Pilkada Surabaya: angin segar bagi Risma
- keren989
- 0
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini akhirnya bisa lolos pada Pilkada Serentak 2015. Namun, masih ada liku-liku yang patut diwaspadai.
SURABAYA, Indonesia – Warga Surabaya bisa bergembira. Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya akhirnya bisa digelar. Tri “Risma” Rismaharini yang berpasangan dengan Whisnu Sakti Buana akhirnya mendapat lawan. Mereka adalah pasangan Rasiyo dan Dhimam Abror.
Rasiyo-Abror maju dengan dukungan minimal kanan 10 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surabaya: Partai Demokrat 6 kursi dan Partai Amanat Nasional (PAN) 4 kursi.
Hampir seperti Risma, Rasiyo dikenal sebagai birokrat. Berbeda dengan Risma yang meniti karir sebagai birokrat di Pemerintahan Kota Surabaya, seluruh karier Rasiyo dihabiskan di Pemerintahan Jawa Timur.
Rasiyo merupakan mantan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur yang kemudian diusung oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo menjadi Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur menggantikan dirinya. Di sinilah akhirnya orang mengetahui bahwa Rasiyo adalah orang dekat Pakde Karwo –sapaan akrab Soekarwo.
Bismillahirrohmanirrohim Partai Demokrat resmi mengusung Rasiyo-Dhimam Abror untuk mencalonkan diri di Pilkada Surabaya. Mohon doa restunya.*Pakde Karwo*
— Pakde Karwo (@pakdekarwo1950) 10 Agustus 2015
Pencalonan Rasiyo-Abror mengakhiri drama kegalauan pemilihan kepala daerah (pilkada) Surabaya, sekaligus mengakhiri drama kelakuan calon yang kabur saat pendaftaran. Sebelum Rasiyo-Abror tampil, publik dihebohkan dengan pasangan Abror sebelumnya, Haries Purwoko, yang lolos dari nominasi.
Haries melarikan diri karena alasan yang lebih mirip alasan anak sekolah menengah untuk pergi ke perkemahan daripada alasan politisi: Orang tuanya tidak mengizinkannya.
Dan Pakde Karwo hanya bilang: “Ini urusan internal keluarga seseorang. Saya tidak bisa ikut campur.”
keluarga yang sudah memasuki ranah privasi seseorang, tidak etis jika saya ikut campur dalam keluarga Haris *Pakde Karwo*
— Pakde Karwo (@pakdekarwo1950) 3 Agustus 2015
Di sini kita ingin tertawa atau khawatir atau bingung. Keduanya bersatu karena terkejut.
Beruntung duet Rasiyo-Abror akhirnya muncul. Mereka mendaftar pada hari terakhir masa perpanjangan pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya, Selasa, 11 Agustus. Untungnya, baik Rasiyo maupun Abror tidak tiba-tiba harus ke toilet saat mendaftar ke KPU.
Namun, kubu Risma belum boleh bergembira dulu. Sebab, upaya “membajak” Pilkada Surabaya masih ada. Surat rekomendasi PAN yang diterima kedua pasangan itu bermasalah. Surat tersebut tidak memiliki tanda tangan atau stempel asli.
Surat itu hanyalah sebuah hasil memindai.
KPU masih bertoleransi. Ketua KPU Surabaya Robiyan Arifin menyetujui surat tersebut. Namun, kedua pasangan wajib menyerahkan surat rekomendasi asli dalam waktu 5 hari.
Artinya, Pilkada Surabaya belum bisa dipastikan terlaksana pada akhir tahun ini. Tunggu 5 hari lagi untuk melengkapi dokumen.
Apakah Pilkada Surabaya masih bisa ditunda? Sangat mungkin. Wangstrategi memiliki kebutuhan Pergi ke toilet pun bisa dengan izin orang tua, apalagi dengan surat rekomendasi yang bisa dengan mudah dilakukan –meminjam istilah warga Surabaya– merindukan alias tersesat.
