• October 7, 2024
Pemutusan kontrak ala PT Liga Indonesia merugikan pemain

Pemutusan kontrak ala PT Liga Indonesia merugikan pemain

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

PT Liga Indonesia menyarankan klub-klub ISL untuk menerapkan kebijakan pemutusan kontrak. Pemain hanya mendapat 25% dari total nilai kontrak.

JAKARTA, Indonesia – PT Liga Indonesia (LI) menyarankan klub-klub Liga Super Indonesia (ISL) untuk menerapkan kebijakan pemutusan kontrak atau pemutusan kontrak. Pemain hanya mendapat 25% dari total nilai kontrak.

Keputusan ini disepakati dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) antara PT LI dan klub-klub ISL pada Rabu, 13 Mei 2015. Para pemain menuding kebijakan tersebut diambil secara sepihak.

Padahal, rata-rata pemainnya sudah dikontrak klub sejak Desember 2014. Mereka berlatih dari Desember hingga Mei. Alasan pihak klub dan PT LI ada syaratnya sangat kuat sebagaimana ditetapkan PSSI per 2 Mei 2015

(BACA: Serangan Balik PSSI: Hentikan Semua Kompetisi)

“Itulah yang kami minta. Pemain berada pada posisi yang dirugikan karena keputusan bersyarat sangat kuat yang bersifat sepihak. Harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Apakah kondisi ini benar adanya sangat kuat atau tidak? Haruskah kontraknya diputus atau tidak?” kata Presiden Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) Ponaryo Astaman, Senin 18 Mei.

PT LI tak menanggapi protes asosiasi pemain. Meski demikian, Direktur Utama PT LI Joko Driyono berpendapat langkah tersebut merupakan jalan tengah atau solusi terhadap kondisi persaingan yang tidak menentu.

“Ini adalah proposal kami yang juga diterima oleh klub-klub. Ini (25% dari kontrak) adalah nilai minimum. “Kalau klub mau memberi lebih, terserah klub masing-masing,” tegasnya.

Namun sumber di dalam klub menyebutkan bahwa usulan tersebut sengaja diberikan agar pihak klub tidak mengalami kerugian. Selain itu, klub yang masih menunggak gaji bisa menghindari pembayaran gaji lebih besar kepada pemainnya.

Dengan adanya PT LI yang pro untuk klub, mereka bisa tetap berada di barisan yang sama saat menghadapi Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan Tim Transisi. Sebab, sejumlah klub mulai melakukan pendekatan kepada pemerintah setelah PT LI menyatakan seluruh kompetisi ditangguhkan.

(BACA: Klub ISL Mulai Konsolidasi Tanpa PSSI)

Selain itu, pemutusan kontrak dilakukan agar para pemain segera mempersiapkan kontrak baru di pramusim untuk menyambut musim baru ISL. Dengan kata lain, pihak klub berusaha melepaskan diri dari beban finansial dengan mengorbankan hak-hak pemain.

APPI menuding hal itu merupakan siasat klub untuk memutus kontrak dengan pemain dan menghindari kewajiban membayar gaji.

Padahal, jika melihat kesepakatan kontrak antara klub dan sang pemain, setidaknya sang pemain mendapatkan uang muka (DP), atau uang muka, ditambah gaji bulanan dari bulan Desember sampai Mei. Nilainya jelas lebih dari 25% yang disiapkan pihak klub.

Pasalnya, beberapa klub sudah memberikan uang muka sebesar 25% dan kemudian membagi 75% sisa kontrak sang pemain selama 12 bulan. Jika hanya membayar 25%, pemain tidak akan pernah menerima kompensasi apapun.

“Ketika kontrak diputus, pemain seharusnya mendapat kompensasi selain DP yaitu gaji 4 bulan serta kompensasi bulan berikutnya. “Ini sesuai UU Ketenagakerjaan,” tambah Valentino Simanjuntak, General Manager APPI, Selasa 19 Mei.

Untuk itu, APPI sebagai organisasi resmi dan perwakilan organisasi pemain profesional dunia (FIFPro) mengutarakan gerakan para pemain sepak bola profesional. Mereka menyebutnya gerakan #FootballersUnited.

Selain ajakan menolak terminasi secara sepihak beserta alasannya sangat kuat, ada klaim lain yang dinilai APPI sangat tidak profesional. Hal ini terkait dengan fakta bahwa pemain tidak bisa berpindah klub meski kontraknya telah diputus.

“Kami menghimbau kepada seluruh anggota APPI dan para pemain pro untuk menolak usulan PT LI yang diajukan kepada klub, yakni tidak memperbolehkan pesepakbola berpindah klub. Karena berdasarkan aturan hukum apapun (hukum kontrak nasional dan peraturan FIFA) tidak ada kewajiban bagi seorang pesepakbola untuk bertahan di klub jika kontraknya diputus. “Merupakan hak pesepakbola untuk memutuskan apakah dia akan bermain untuk klub mana pun,” demikian pernyataan APPI.

Kebijakan pemutusan kontrak ini sebenarnya diterapkan pada era dualisme kompetisi sepak bola di Indonesia pada 2011-2013. Liga Utama Indonesia (IPL) memilih membayar gaji 2,5 bulan dari masa kompetisi 6 bulan. Namun, PT LI mengambil langkah populer dengan tidak melakukan hal serupa, meski klub-klubnya menghadapi kesulitan keuangan.

Namun di era ISL tahun 2015, PT LI akhirnya meniru langkah IPL. Tentu saja kebijakan ini sangat merugikan para pemain. PT LI hanya sekedar stempel legalitas kebijakan yang merugikan pemain. Seperti saat PT LI membiarkan klubnya menunggak gaji pemain. –Rappler.com

slot online