• November 22, 2024
Pilkada oleh DPRD, langkah mundur menuju demokrasi

Pilkada oleh DPRD, langkah mundur menuju demokrasi

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Gagasan pilkada oleh DPRD merupakan wacana yang justru mengingkari semangat dan tujuan besar demokratisasi di Indonesia.

Pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) di Volksraad (DPR) kembali mengangkat gagasan pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Mekanisme pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota ini menggantikan mekanisme sebelumnya, yakni pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.

Awalnya wacana ini muncul sebagai gagasan yang diajukan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berdasarkan dua hal besar. Pertama, tingginya biaya pemilukada pasca-konflik (baik biaya pengorganisasian pejabat maupun pelaksanaannya). Kedua, munculnya konflik horizontal dan aksi kekerasan pada pilkada langsung.

Jika dikaji secara mendalam menurut pendekatan konsolidasi demokrasi, gagasan pemilu daerah oleh DPRD merupakan wacana yang justru mengingkari semangat dan tujuan besar demokratisasi di Indonesia.

Demokrasi memerlukan peningkatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang sebesar-besarnya, penguatan transparansi proses politik dan konstitusi, serta terjaminnya akuntabilitas dalam peralihan kekuasaan dan kepemimpinan, baik dalam skala nasional maupun lokal, sehingga lahirlah pemimpin yang benar-benar bertanggung jawab. orang-orang mereka.

Politik itu mahal

Alasan tingginya biaya politik penyelenggaraan pilkada langsung menjadi alasan yang tidak bisa membenarkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Belum ada penelitian ilmiah yang dapat memastikan bahwa biaya pilkada oleh DPRD jauh lebih efektif dibandingkan pilkada langsung. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa biaya politik “tidak resmi” untuk membeli perahu bagi sebuah partai di DPRD jauh lebih kecil dibandingkan dengan menyelenggarakan pemilu langsung oleh rakyat.

Untuk mengatasi mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada, adalah dengan segera memperbaiki kualitas peraturan penyelenggaraan pilkada itu sendiri. Sebab, dari segi isi, harus diakui bahwa regulasi yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada memang jauh lebih terbelakang dibandingkan regulasi Pilpres dan Legislatif tahun 2014. Bahkan UU 32/2004 juncto UU 12/2008 yang berlaku saat ini sudah terlalu banyak ketentuannya yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (KH).

Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah hanya fokus membuat regulasi yang bisa menekan maraknya politik uang, “jual beli perahu politik”, dan suara elektoral, serta penegakan hukum dan sanksi tegas atas pelanggaran yang terjadi. Peraturan keuangan kampanye pemilukada yang ada saat ini juga sangat ompong dalam membendung penyalahgunaan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye.

Singkat kata, peraturan yang ada justru “mempermudah” terjadinya penyimpangan yang berujung pada mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada. Hal ini terbukti dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan secara sistematis, masif, dan terstruktur yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjadi domain penyelenggara pemilu untuk menyelesaikannya. Namun hal tersebut tidak bisa terwujud karena peraturan yang ada tidak bisa mewujudkannya sehingga harus diambil alih oleh Mahkamah Konstitusi.

Pilkada dan konflik

Argumen mengenai konflik atau kekerasan horizontal dalam pilkada juga tidak dibarengi dengan data yang kuat mengenai aksi kekerasan yang masif. Misalnya pada tahun 2010 setidaknya telah terjadi 244 pilkada, jika kekerasan hanya terjadi di 10-20 daerah saja (misalnya Mojokerto, Toraja, Humbang Hasundutan, Sumbawa, dll) belum tentu melegitimasi bahwa pilkada identik dengan kekerasan. Padahal, pembangunan politik merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dan partai politik yang perlu ditata lebih baik.

Menyikapi hal tersebut, DPR sebaiknya lebih fokus memperbaiki isi peraturan yang dapat menjamin kualitas pilkada, memilih sistem pemilu yang efisien (misalnya usulan pilkada serentak dan pilkada hanya satu putaran), menekan kenaikan tersebut. politik uang dengan membuat aturan penegakan hukum yang jelas/tidak multitafsir dan disertai sanksi tegas, serta aturan dana kampanye yang tidak sekedar formalitas. Daripada mundur selangkah untuk menyelenggarakan pilkada melalui DPRD.

Jadi, DPR berpihak pada suara rakyat. Mari perkuat perjalanan demokratisasi Indonesia dan tinggalkan semangat tambal sulam dengan menghadapi kepentingan sementara. Karena rakyat akan selalu mengontrol suaranya. —Rappler.com

Titi Anggraini adalah Direktur Eksekutif Asosiasi Pemilu dan Demokrasi (Butuh mereka).

Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Gedung Pemilihan.


uni togel