Pakde Karwo yang memimpin
Hanya ada satu pertanyaan dalam setiap drama politik di Indonesia: Siapa yang paling diuntungkan dari situasi ini? Jika menelusuri dampak pembatalan pilkada, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menjadi pihak yang paling diuntungkan.
Pakde Karwo juga merupakan Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur. Jika pilkada dibatalkan, maka Risma harus mundur. Sebab, masa jabatannya dianggap sudah habis. Dia harus menunggu pemilu daerah yang berikutnya ditunda selama dua tahun.
Pemerintahan tetap dikendalikan oleh seorang Penjabat (Pj) yang saya tunjuk dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri, sekarang Ibu. @PartaiSocmed
— Pakde Karwo (@pakdekarwo1950) 4 Agustus 2015
Siapkan Pj. Konstitusi bilang begitu, tapi saya harus menunggu surat KPU Surabaya soal pengunduran diri ini @PartaiSocmed
— Pakde Karwo (@pakdekarwo1950) 4 Agustus 2015
Oleh karena itu, Pakde Karwo berwenang menunjuk pejabat sementara pengganti Risma. Demokrat bisa dengan mudah menguasai kota-kota yang sebelumnya didominasi PDI-P. Dan itu tanpa melalui pilkada.
Pakde Karwo bahkan pernah menunjukkannya dalam satu menciakitu dia pemilu daerah Surabaya sempat tertunda hingga tahun 2017 – sebelum akhirnya KPU memperpanjang masa pendaftaran.
Sebaiknya diundur ke tahun 2017 @muflih_moh
— Pakde Karwo (@pakdekarwo1950) 3 Agustus 2015
Sebab, seiring kaburnya Haries, banyak masyarakat yang semakin tidak percaya pada Partai Demokrat.
Apalagi, partai tersebut sudah sangat mengecewakan masyarakat. Dari hasil konvensi yang tidak ditindaklanjuti pada pencalonan Pilpres 2014 hingga melangkah keluar sidang paripurna yang akan menetapkan RUU Pilkada September tahun lalu.
Dan kini mereka berjanji akan ikut serta dalam Pilkada Surabaya. Apakah kamu masih percaya?
Kelemahan politik PDI-P
Absennya calon lawan membuat banyak pihak menyalahkan Risma karena tidak mampu melakukan komunikasi politik sehingga ada calon lawan. Hal ini seharusnya tidak menjadi beban Risma. Ini tugas PDI-P.
Kalau ke Risma, betapa sulitnya menjadi Wali Kota. Tidak cukup hanya memikirkan rakyatnya saja, ia juga harus menjaga lawannya. Berapa biaya untuk mensponsori lawan ini.
Soliditas koalisi Majapahit yang bahu-membahu menyandera Pilkada Surabaya sebenarnya bisa diatasi sejak awal. Misalnya, pencalonan Risma dijalin dengan partai lain. Masalahnya, PDI-P mau memborong pencalonan itu. Keduanya harus dari partai yang sama.
Mungkin ada skenario lain yang sedang dipersiapkan PDI Perjuangan. Bisa jadi, Risma akan maju di tengah jalan pada Pilgub Jatim 2018 yang berujung pada naiknya Wakil Wali Kota Surabaya menjadi Wali Kota. Jadi, jika wakilnya dari PDI-P, Wali Kota Surabaya tetap dikuasai partai yang sama.
Oleh karena itu, pencalonan Risma juga harus berdasarkan kontrak politik. Tetap setia kepada Surabaya hingga akhir masa baktinya.
Tapi, mampukah Risma yang kini menjadi kader PDI-P melawan para pembisik politiknya kini?—Rappler.com
Agung Putu Iskandar adalah mantan jurnalis Jawa Pos. Aga, sapaan akrabnya, kini memilih menjadi penulis lepas sambil menekuni dunia olahraga. Selain menulis tentang olahraga, ia juga peduli terhadap masalah sosial dan hukum. Ikuti Twitter-nya @aagung.
BACA JUGA: