• October 8, 2024

Pengungsi, pengikut Ahmadiyah Lombok tinggal di kamp pengungsian

MATARAM, Indonesia — Permukiman Wisma Transito di Desa Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) sekilas tampak seperti desa biasa. Setiap perkampungan kumuh ibarat kost-kostan yang berderet-deret kamar.

Hal yang membedakan pemukiman ini dengan desa lainnya adalah pagar yang mengelilinginya. Wisma Transito merupakan tempat penampungan jemaah Ahmadiyah.

Karena berbeda penafsiran ajaran Islam, nyawa mereka terancam hingga terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan mencari rumah baru. Mereka menemukannya di Wisma Transito.

Jemaat Ahmadiyah di Transit bertempat tinggal di 3 gedung aula yang ada disana. Dalam satu aula terdapat sekitar 9 ruangan sempit yang saling terhalang dengan pencahayaan normal.

Tirai blockout juga beragam. Ada yang menggunakan bahan tripleks, kayu bekas, sarung, karton bekas, bahkan spanduk untuk kampanye partai politik. Ruangan yang ada di shelter ini rata-rata berukuran 3 x 3 meter persegi. Di ruangan kecil ini, tempat tidur dan dapur menjadi satu.

Berlindung di negara Anda sendiri

Pada hari Selasa tanggal 5 Mei 2015, peserta Workshop Pers Kampus yang diselenggarakan oleh Persatuan Jurnalistik untuk Keberagaman (SEJUK) mengunjungi Jemaah Ahmadiyah di Wisma Transito. Penulis adalah bagian dari grup ini.

Disana kami mendengar cerita dari mereka, orang-orang yang telah menjadi pengungsi di negaranya sendiri selama hampir 10 tahun.

Saat kami turun dari kendaraan kami melihat anak-anak kecil sedang bermain di halaman depan. Di sudut lain, beberapa warga sedang ngobrol. Sesaat kemudian Syahidin (49), koordinator pengungsi jemaah Ahmadiyah, datang menyambut kami dan mempersilakan kami masuk ke dalam masjid.

Di dalam masjid, para syuhada berbagi pengalaman menyakitkan tentang kehidupan mereka sendiri dan teman-teman mereka yang mengalami nasib yang sama.

“Kami diusir dari rumah kami oleh sesama Muslim yang terprovokasi. Padahal, sebelumnya tidak terjadi apa-apa. “Kami hidup berdampingan secara damai, hingga akhirnya kejadian ini terjadi,” kata Syahidin.

Peristiwa yang dimaksud Syahidin terjadi sekitar tahun 1999. Saat itu, masjid milik jamaah Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat dibakar orang. Mereka menuntut agar jamaah Ahmadiyah meninggalkan keyakinannya. Satu orang tewas dalam kejadian ini.

Di pulau yang jargonnya Lombok, Pulau Seribu Masjid, kasus serupa terulang kembali 7 tahun kemudian. Pada bulan Februari 2006, komunitas Ahmadiyah yang tinggal di Ketapang, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat menjadi korban vandalisme dan pembakaran rumah.

Kejadian tahun 2006 ini juga mengakibatkan pengusiran. Jemaah Ahmadiyah tidak berani kembali ke rumahnya.

Berakar pada kesalahpahaman

Ahmadiyah memaknai setelah Nabi Muhammad SAW wafat, muncullah nabi berikutnya sebagai pembaharu. Dialah Mirza Gulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Hal ini kemudian membuat sebagian kalangan Islam mengatakan bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam.

Namun bagi pengikutnya, Ahmadiyah tetap menjadi bagian dari Islam. Tidak ada yang membedakannya dari segi syariah dan syahadat.

“Kitab suci kita sama, Al-Quran,” kata Nashrudin, mubaligh Ahmadiyah yang mendampingi para Syuhada saat itu.

“Kami sangat menyayangkan adanya kesalahpahaman terhadap ajaran Ahmadiyah. Karena kesalahpahaman itulah yang menjadikan kita seperti sekarang ini. “(Kesalahpahaman) pun bertambah ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan ajaran Ahmadiyah tidak bisa diterima umat Islam lainnya,” kata Syahidin.

Sebagai informasi, MUI memang sudah menghubungi fatwa yang menyatakan ajaran Ahmadiyah sesat, sebuah fatwa yang kerap dijadikan alasan untuk menyerang Ahmadiyah.

Bayangan kegelapan

Sejak dipindahkan ke Wisma Transito, umat Ahmadiyah hidup dalam kegelapan. Kebanyakan dari mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap. Untuk mencari nafkah, mereka bekerja serabutan, seperti bekerja sebagai kuli atau tukang ojek.

“Berbeda sekali dengan kondisi saya sebelumnya di kampung halaman. “Dulu saya punya toko yang menjamin kelangsungan hidup saya sehari-hari,” kata Asisudin (55), seorang pengikut Ahmadiyah.

Sebelum pergantian pemerintahan pada tahun 2014, umat Ahmadiyah kesulitan mendapatkan layanan publik dari pemerintah, seperti pembuatan kartu identitas. Namun sejak tahun 2014, mereka akhirnya bisa memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan diakui sebagai warga negara.

Terkait penyerangan dan pengrusakan yang dialami komunitas Ahmadiyah, Syahidin mengaku belum mendapatkan keadilan secara utuh.

“Kami sudah melaporkannya, tapi sejauh ini belum ada kejelasan proses hukumnya,” kata Syahidin.

Anak-anak juga menjadi korban

Penderitaan tidak hanya menimpa orang dewasa, namun juga anak-anak pengikut Ahmadiyah. Seringkali mereka mendapat perlakuan yang diskriminatif, seperti tidak diterima oleh temannya, diejek bahkan dipukuli.

Misalnya, Nur Aini Syahidah, siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 16 Mataram, kerap dikucilkan saat duduk di bangku kelas akhir sekolah dasar. Aini bercerita, teman-temannya yang mengetahui orang tuanya adalah pengikut Ahmadiyah kerap mengolok-oloknya.

“Kamu Nabi, bukan Muhammad,” kata Aini menirukan sindiran temannya.

Akhirnya ‘transit’ ke pemukiman terbuka

Warga Ahmadiyah yang terusir dari kampung halamannya cukup diterima oleh lingkungan sekitar di Desa Majeluk.

“Kami sangat terbuka. Kami juga sering mengundang mereka (pengikut Ahmadiyah) ketika ada acara. “Sebaliknya,” kata seorang ibu asal Majeluk.

Menurut ibu lainnya, saat kelurahan mengadakan pengabdian masyarakat, jemaah Ahmadiyah Transito juga turut serta.

“Perbedaan keyakinan bukan berarti kita tidak berinteraksi dengan komunitas Ahmadiyah,” ujarnya.

Selama 9 tahun menduduki Wisma Transito, jemaah Ahmadiyah tidak pernah mengalami gesekan dengan warga sekitar. Hal ini dibenarkan oleh Asisudin, seorang pengikut Ahmadiyah.

Menurut Asisudin, seharusnya situasi idealnya seperti itu. Setiap orang harus menerima perbedaan yang ada, termasuk dalam urusan agama.

Masih menaruh harapan pada pemerintah

Syahidin mengaku belum mengetahui sampai kapan dirinya akan ditempatkan di Wisma Transito. Namun, dia berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka.

“Kami warga negara Indonesia, namun perlakuan yang kami terima selama ini seolah-olah kami tinggal di negeri sendiri,” kata Syahidin. Rappler.com

Penulis, Ahmad Muzakky Al-Hassan, adalah seorang pelajar di Singaraja, Bali. Ia aktif di pers mahasiswa. Artikel ini merupakan hasil Workshop Pers Kampus yang diselenggarakan oleh Persatuan Jurnalistik untuk Keberagaman (SEJUK)

link sbobet