• November 25, 2024

Pariwisata menciptakan ancaman krisis air di Bali

Sejak lima tahun lalu, setiap pagi menjadi perjuangan bagi Intan Paramitha, warga Kerobokan Utara, Kuta, Badung, Bali. Setiap mau mandi sebelum berangkat kerja, air di kamar mandi tidak mengalir.

“Air PDAM Badung awalnya dimatikan setiap pagi mulai pukul 08.00 hingga 12.00. Lalu off jam 07.00, on jam 15.00. “Makin lama, makin suka,” kata Intan.

Kerobokan, tempat tinggal Intan, merupakan kawasan pusat pariwisata di Bali. Lokasinya berada di antara Kuta dan Canggu. Kuta adalah magnet utama Bali. Sementara itu, Canggu yang dulunya digadang-gadang sebagai kota satelit di selatan Bali, kini menjadi pusat vila bagi ekspatriat dan wisatawan di Bali.

Warga Kerobokan yang terjepit di antara Kuta dan Canggu menjadi korban tumpahan air. Intan hanyalah salah satunya.

Di Kerobokan dan Canggu, banyak vila yang menggunakan sumur bor. Kedalaman sumur mencapai 40 meter atau lebih. Padahal, kedalaman sumur Intan hanya 21 meter. Air belum keluar dari sumur sejak akhir tahun 1990an.

“Hotel tidak pernah punya cerita tentang kekurangan air,” candanya.

Kekurangan di hulu

Intan, teman saya yang juga staf salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Denpasar, tidak sendiri. Teman saya yang lain, Agus Sumberdana, juga menjadi korban krisis air.

Keluarga Agus dulunya tinggal di kawasan Sidakarya, Denpasar Selatan. Orang tuanya bekerja membuat dan menjual tauge. Pembuatan tauge memerlukan air bersih dan segar, yang dulunya mudah didapat. Namun sekitar lima tahun lalu, mereka terpaksa pindah ke Beraban, Tabanan, sekitar 15 km dari Denpasar.

Air sumur di rumah lama mereka di Denpasar semakin asin. Tidak bisa digunakan untuk membasahi dan merendam kedelai hingga bertunas.

Garam pada air sumur di rumah Agus disebabkan adanya intrusi air laut ke sumur warga. Rumah mereka berjarak sekitar 2 km dari pantai. “Dulu airnya hanya segar. Tapi sekarang makin asin,” kata Agus saat berbincang.

Kalau contoh kasus Intan dan Agus masih belum cukup, yuk ke Jatiluwih, di kaki Gunung Batukaru, Tabanan. Kawasan ini berada di bagian hulu Bali yang menjadi sumber pasokan air bagi sebagian besar penduduk pulau tersebut. Pasalnya, para petani di sini mulai merasakan kekurangan air.

Sekitar tiga tahun lalu di Jatiluwih, saya bertemu dengan seorang perempuan petani yang sedang menyiram padi di sawahnya dengan selang. Hal itu dilakukannya karena air sedang surut. Ibu petani itu kemudian menceritakan kisahnya. Dulu, ia hanya menyalurkan air melalui saluran-saluran di sawah. Kini, ketika air tidak lagi mengalir lancar melalui saluran, ia terpaksa menggunakan selang.

Contoh-contoh ini akan bertambah panjang jika Anda menelusurinya hingga ke rumah-rumah penduduk dan pedalaman Bali. Namun fakta tersebut tidak akan terasa jika kita berada di fasilitas pariwisata seperti villa dan hotel. Mereka selalu menyediakan air berlimpah di kamar mandi atau kolam renang.

Seperti yang dikatakan Intan, hotel dan vila tidak pernah kekurangan air. Air di kolam mereka selalu melimpah ketika sumur dan pemandian warga mengering.

Banyak untuk wisatawan

Penelitian Stroma Cole, peneliti dari University of the West of England, mungkin bisa menjawab caranya Krisis air akibat pariwisata di Bali memang terjadi. Bukan sesuatu yang dibuat-buat dan dilebih-lebihkan.

