• November 24, 2024

Perempuan Minangkabau, saktikah?

Hari Kartini yang terjadi belakangan ini selalu mengingatkan saya pada masa dimana saya merasa terpesona dengan peran perempuan di suku Minangkabau. Sayangnya, kejutan tersebut tidak berlangsung lama.

Saya masih duduk di bangku sekolah dasar ketika saya mengetahui bahwa suku Minangkabau mengatur keluarga mereka dengan cara yang sangat berbeda dari suku lain di Indonesia. Buku pelajaran menjelaskan bahwa keluarga Minang dihitung dari garis ibu, dan warisan diwariskan kepada perempuan. Laki-laki Minang yang menikah maka yang pindah ke rumah keluarga istrinya, bukan sebaliknya. Kesannya, perempuan memang mempunyai kedudukan istimewa, bukan sekedar “pengikut” laki-laki seperti pada kebanyakan suku lainnya.

Saat itu saya merasa bangga karena saya memiliki darah Minang, padahal saya tidak dianggap Minang karena darah itu mengalir dari ayah saya, bukan dari ibu saya – dia orang Sunda. Dalam istilah Minang, tante atau adik ayahku yang dipanggil “bako-ma” akan memanggilku “anak pisang”. Nama saya tidak akan dicantumkan dalam ranji atau silsilah keluarga, namun saya biarkan saja, karena yang penting bagi siswa SD adalah saya merasa bangga menjadi bagian dari sesuatu yang berbeda. Kebanggaan itu menyusut ketika aku pulang sekolah dan mendiskusikannya dengan ayahku.

Nampaknya, meski Minangkabau menganut sistem kekeluargaan matrilineal, namun sistem kekuasaannya tidak bersifat matriarkal, yang mana perempuanlah yang memegang kendali.

Di sisi lain, Minang, seperti banyak suku lainnya, merupakan masyarakat patriarki. Laki-laki adalah pengambil keputusan. Pada suku Minang, mamak atau paman menjadi pemimpin dalam wilayah rumah tangga saparuik (satu perut, satu ibu). Datuak adalah pemimpin di wilayah sukunya yang meliputi salah satu neneknya. Penghulu menjadi pemimpin marga (satu leluhur), sedangkan wali nagari merupakan pemegang kekuasaan formal di nagari.

Dalam salah satu penelitian Lembaga Penelitian Perempuan di Solok, Sumatera Barat, disebutkan bahwa meski perempuan mewarisi tanah, namun kenyataannya banyak kasus. paman yang menjual warisan tanpa izin dari kakaknya. Sementara itu, tampaknya sulit untuk berharap bahwa pemerintah daerah akan mengalokasikan anggaran untuk reformasi sertifikasi tanah, sehingga hak-hak perempuan untuk mewarisi dan memutuskan penggunaan tanah dapat dilindungi.

Saya tidak akan menyerah untuk berusaha “membela” keistimewaan perempuan Minang. Bertahun-tahun kemudian saya menemukan konsep Bundo Kanduang. Secara harafiah kedua kata itu berarti “ibu kandung”, namun dialah sosok yang menunjukkan hal tersebut kedudukan mulia perempuan Minangkabau dalam tatanan masyarakat tradisional. Perempuan tidak hanya berfungsi sebagai penerus keturunan, namun juga terlibat dalam musyawarah dalam keluarga, kota, daerah, dan desanya.

Tapi aku menahan diri lagi. Berbeda dengan kegagalan usaha Belanda untuk menundukkan Bundo Kanduang, Bisa dikatakan Orde Baru berhasil melakukan kooptasidengan melembagakannya secara formal. Bundo Kanduang yang sebelumnya sempat kritis terhadap penyelenggaraan pemerintahan nagari, justru menjadi instrumen legitimasi politik Orde Baru. Peranan lembaga Bundo Kanduang direduksi hanya sekedar hiasan upacara adat dan kenegaraan.

Menyusutnya peran Bundo Kanduang juga tercermin dari sedikitnya jumlah perempuan Minang yang memenuhi syarat menjadi anggota legislatif. Pada Pemilu 1999, keterwakilan perempuan Secara politis, jumlah penduduk Sumatera Barat kurang dari 10%, padahal jumlah penduduk provinsi ini adalah 41,7 juta jiwa, dengan proporsi perempuan sebesar 51%.

