogoh-ogoh dipajang dalam bentuk bayi raksasa di tengah aula. Patung dengan rangka bambu ini tingginya sekitar 4 meter. Jamurnya berbentuk bayi botak dengan mata melotot dan lidah menjulur.
Empat wujud monster dengan mulut terbuka berisi taring tajam melilit bayi raksasa itu. Melambangkan 4 bersaudara yang mendampingi manusia ketika dilahirkan, yaitu Angkapati, Prajapati, Banaspatipraja dan Banaspati.
Dengan tampilan dan ekspresinya yang sangar, ogoh-ogoh memang dijadikan sebagai simbol butha kala, sesuatu yang jahat di mata umat Hindu Bali.
Bukan tradisi lama
Ogoh-ogoh sebenarnya merupakan tradisi baru di Bali.
“Ogoh-ogoh tidak diatur dalam ajaran Hindu. Hal ini tidak ada dalam Weda. “Jadi bisa dibilang itu hanya tradisi umat Hindu di Bali,” tulis Mpu Jaya Prema Ananda, salah satu pendeta Hindu di Bali, menjawab pertanyaan saya melalui surel.
Menurut Jaya Prema, tradisi ogoh-ogoh muncul karena pada saat Tawur Kesanga, sehari sebelum Nyepi, ada upacara harmonisasi alam semesta. Dalam upacara ini segala sesuatu yang buruk harus dihilangkan, baik sifat manusia maupun sifat buruk yang ada di alam. Sifat-sifat buruk ini dilambangkan sebagai bhuta (siap).
“Semuanya bhuta “Harus dipadamkan dulu sebelum kita melakukan Brata Penyepian atau pantangan di hari Nyepi,” ujarnya.
Jaya Prema yang dulu dikenal sebagai jurnalis Tempo bernama Putu Setia mengatakan, masyarakat Bali yang sangat mencintai seni menjadikan simbol sebagai perwujudan setan. Ogoh-ogoh pun lahir.
Pada awalnya, ogoh-ogoh hanya ditempatkan di tempat dekat upacara untuk mengusirnya mengumpulkan. Setelah upacara selesai, patung raksasa lambang setan itu dibiarkan begitu saja.
Lalu karena bosan membuat ogoh-ogoh, mulai muncul ide mengapa tidak diarak agar lebih meriah. Nah, ogoh-ogoh tersebut kemudian diarak keliling lokasi upacara.
Beberapa saat kemudian, karena banyak masyarakat yang senang, warga mulai mengarak ogoh-ogoh di jalan-jalan kota, kata Mpu Jaya Prema.
Dalam tradisi saat ini menjelang Nyepi, ogoh-ogoh diarak melewati jalan-jalan desa. Di Denpasar hampir seluruh simpang utama seperti Catur Muka, simpang Jalan Gatsu – Jalan Nangka dan lain-lain akan menjadi pusat prosesi ogoh-ogoh.
Saat Pengrupukan, satu hari menjelang Nyepi, ribuan warga akan menikmati parade ogoh-ogoh. Suasana sederhana. Penuh dengan orang, baik penonton maupun parade.
Dari spiritualitas hingga kreativitas dan solidaritas
Perlahan-lahan, dari yang awalnya hanya seram, ogoh-ogoh menjadi lebih variatif. Ada yang berwujud Upin dan Ipin, politisi, gadis kafe, bahkan ada pula yang berwujud Pedanda atau tokoh agama Hindu.
Dari sekedar simbol spiritualitas, ogoh-ogoh telah bergeser maknanya menjadi kreativitas dan solidaritas. Hal ini terutama berlaku bagi generasi muda banjar, unit adat terkecil di Bali.
Untuk membuat ogoh-ogoh sangat dibutuhkan kreativitas dan kekompakan. Dua bulan menjelang Nyepi, para pemuda banjar biasanya mulai membuat ogoh-ogoh. Dibutuhkan waktu antara 1-2 bulan untuk membuat patung raksasa ini.
Misalnya, anggota Sekaa Teruna Teruni (STT), sejenis Karang Taruna, di Banjar Gerenceng, Denpasar, membuat ogoh-ogoh selama satu bulan. Prosesnya dimulai dari pembuatan sketsa, outline, hingga proses finishing akhir.
Nyoman Sanjaya, salah satu anggota STT Banjar Gerenceng, mengatakan, dulu mereka membuat ogoh-ogoh dari styrofoam (gabus). Bahan ini mudah dibentuk.
Hasilnya juga bisa lebih halus dan detail, kata Sanjaya dua hari lalu.
