Paket ekonomi Jokowi dikelilingi asap
- keren989
- 0
Terlambat dan terlalu sedikit?
Saya menghubungi sejumlah pengusaha dan analis sejak tadi malam, saat pemerintah meluncurkan Paket Ekonomi Jilid 2, Selasa, 29 September. Pengumuman tersebut disampaikan di Istana Negara oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution yang didampingi sejumlah pejabat, termasuk Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo.
Paket Ekonomi Jilid 2 fokus pada penyederhanaan prosedur perizinan dan insentif pajak bagi penyimpan dana hasil ekspor (DHE) di bank lokal.
Pramono Anung menyampaikan pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa cerita Paket Ekonomi Bagian 2 lebih singkat dibandingkan Paket Ekonomi Bagian 1 yang diumumkan langsung oleh Jokowi pada 9 September 2015.
“Kalau istilah presiden lebih ‘nendang’, karena harapannya sangat mudah dipahami masyarakat dan mudah dilaksanakan,” kata Pramono.
Menurut Pramono, Paket Ekonomi jilid 1 kurang dipahami masyarakat umum dan pelaku usaha sehingga diakuinya merupakan sebuah perjuangan.
Darmin Nasution menggarisbawahi sulitnya memahami Paket Ekonomi Jilid 1. Menurut dia, pada paket sebelumnya ada perubahan jumlah regulasi yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan.
Substansinya tidak terkomunikasikan dengan baik, ujarnya.
Kemudian Darmin menjelaskan perubahan prosedur dan jangka waktu izin investasi kawasan industri dan non industri. Cukup lama.
Media mungkin bingung mengutipnya, lalu hanya menerbitkan yang pendek: prosedur izin investasi dipersingkat menjadi hanya tiga hari. Ini menyangkut izin prinsip, izin perusahaan, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Izin investasi di kawasan industri dikurangi dari 8 hari menjadi 3 jam. Itu hanya menendang-Jkw pic.twitter.com/hGv3lEdx0P
– Joko Widodo (@jokowi) 29 September 2015
Dari kedua pejabat yang sebenarnya mengutip kesan Jokowi, tampak ada kendala komunikasi dalam transmisi paket ekonomi yang dimaksudkan untuk mendorong pemulihan ekonomi. Padahal kata Jokowi, kondisi fundamental perekonomian Indonesia sebenarnya baik.
Masalahnya adalah kepercayaan masyarakat. Kepercayaan masyarakat sangat bergantung pada cara setiap kebijakan dikomunikasikan dan kejelasan konten yang disampaikan.
Saya membayangkan alangkah baiknya jika pemerintah membuat matriks prosedur perizinan, termasuk penjelasan detail terkait urusan administrasi seperti yang disampaikan Darmin tentang notaris dan lain-lain.
Yang dirasakan saat itu adalah paket ekonomi yang diusung Jokowi seolah “menghilang” begitu saja. Masyarakat, pengusaha dan pekerja dibuat bingung, karena permasalahan mendesak yang mereka hadapi saat ini, ancaman PHK belum juga teratasi. Begitu pula dengan insentif yang mendorong ekspor untuk menghasilkan devisa.
“Intinya pemerintah membutuhkan devisa untuk memperkuat rupiah. “Tetapi tidak satu pun dari dua paket yang diluncurkan tersebut yang mendorong hal tersebut,” kata Erry Sofyan, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia.
Menarik untuk melihat reaksi para pengusaha. Mereka berpendapat bahwa paket ekonomi tersebut tidak hanya lambat karena masih memerlukan peraturan implementasi, namun juga mempunyai dampak yang terlalu kecil. Saya mengikuti para pengusaha yang mondar-mandir ke istana menemui Presiden, baik dalam rombongan kecil maupun besar.
Jokowi juga diundang dalam forum ekonomi dan bisnis. Tampaknya paket ekonomi yang diluncurkan dinilai belum memenuhi keinginan dunia usaha? Dimana miskomunikasinya?
Belum lagi Wakil Ketua dan Pendiri Persatuan Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, kini duduk di pemerintahan dan menjabat sebagai Kepala Penasihat Ekonomi di Kantor Wakil Presiden.