Perempuan yang duduk di DPRD Sumbar hasil pemilu itu hanya berjumlah 4 orang. Pada pemilu legislatif nasional dan provinsi tahun 2009 hanya ada 7,1% anggota DPRD Sumbar. Tepatnya hanya 1 perempuan, sedangkan 13 anggota legislatif lainnya laki-laki. Pada pemilu 2009, Sumatera Barat menduduki peringkat ke-9 dari bawah dalam hal persentase anggota legislatif perempuan.

Ayahku berusaha mengobati kekecewaanku. Faktanya, masih ada perlindungan hak perempuan atas harta pusako, yaitu harta warisan, katanya. Setidaknya hak mengurus warisan keluarga masih berada di tangan perempuan. Sedangkan harta yang diperoleh seorang ayah dapat diwariskan kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.

“Tetapi pembagian keluarga besar yang dulunya tinggal bersama di rumah gadang menjadi keluarga inti menghilangkan perlindungan bagi perempuan. “Kebebasan dibayar dengan meningkatnya risiko bagi perempuan, yaitu tidak adanya perlindungan sosial,” lanjutnya memupuskan harapan saya akan keistimewaan perempuan Minang.

Keadaan semakin pelik karena selalu terjadi perseteruan antara masyarakat Minang yang sangat menganut sistem matrilineal dengan pihak yang ingin meruntuhkannya karena tidak sesuai syariat Islam. Salah satu konflik nyata dan penuh kekerasan yang diakibatkan oleh konflik ini adalah Perang Padri.

Kaum Padri, ulama neo-Wahabi yang dipimpin Imam Bonjol, tidak hanya memprotes matrilinealitas, tetapi juga praktik tradisional lainnya seperti sabung ayam dan pelaksanaan ritual Islam yang cenderung tidak bermoral. Perang puluhan tahun belakangan ini membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai tanah Minang. Pada awal abad ke-20, peran perempuan dalam masyarakat dan definisi rumah serta keluarga menjadi fokus perdebatan di Minangkabau. Bahkan kini konflik adat dan syariat Islam masih terus terjadi di kalangan masyarakat Minang.

Namun menurut Jeffrey HadlerFaktanya, sistem matrilineal bertahan hanya karena diidealkan dan diperkuat di hadapan kritik Padri. Saat itu, kaum Padri membatasi diri dan akhirnya bersikap fleksibel, bahkan bersedia berdamai dengan para pembela adat. Dengan rumus”kebiasaan gabung dengan syarak, syarak gabung dengan kitab Allah“(adat istiadat berdasarkan syariah, syariah berdasarkan kitab Allah, Alquran) Kaum Padri dan tokoh adat mengkompromikan dan melestarikan keunikan budaya Minangkabau. Sistem matrilineal tidak bertahan meski ada serangan dari kaum Padri, namun bertahan karena serangan itu.

Saat ini saya mencoba untuk optimis. Bagaimanapun, nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat tidak ada dalam ruang hampa, sehingga peluang perubahan selalu ada. Semoga hal ini membawa kita ke arah yang lebih baik lagi, yaitu lebih menghargai perempuan, baik di suku Minang maupun suku lainnya.

Oktober mendatang akan tiba di sana Festival Matrilineal Internasional di Sumatera Barat. Komunitas dengan sistem keluarga matrilineal akan berkumpul untuk berbagi cerita tentang marga mereka. Akan ada perwakilan suku dari Kerala, India; Mosu, Tiongkok; Patani, Thailand; dan Negeri Sembilan, Malaysia. Sedangkan dari Indonesia, selain suku Minangkabau, ada juga suku Semende yang berasal dari Sumatera Selatan; Enggano dan Muko-Muko di Bengkulu; Kuantan, Kampar dan Rokan di Riau; dan Kerinci di Jambi.

Siapa tahu kita bisa tercerahkan untuk mengangkat status perempuan di dunia yang cenderung patriarki, dibandingkan sekadar melihat kerusuhan merayakan sesuatu yang palsu atau tidak ada. —Rappler.com


Bunga Manggiasih menaruh perhatian pada kebijakan publik karena berinteraksi dengan pengambil kebijakan selama bekerja sebagai jurnalis. Setelah lulus dari program magister kebijakan publik Erasmus Mundus, ia bekerja sebagai juru tulis di sebuah lembaga nasional. Di waktu luangnya ia memberikan dukungan untuk blog bungamanggiasih.com dan akun Twitter @bungtje.

akun demo slot