• November 23, 2024

Perdebatan mengenai pernikahan beda agama kembali muncul di Indonesia

Terlepas dari perdebatan apakah pernikahan beda agama harus diakui secara hukum atau tidak, muncul pertanyaan apakah pernikahan harus bergantung pada agama.

JAKARTA, Indonesia – Perdebatan yang sudah berlangsung lama mengenai pernikahan beda agama di Indonesia muncul kembali minggu ini setelah sekelompok mahasiswa dan alumni hukum Universitas Indonesia berupaya agar sebuah pasal dalam undang-undang perkawinan yang berusia 40 tahun dinyatakan inkonstitusional. .

Perdebatan berkisar pada Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “suatu perkawinan sah apabila dilangsungkan menurut hukum yang berlaku pada agama dan kepercayaan masing-masing pihak”.

Meskipun hal ini tidak secara spesifik mengecualikan pernikahan beda agama, hal ini umumnya ditafsirkan sebagai hal yang sama karena tidak ada pernikahan sipil di Indonesia dan pasangan harus menikah berdasarkan salah satu dari 6 agama yang diakui secara resmi di negara ini – Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Apa kata para pemimpin agama?

Majelis Ulama Indonesia (MUI), otoritas tertinggi dalam bidang Islam – agama yang dianut oleh 88% penduduk Indonesia – mengatakan Al-Quran melarang pernikahan beda agama. “Tidak bisa ditawar,” anggota MUI Anwar Ibrahim dikatakan pada hari Jumat, 5 September, sebagai tanggapan atas permohonan di pengadilan.

Namun kelompok Muslim lainnya menafsirkan Al-Quran secara berbeda dan tidak menemukan masalah dengan pernikahan beda agama. “Umat Islam memiliki penafsiran berbeda terhadap Alquran, termasuk surat yang membahas tentang pernikahan,” kata Zainun Kamal dari Yayasan Paramadina, sebuah lembaga keagamaan dan sosial yang didirikan pada tahun 1986 oleh mendiang ulama Islam Nurcholish Madjid, kepada The New York Times. Jakarta Globe pada tahun 2010.

Di sisi lain, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyatakan Gereja Katolik pada dasarnya tidak bisa melarang pernikahan beda agama.

“Gereja hanya bisa menghimbau masyarakat untuk menghindari pernikahan beda agama. Ada hal yang harus diperhatikan,” kata Pdt. Kata Hibertus Hartono MSF, merujuk pada persoalan seperti persetujuan keluarga, agama apa yang akan dianut anak-anaknya, dan lain-lain.

Namun, dia mengatakan gereja sadar bahwa merupakan hak asasi manusia untuk memiliki keyakinan apa pun. Ia juga mengatakan bahwa cinta harus melampaui agama.

“Pada akhirnya, gereja tidak bisa memaksa pasangan non-Katolik untuk masuk Katolik. Pada saat yang sama, kami meminta umat Katolik yang menikah dengan non-Katolik untuk menikah berdasarkan ritus Katolik,” katanya dikatakan.

Hak untuk menikah

Pada praktiknya, sulit bagi pasangan beda agama untuk menikah di Indonesia. Beberapa orang berhasil melakukan hal ini dengan menggunakan kartu identitas palsu yang menunjukkan bahwa mereka menganut agama yang sama, atau dengan bantuan organisasi keagamaan bersimpati pada penyebabnya. Jika semuanya gagal, salah satu pasangan harus pindah agama, atau pasangan tersebut mungkin memilih untuk menikah di luar negeri.

“Penafsiran (UU Perkawinan) menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Anbar Jayadi, salah satu pemohon, kepada Mahkamah Konstitusi saat sidang perdana perkaranya, Kamis, 4 September seperti dikutip Kompas.com.

Anbar mendalilkan pasal yang dimaksud bertentangan dengan ketentuan konstitusi tentang persamaan di depan hukum, hak berkeluarga dan mempunyai anak melalui perkawinan yang sah, serta hak beribadah menurut keyakinan masing-masing.

Namun di luar perdebatan apakah pernikahan beda agama harus diakui secara hukum atau tidak, Anbar berpendapat demikian pernikahan tidak boleh bergantung pada agama.

Sebaliknya, ia mengatakan pemerintah harus menjamin hak warga negara untuk menikah tanpa memandang agama, dan ia menemukan sekutu di Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia.

“Dari sudut pandang hak asasi manusia, setiap warga negara berhak untuk berkeluarga dan mempunyai anak,” kata Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila seperti dikutip Kompas.com.

Namun Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, selain negara Islam, Indonesia juga bukan negara sekuler yang tidak mengakui nilai-nilai agama.

“Orang Indonesia sangat religius. Mereka menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Di negara mana pun, pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Pernikahan tidak lepas dari nilai-nilai agama,” ujarnya dikutip Seperti Yang Dikatakan.

Namun, kata Mahkamah Konstitusi Anbar untuk lebih menyempurnakan petisi mereka, sehingga tampaknya perdebatan tidak akan berakhir dalam waktu dekat. – Rappler.com

lagutogel