Eksportir menilai pemberian diskon pajak DHE tidak akan efektif membujuk eksportir untuk menaruh uangnya di bank dalam negeri. Jika usahanya memerlukan impor bahan baku, tentu mereka akan menghemat dolar, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Belum lagi suku bunga pinjaman investasi dari bank asing lebih murah dibandingkan suku bunga di Indonesia.
Jauh sebelum paket pertama diterbitkan, kalangan perbankan sempat pesimistis amnesti pajak akan melakukan deposit dolar AS di bank asing di dalam negeri.
“Pengusaha yang menaruh dolarnya di luar negeri, biasanya karena membutuhkannya untuk operasional bisnisnya di sana,” kata bankir itu.
Lebih jauh lagi, kalaupun mereka membawa pulang tabungannya dalam dolar AS dan menyimpan uangnya di bank lokal, apa dampaknya terhadap penguatan nilai rupiah? Kecuali jika ada kebijakan drastis yang membuat eksportir mengubah tabungan dolar AS menjadi rupiah, yang berarti permintaan terhadap rupiah semakin tinggi.
Kemarin, 29 September, nilai tukarnya mencapai Rp 14.800 per dolar AS. Lambat.
Padahal, tidak ada salahnya melakukan deregulasi secara besar-besaran, khususnya di bidang perizinan. Itu bagus. Namun hasilnya baru akan terasa dalam enam bulan hingga satu tahun ke depan. Ini juga relatif cepat.
Penyederhanaan prosedur juga tidak mengatasi permasalahan krusial lainnya seperti pembebasan lahan. Investor mengeluhkan ketidakpastian hukum dan sulitnya mendapatkan lahan yang bebas sengketa hukum. Belum lagi persoalan peraturan di tingkat daerah yang menganggap perizinan sebagai bagian dari sumber pendapatan asli daerah.
Solusi mendesak seperti bagaimana meningkatkan daya beli sebagian besar penduduk, mencegah perusahaan melakukan PHK, misalnya dengan memberikan insentif khusus, hingga memudahkan ekspor produk yang mendatangkan devisa, masih belum terealisasi.
Berkali-kali Jokowi menyampaikan fundamental perekonomian baik, sektor keuangan masih dalam kondisi sehat. Namun, tanpa sektor riil yang sehat dan mampu bergerak, maka sektor keuangan pun akan terpuruk. Kita harus selalu waspada terhadap kredit macet, yang dapat mengganggu kesehatan sektor keuangan.
Birokrasi juga merupakan kuncinya. Dalam rapat kabinet kemarin, Jokowi mengingatkan pentingnya birokrasi, mulai dari menteri hingga tingkat di bawahnya, untuk segera melaksanakan paket tersebut.
“Kalau tidak bisa, biarkan saja,” kata Jokowi.
Pada titik ini saya bingung. Kiri?
Menghadiri acara Social Good Summit #2030Now yang diadakan oleh UN Development Office, UNDP dan Rappler Indonesia, Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, mengakui potensi ketidakstabilan yang akan terjadi seiring dengan terjadinya pengangguran dan harga pangan yang tidak terjangkau. Luhut juga menceritakan betapa sulitnya pemerintah memadamkan asap akibat kebakaran hutan di lahan gambut di Kalimantan.
“Dalam hal pemulihan ekonomi, Presiden bekerja keras. Kami bekerja keras. Namun ada juga permasalahan serius seperti kebakaran hutan yang sangat sulit diatasi, ujarnya.
Dunia usaha merupakan komunitas yang lebih memahami dibandingkan kebanyakan orang mengenai situasi ekonomi, dan seringkali juga aspek politik. Jika mereka tidak memahami apa yang akan dilakukan pemerintah agar paket-paket ini bisa dijalankan, bagaimana dengan masyarakat? Sebagian dari mereka merasa cemas akan kepastian mendapatkan penghasilan yang layak seumur hidup. — Rappler.com
BACA JUGA:
Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat dihubungi di @UniLubis.