Lima tahun lalu, Cole meneliti bagaimana pertempuran air antara pariwisata dan penduduk terjadi di Bali. Menurutnya, penggunaan air wisatawan di dunia rata-rata 10 kali lipat dari standar umum. “Namun wisatawan di Bali mengeluarkan biaya hingga 100 kali lipat,” kata Cole dalam diskusi air di Denpasar baru-baru ini.

Menurut data Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Denpasar, satu orang rata-rata menggunakan 196 liter air. Badan Pusat Statistik (BPS) versi 183 liter. Artinya, merujuk data Cole, satu wisatawan di Bali menggunakan hampir 2.000 liter hingga 20.000 liter air.

Jumlah tersebut kurang lebih sama dengan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali. Berdasarkan data PHRI, konsumsi air wisatawan di Bali sekitar 1.300 liter per orang per hari. Besarannya tergantung jenis hotel atau lokasinya.

Sebagai gambaran, wisatawan di Kuta rata-rata menggunakan air 800 liter per hari, Kuta dan Seminyak sekitar 1.400 liter, Jimbaran 2.340 liter, dan Ubud 3.270 liter. Ubud terkenal dengan fasilitas pariwisatanya yang eksklusif. Penggunaan air oleh wisatawan meliputi pemandian, spa, dan kolam renang.

Melimpahnya air untuk pariwisata nampaknya ironis jika dibandingkan dengan tidak terjangkaunya air bagi warganya sendiri. Tak hanya di daerah kering seperti Karangasem, tapi juga di pusat-pusat pariwisata di Bali Selatan.

Padahal, menurut Cole, akses terhadap air merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). “Air harus mudah didapat, aman, mudah diakses dan cukup untuk semua orang,” ujarnya.

Cole kemudian membandingkannya dengan jumlah kasus diare di Bali. Lima tahun lalu, saat ia melakukan penelitian, kasus diare di Bali menduduki peringkat kedua tertinggi di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah minimnya akses air bersih bagi warga.

Jadi Cole dengan getir berkata, “Pariwisata di Bali membunuh orang”.

‘Mengejutkan dan memalukan’

Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati, Ketua PHRI Bali, tak menampik fakta tersebut. “Ini mengejutkan dan memalukan. “Pariwisata yang menurut kami memberikan kontribusi besar bagi Bali, justru dikira akan membunuh masyarakat Bali,” kata Tjok.

Namun, Tjok mengatakan fakta dan data yang disampaikan Colre didasarkan pada sudut pandang dan kepentingan yang berbeda. Hal ini tidak bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi Bali secara umum.

“Kesalahan tidak bisa hanya ditimpakan pada pariwisata sebagai satu-satunya penyebab,” katanya.

Meski demikian, ia tetap memastikan Bali memang sedang mengalami krisis air. Tjok yang juga seorang pengusaha pariwisata membandingkan kondisi saat ini dengan 20 tahun lalu. Pada tahun 1992 perusahaan arung jeram (arung jeram) di kawasan Ubud dapat mengangkut 1 perahu setiap lima menit.

Saat itu, air sungai untuk arung jeram masih melimpah dan berlimpah.

Dengan air sungai yang melimpah, harga per wisatawan bisa mencapai 68 dolar. Namun saat ini arung jeram lebih sulit dilakukan karena air sudah jauh berkurang. Tarifnya pun turun menjadi hanya sekitar Rp 200 ribu.

Untuk memastikan krisis tidak bertambah parah, Tjok mengingatkan pemangku kepentingan pariwisata di Bali untuk mempertimbangkan daya dukung Bali dalam pengelolaan pariwisata.

“Mari kita berhenti sejenak, pikirkan lagi, apakah wisata seperti ini yang kita inginkan saat ini?” dia berkata. —Rappler.com

Anton Muhajir adalah seorang penulis dan blogger di Bali. Ikuti Twitter-nya @antonemus.


Togel Singapore Hari Ini