Polemik Kampung Pulo: Janji Jokowi, Ahok tamat
- keren989
- 0
Pada Jumat sore, 21 Agustus, sejumlah warga Kampung Pulo terlihat duduk-duduk di lantai dasar Rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Sejumlah warga, termasuk anak-anak dan orang tua, menikmati bekal makan siang yang dikemas dalam kotak styrofoam putih yang dibagikan petugas. Puluhan petugas polisi layanan sipil berdiri dan mengawasi.
Ada juga orang yang duduk di truk terbuka yang diparkir di pinggir jalan depan apartemen. Warga mengangkut perabotan rumah tangga secara mandiri. Ada yang menggunakan bajaj, bemo, ada juga yang menggunakan kereta dorong bayi atau bolak-balik menggunakan sepeda motor.
“Kemarin bisa makan, sekali saja,” kata Zulfaini, seorang ibu asal Kampung Pulo yang terpaksa pindah ke Rusun Jatinegara Barat. Lihatlah definisi yang saya baca di website perumnas.co.id, Apartemen dimaksudkan untuk disewa oleh penduduk kota yang tidak mampu membeli rumah, atau ingin tinggal sementara. “Saya pemilik rumah tua itu. Apakah Anda harus membayar sewa? “Saya bersedia dipindahkan ke sini, tapi saya minta hak kepemilikannya,” kata Zulfaini.
Wajah Zulfaini yang mengaku berusia 70 tahun tampak agak pucat. Lemah. Ia mengaku kesulitan berjalan karena penyakit diabetes yang sudah lama dideritanya. Ia masih kaget dengan penggusuran yang dialaminya pada Kamis 20 Agustus lalu. Dia kesal; dia kecewa.
Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama memutuskan warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung harus pindah. Ahok memerintahkan Satuan Polisi Pelayanan Umum (Satpol PP) untuk menggusur rumah warga di Kampung Pulo. Ada 500 kepala keluarga yang harus pindah, dengan alasan Jakarta tak lagi kebanjiran. Di Apartemen Jatinegara Barat tersedia 518 unit dalam dua tower.
Saat kami berbincang sambil berbaring di lantai dasar apartemen, ada putrinya yang baru saja datang dari kota. Zulfaini berasal dari Sumatera Barat, dekat Bukit Tinggi. Ia tinggal di Kampung Pulo sejak tahun 1968. Ia mengaku memiliki akta jual beli tanah.
Dia membeli tanah seluas 34 meter persegi dari seorang “haji” seharga Rp 700. “Rumahnya jelek, lalu saya tambah tiga lantai, saya perbaiki ubinnya, saya cat temboknya. Saya pasang pompa air, listrik juga,” dia dikatakan.
Zulfaini membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap bulan. Dulu bayarnya Rp 49.000, sekarang lebih murah sekitar Rp 10.000. Listrik dipasang secara legal oleh petugas Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ada meteran, kuotanya 450 kVA. Bayar listrik bulanan sekitar Rp 70.000 hingga Rp 80.000.
Rajin membayar seluruh kewajibannya kepada negara, Zulfaini merasa menjadi warga negara sah yang mendiami rumah lamanya. Banjir datang dan merendam rumah setiap tahunnya. Dia memilih tinggal di sana karena merasa betah. Mereka telah hidup bertetangga selama lebih dari tiga dekade.
“Seperti kata pepatah, ketika kita keluar rumah, kita sudah bertemu dengan tetangga kita. Ngobrol,” katanya. Di apartemen tersebut, Zulfaini tinggal di lantai empat. Ini adalah hasil lotere. Jelas sekali bahwa dia bukan lagi tetangga yang dikenalnya. Lotere menyebarkan mereka ke berbagai unit dan lantai.
Naik turun tangga Zulfaini sudah tidak kuat lagi, tapi sudah ada lift. “Entahlah, setidaknya saat aku naik turun lift aku hanya menunggu seseorang. Ikuti,” kata Zulfaini.
Dia akan tinggal bersama anak bungsunya. Masyarakat setua Zulfaini harus mengalami revolusi mental, yakni beralih ke model rumah vertikal setelah berpuluh-puluh tahun tinggal di rumah pedesaan (rumah mendarat).
Kecemasan yang sama juga dirasakan Siti. Ibu empat anak ini mendapat tempat di lantai 15 apartemennya. Pada Jumat sore, saya meminta izin untuk melihat langsung unit yang akan ditempatinya. Tiap unit berukuran 30 meter persegi. Masing-masing memiliki dua ruangan berukuran 2×2,5 meter persegi, dapur berbahan ubin dan wastafel, kamar mandi, serta satu ruangan di dapur yang berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang makan. Cukup sempit untuk enam orang.
Di salah satu kamar saya melihat ada kasur baru, ukuran single. “Matras besar tidak muat. Apalagi kemarin kasurnya didorong satu, kata Siti. Dia pusing memikirkan bagaimana mengatur kamar untuknya, suaminya, dan keempat anaknya. Belum lagi penempatan barang yang bertumpuk.
