Pelantikan Jokowi mengecoh
- keren989
- 0
Apakah pelantikan Jokowi-JK bisa digagalkan? Hal ini tidak mungkin
Menyebar saat ini kekhawatiran jika proses pelantikan Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019 tidak bisa berjalan lancar. Penyebab utamanya adalah pendukung mantan calon presiden Prabowo Subianto yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). dicurigai akan bermanuver untuk menghalangi proses pelantikan mereka.
Diduga ada upaya untuk menggagalkannya ditolak oleh Ketua Majelis Parlemen (MPR) terpilih periode KMP 2014-2019, Zulkifli Hasan. Namun hingga saat ini kekhawatiran masyarakat belum surut. Relawan Jokowi-JK bahkan berniat menggelarnya aksi massal untuk mengawasi proses pelantikan pasangan presiden dan wakil presiden pilihannya.
Mungkinkah pelantikan Jokowi-JK benar-benar bisa digagalkan oleh KMP?
Undang-undang tentang Majelis Volksraadgewende, Volksraad, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) Nomor 17 Tahun 2014 mengatur dalam Pasal 33, Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dilantik dalam sidang paripurna MPR.
Masih berdasarkan undang-undang MD3, pasal 34 Ayat 5 kemudian menyatakan, “dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat 4 (dalam ayat ini dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah sidang paripurna MPR untuk pengukuhan presiden terpilih dan wakil presiden), Presiden dan “Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji secara khidmat di hadapan sidang paripurna DPR.”
Bagaimana jika MPR dan DPR tidak bisa melantik presiden dan wakil presiden terpilih? Dalam ayat 6 pasal yang sama dijelaskan, “Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 5, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau janji khidmat di hadapan pimpinan DPR. MPR memberikan kesaksian melalui pimpinan Mahkamah Agung.”
Jadi, ada tiga pilihan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI: melalui sidang paripurna MPR; melalui rapat paripurna DPR; atau cukup dengan mengucapkan sumpah atau ikrar di hadapan pimpinan MPR dan Mahkamah Agung.
Saat ini memang KMP mengendalikan pimpinan DPR dan MPR. Artinya, mereka pasti bisa gagal pada satu pilihan, yakni pelantikan dengan sumpah atau janji di hadapan pimpinan MPR dan Mahkamah Agung.
Kubu Jokowi-JK masih memiliki Oesman Sapta yang terpilih menjadi salah satu Wakil Ketua MPR dari kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode lima tahun ke depan. Oesman Sapta terkenal mendukung Pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Namun perlu diingat, menurut pasal 15 UU MD3, yang dimaksud dengan “pimpinan MPR” adalah satu ketua dan empat wakil. Jika salah satu orangnya tidak terwakili, maka ia tidak disebut sebagai “pemimpin MPR”.
Merujuk pada Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib MPR Pasal 67, syarat sahnya keputusan sidang MPR, selain amandemen UUD 1945 dan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, adalah minimal tingkat kehadiran 50 persen ditambah satu dan tingkat persetujuan minimal 50 persen ditambah satu dari seluruh yang hadir. Sekalipun keputusan diambil berdasarkan musyawarah mufakat, ketentuan terkait tingkat kehadiran tetap berlaku.
Mari kita analisa kompilasi perolehan suara dalam proses pemilihan Ketua MPR terakhir. KMP memperoleh 347 suara, sedangkan Koalisi Indonesia Raya (KIH) pendukung Jokowi-JK memperoleh 330 suara. Jumlah suara yang dikeluarkan sebanyak 677 orang dari 692 anggota MPR (560 anggota DPR dan 132 anggota DPD) periode 2014-2019.
Jika kita asumsikan 15 orang yang tidak menggunakan hak pilihnya semuanya pro KIH, maka kubu KMP masih memiliki 347 suara yang mewakili 50,14% suara anggota MPR saat ini. Jika angka kehadiran 100% diterima, KMP bisa menghentikan pelantikan Jokowi-JK jika 347 orang tersebut kemudian tidak menghadiri rapat paripurna pelantikan yang akan berlangsung pada 20 Oktober mendatang.
Terkait rapat paripurna DPR, simak tata tertib DPR berikut ini Ini, Setidaknya ada dua syarat sahnya keputusan paripurna DPR. Pertama, kehadiran anggota dan unsur fraksi di DPR sebagaimana diatur dalam bagian 245 Tata Tertib DPR, yakni harus dihadiri minimal 50 persen anggota DPR yang mewakili minimal separuh fraksi yang ada. Selanjutnya, dalam situasi pemungutan suara, tingkat persetujuan minimal adalah 50 persen ditambah salah satu dari jumlah yang hadir.
Di DPR, KMP (minus PPP yang punya menyeberang ke KIH) menguasai 253 kursi, sedangkan KIH dengan tambahan amunisi dari PPP menguasai 246 kursi. Tak satu pun dari mereka yang memiliki kendali lebih dari 50 persen, sehingga mereka dapat sepenuhnya mengendalikan situasi.
Kalaupun KIH dapat menghadirkan seluruh pengurusnya, namun mereka tidak akan mampu memenuhi syarat minimal kehadiran untuk sahnya keputusan dalam rapat paripurna DPR, sekalipun syarat keterwakilan fraksi terpenuhi (lima fraksi dari sepuluh fraksi). . di DPR). Di sisi lain, kubu KMP yang saat ini hanya beranggotakan empat fraksi jelas tak mampu memenuhi kedua syarat tersebut.
Kesimpulannya, jika dinamika di MPR justru menghambat proses pelantikan Jokowi-JK di tingkat MPR, maka harapan terakhir mereka adalah bisa sampai ke Istana melalui paripurna DPR. Sebab, seperti telah dijelaskan sebelumnya, opsi pelantikan dengan sumpah atau janji di hadapan pimpinan MPR dan MA sangat rentan dihalangi oleh KMP. Jika mencermati perhitungan di DPR, besar kemungkinan peran Partai Demokrat sebagai kekuatan penyeimbang kembali menjadi penentu seperti yang kita lihat dalam proses pengesahan rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah (RUU Pilkada) sebelumnya. .
Semua perhitungan di atas tentu saja didasarkan pada satu asumsi dasar, yakni KMP memang berniat menghentikan pelantikan Jokowi-JK. Mari kita bersikap baik dulu sampai tanggal 20 Oktober.
Haryo Wisanggeni adalah produser konten di jasar.com, portal opini seluruh elemen masyarakat Indonesia. Ikuti Twitter-nya @HaryoWisanggeni
Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Selasar.com