• November 25, 2024
Pemeriksaan anggota DPR RI harus mendapat izin presiden

Pemeriksaan anggota DPR RI harus mendapat izin presiden

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Keputusan Mahkamah Konstitusi dinilai tidak konsisten karena lembaga eksekutif dan legislatif tidak ‘satu ruangan’.

JAKARTA, Indonesia – Kini tak mudah bagi penegak hukum untuk meminta keterangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) yang diduga melakukan tindak pidana.

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 22 September memutuskan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR RI harus mendapat persetujuan Presiden.

Keputusan ini bermula dari gugatan warga bernama Supriyadi Widodo Eddyono dan Persatuan Masyarakat Reformasi Peradilan Pidana terhadap Pasal 245 Undang-Undang tentang Majelis Parlemen, Volksraad, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah. (UU MD3) No. 17 Tahun 2014.

Dalam gugatannya, mereka meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan penerapan pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD 1945.

Alih-alih mengabulkan permohonan, Mahkamah Konstitusi justru mengubah ketentuan pasal yang menjadi objek gugatan, serta pasal 225 ayat 5 karena dianggap berkaitan.

Jika sebelumnya berdasarkan UU MD3, proses pemanggilan keterangan anggota DPR RI dan permintaan keterangan harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), kini persetujuan serupa harus diperoleh Presiden bagi anggota DPR. diminta.

Bahkan, Mahkamah Konstitusi juga dalam pertimbangannya menyatakan hal tersebut juga harus diterapkan kepada anggota MPR dan DPD.

Sedangkan bagi anggota DPRD, persetujuan tertulis harus dari Menteri Dalam Negeri.

‘Kontroversial’

Menanggapi putusan tersebut, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai putusan MK tidak konsisten.

“Mahkamah Konstitusi tidak konsisten. Mereka pernah membatalkan perlunya izin presiden untuk memeriksa kepala daerah, padahal tetap saja demikian masuk akal “Ingatlah bahwa kepala daerah adalah perpanjangan tangan presiden,” kata Donal kepada Rappler, Selasa.

“Tapi sekarang anggota legislatif harus izin presiden. Mereka berada di ruangan yang berbeda.”

Donal juga menambahkan, Mahkamah Konstitusi melampaui kewenangannya dengan putusan tersebut karena memutuskan sesuatu di luar apa yang diuji dan berpotensi menimbulkan kekacauan hukum.

Komisi Pemberantasan Korupsi tidak terpengaruh

Menurut Donal, upaya penegakan hukum yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian bisa terganggu jika penyidikan terhadap anggota legislatif yang diduga melakukan tindak pidana hanya bisa dilakukan atas persetujuan presiden dan menteri dalam negeri.

Namun bagaimana dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? “KPK tidak terpengaruh karena mengikuti undang-undangnya sendiri mengenai KPK,” kata Donal.

KPK sendiri sudah memastikannya.

“SSepengetahuan kami KPK terikat dengan UU KPK yang mana spesial (khusus), serta tata cara pelaksanaannya. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tidak dimaknai sebagai berikut: hukum tidak tertulis (undang-undang akan diterapkan, namun belum ada ketentuan pelaksanaannya) UU KPK,” kata Indriatno melalui pesan singkat, Selasa.

“Kami terikat dengan UU KPK. “Jika terjadi perdebatan maka itu soal keadilan yang juga harus dihormati oleh pihak-pihak yang berkepentingan,” ujarnya lagi.

Berikut isi lengkap putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 76/PUU-XII/2014:

Rappler.com

BACA JUGA:

Togel Singapore