Suami Siti bekerja sebagai sopir. Siti membuka toko kecil di rumahnya yang kini rata dengan tanah. Saat penggusuran berlangsung, ia sedang menunggu anaknya yang dirawat di rumah sakit karena menderita infeksi usus. “Anda tidak tahu ke mana barang itu pergi. Setelah ini saya tidak tahu apakah saya bisa berdagang lagi atau tidak. Dimana tempatnya?” kata Siti.
Siti dan keluarganya telah tinggal di Kampung Pulo sejak tahun 1999. Ia membeli rumah dan tanah seluas 40 meter persegi seharga Rp 15 juta. Sama seperti Zulfaini, Siti punya akta jual beli, rajin membayar PBB dan listrik. Konsumsi listriknya lebih banyak, sekitar Rp 150.000 per bulan.
Kedua perempuan yang saya temui di apartemen tersebut mengaku sudah mendapat informasi awal sebelum penggusuran dilakukan. Informasi terkini selama bulan puasa. “Informasinya tidak jelas. Katanya dua tahun dari sekarang, kata Siti.
Kini ia mendapat informasi harus membayar sewa sebesar Rp 300.000 per bulan ditambah listrik dan air sesuai pemakaian. “Mereka bilang gratis untuk tiga bulan pertama. Dia bilang dia harus membayar biaya sampah. Namun ada pula yang mengatakan tidak. Saya belum punya informasi yang jelas. “Memikirkan mengatur sesuatu saja sudah membuatku pusing,” kata Siti.
Saya tidak akan menjelaskan secara detail aturan yang menjadi dasar pemecatan. Juga fakta Wali Kota Jakarta Timur berjanji akan melakukan pemukiman kembali. Tampaknya terjadi tabrakan.
I-net lambat di dalam apartemen. Ini video unit Bu Siti di lantai 15 UK 30 m2. Dihuni oleh 6 orang. Sang ibu bingung bagaimana mengaturnya pic.twitter.com/SBKvLNOEbU
— unilubis (@unilubis) 21 Agustus 2015
Teman saya Elisa Sutanudjadja (@Elisa_Jkt) akan menulis ini untuk pembaca Rappler. Elisa adalah aktivis isu perkotaan. Bersama reporter multimedia Rappler Febriana Firdaus, ia bertemu dengan sejumlah tokoh terkait sejak Jumat siang hingga malam, termasuk Sandyawan Sumardi yang aktif melakukan advokasi terhadap warga bantaran Sungai Ciliwung melalui lembaga swadaya masyarakat Ciliwung Merdeka.
Percakapan dengan Ny. Zulfaini dan Ny. Siti memberikan gambaran bagaimana penggusuran dilakukan secara terburu-buru, tanpa proses komunikasi dan negosiasi yang memadai.
Pastor Sandyawan mengatakan, daripada digusur, ciptakan desa datar yang layak pic.twitter.com/xp4gGRUCet
— Febriana Firdaus (@febrofirdaus) 21 Agustus 2015
Itulah yang membuat saya terkejut. Soalnya, kita hidup di era pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Masyarakat mengenal Jokowi karena keberhasilannya secara meyakinkan memindahkan ratusan PKL dari Taman Banjar Sari ke lokasi barunya di Pasar Klitikan, Solo, Jawa Tengah. Tidak ada tabrakan. Gunakan diplomasi saat makan malam dan makan siang sebanyak 54 kali.
Tahun-tahun kepemimpinan Jokowi sebagai Wali Kota Solo menjadi prestasi yang mengharumkan namanya. Menggeser pemaparan informasi dan foto Jokowi berunding sambil makan bersama para pedagang selalu diperlihatkan kepada setiap pejabat dan delegasi yang datang ke Solo. Saya mengikuti dua presentasi, salah satunya dengan kelompok dari Ikatan Jurnalis Indonesia. Kami kagum.
Media menggambarkan Wali Kota Jokowi seperti ini kasih sayang dan penuh perhatian. Saat berpindah, ada prosesi seperti karnaval untuk mengantarkan para pedagang ke tempat baru. Wali Kota Jokowi juga meyakinkan pendapatan di lokasi baru tidak akan turun dibandingkan saat pedagang berjualan di lokasi lama. Sejak itu, Jokowi menjadi perbincangan di masyarakat, dan ini menjadi batu loncatannya untuk menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta.
Tak ingin larut dalam euforia berlama-lama, saat terpilih menjadi Gubernur Jakarta, Jokowi berjanji akan segera mewujudkan desa datar, seperti janji kampanyenya. Jokowi berduet dengan Wakil Gubernur Ahok.
Lokasi BeritaSatu tanggal 26 September 2012 tuliskan janji Jokowi yang saya kutip disini:
Menurut Jokowi, pembangunan desa datar merupakan komitmen yang ia janjikan saat berkampanye untuk mengatasi permukiman kumuh.
“Saya tidak ingin berlama-lama. “Ada presentasi, presentasi langsung eksekusinya,” kata Jokowi, 25 September 2012, sesaat setelah dilantik menjadi Gubernur Jakarta. Menurutnya, konsep kampung datar yang ditawarkannya berbeda dengan rumah susun sewa sederhana (rusunawa) atau rumah susun gratis (rusunami).
Dia meyakinkan, tidak akan ada penggusuran warga karena desa tersebut merupakan penataan wilayah. “Untuk Rusunawa harus membayar sewa setiap bulan. