• October 7, 2024

Pilih cinta di ibu kota

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Kisah awal seorang pria asal Jakarta mencari cinta di tengah kemacetan

Butir-butir keringat menetes dari dahiku. Wajahku memerah. Rambutku basah. Setelah bekerja dan berolahraga selama satu jam, saya berbaring di bangku panjang gimnasium ruang tamu Itu.

Aku mengambil botol air mineral yang setengah kosong dari meja bundar di depanku. Sebelum bibirku menyentuh mulut botol, seorang wanita – yang juga bermandikan keringat – menyodok bahuku dengan jari telunjuk mungilnya.

Dia tampak berhati-hati seolah tidak ingin menyentuh tubuhku yang berkeringat.

“Maaf, Tuan,” katanya pelan. “Itu bukan botol airku, kan?”

Saya memandangnya. Lalu mataku kembali tertuju pada botol minum itu, kembali melihat ciri-ciri botol itu dan mencoba membedakan apakah itu benar-benar botol milik gadis itu.

“Hmm… tidak,” kataku. “Ini milikku.”

“Oh begitu. Jadi, botolku mana, kawan?” dia bertanya sambil melemparkan pantatnya ke bangku panjang di sebelahku.

“Oh, aku tidak tahu, Kak,” jawabku sambil tersenyum.

Hening sejenak.

Sebenarnya saya masih meragukannya. Benarkah botol ini miliknya? Namun aku segera menghilangkan keraguanku dan segera meneguk air minumnya. Bodoh sekali, pikirku. Saya sangat haus.

Dia menatapku yang sedang minum.

Aku merasakan tatapannya dari sudut mata kiriku.

“Apa namanya?” Saya meminta untuk memulai percakapan.

Samantha.Kamu?

“Abdul,” jawabku singkat.

“Abdul?” Dia tampak terkejut. Matanya melebar.

“Iya, Abdul Qowi,” kataku meyakinkan, “Kenapa? Apakah ada yang aneh?”

“Oh, tidak apa-apa,” jawabnya sambil tersenyum singkat. “Namanya ndeso sangat. Itu tidak cocok dengan wajah metropolitanmu.”

Dan tiba-tiba sebuah penggalan lagu itu terlintas di benakku sakitnya tuh disini. Siapa tahu. Apakah itu pujian (metropolitan) atau cemoohan (ndeso).

Aku dibuat bingung olehnya. Cantik sekali. Tapi kenapa mulutnya mirip knalpot Bajaj, ternyata tidak ada Saring?

Sejak kecil aku merasa minder dengan nama pemberian kakekku. Abdul. Kenapa rasanya jadul banget ya?

Sedangkan untuk teman lainnya namanya terdengar lebih modern dan rumit, seperti Erick, Mario, atau bahkan Andika dan Bayu. Setidaknya, lebih Indonesia dibandingkan Abdul.

Baru di bangku SMA, mata saya terbuka akan kenyataan bahwa Abdul Qowi adalah nama yang unik, jarang dimiliki orang lain.

Sejak saat itu saya merasa nyaman menggunakan nama Abdul. Meski terkadang orang akan mengernyitkan kening ketika saya menyebut nama saya Abdul, sama halnya dengan Samantha.

Melanjutkan, apa yang harus saya lakukan Haruskah aku lari ke pantai dan…

Ah, apalah arti sebuah nama, kan?

Cerpen di atas merupakan awal kisah seorang pemuda berusia 27 tahun yang di tengah kesibukannya sebagai pekerja tinta, berusaha mencari cinta di Jakarta dan membangun otot.

Bang Dul akan kembali lagi Jomblo Metropolitan Minggu depan. Jangan terlambat. —Rappler.com

BACA JUGA:

Abdul Qowi Bastian adalah editor Rappler Indonesia. Dia dapat ditemukan di Twitter @aqbastian


Togel Singapura