Namun penggunaan bahan gabus yang tidak ramah lingkungan mendapat kritik dari berbagai kalangan. Pasalnya, bahan plastik justru mencemari udara saat dibakar.
Menurut tradisi, ogoh-ogoh sebaiknya dibakar setelah diarak sebagai sarana mengatasi nafsu jahat. Pembakaran gabus dianggap tidak ramah lingkungan.
“Bahan ogoh-ogoh harus ramah lingkungan karena setelah jadi akan dibakar,” kata Mpu Jaya Prema.
Beberapa desa di Bali telah membuat peraturan agar pembuatan ogoh-ogoh tidak menggunakan gabus. Larangan ini bahkan sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Bagi anak muda seperti Sanjaya, larangan tersebut sebenarnya lebih baik. Karena mereka menjadi lebih kreatif ketika membuat ogoh-ogoh. Pekerjaan juga bisa dilakukan bersama-sama.
“Kalau pakai gabus, yang bekerja hanya satu atau dua orang karena hanya mereka yang mampu. Jika terbuat dari bambu sudah bisa “Semua anggota bisa terlibat,” ujarnya.
Keterlibatan anggota lainnya misalnya membuat rangka besi, menganyam bambu, dan melukis.
Jadi kita lebih merasa bersama, tambah Sanjaya.
Komoditas seni
Seiring berjalannya waktu, ogoh-ogoh juga menambahkan fitur lainnya. Ogoh-ogoh saat ini semakin mudah ditemukan dalam ukuran kecil dan dijual kepada anak-anak. Dari sebuah benda yang melambangkan spiritualitas dan solidaritas, kini ogoh-ogoh pun semakin berperan penting sebagai sebuah komoditas.
Bisa jadi I Wayan Candra adalah pembuat ogoh-ogoh paling populer di Bali bahkan Indonesia. Menurut mediaDari bengkelnya di Jalan Sesetan, Denpasar, Candra menjual ogoh-ogohnya ke berbagai tempat, bahkan hingga Papua.
Ia menjual ogoh-ogoh dengan berbagai ukuran dan harga. Ogoh-ogoh mini seukuran boneka Barbie dijual sekitar Rp 250 ribu. Ogoh-ogoh besarnya sekitar Rp 12 jutaan.
Candra juga membuat ogoh-ogoh tidak hanya menjelang Nyepi, tapi juga setiap tahun. Bagi perajin seperti Candra, ogoh-ogoh tidak hanya sekedar spiritualitas dan kreativitas, namun juga sebuah komoditas.
Begitu pula dengan I Wayan Wasnawa, pengrajin ogoh-ogoh di Singapadu, Gianyar. Selama 5 tahun terakhir beliau menjalankan usaha kerajinan ogoh-ogoh mini. Bukan sebagai cara mendekati Nyepi, tapi sekadar sebagai hiasan dan mainan anak.
Ogoh-ogoh ini ia produksi di bengkelnya di pinggir Jalan Singapadu. Setiap hari dia menghasilkan minimal 10 bibit.
Menjelang Nyepi, ia mendapat minimal order 500 bibit. Ratusan ogoh-ogoh ia pajang di etalase bengkel dan tokonya. Dengan warnanya yang cerah dan bentuknya yang sangar, ogoh-ogoh dengan mudah menarik perhatian siapa pun yang lewat.
“Pesanan setiap tahunnya meningkat, bisnisnya bagus,” kata Wasnawa.
Sekitar 20 meter di seberang jalan dari toko Wasnawa, ada kios lain yang juga menjual ogoh-ogoh serupa. Menjelang Nyepi, pemandangan serupa bisa dengan mudah ditemukan di Bali. Ogoh-ogoh kecil dipajang di depan toko sebagai komoditas.
Namun, menurut Jaya Prema, hal tersebut bisa dianggap sebagai penyimpangan. “Sebenarnya ogoh-ogoh dibiarkan untuk melengkapi ritual dan dipajang. “Menyimpang dari inti perayaan Nyepi,” kata Mpu Jaya Prema.
Menurut Jaya Prema, kini sudah ada pembenarannya. Ogoh-ogoh sudah tidak lagi dilibatkan dalam ritual sehingga bisa dipajang setelah diarak. Ia tidak menolak dan menyetujui, namun tidak boleh dikaitkan dengan Nyepi atau ritual Tawur Kesanga.
“Jadi itu hanya ogoh-ogoh yang profan, hanya mainan, bukan sakral,” tegasnya. — Rappler.com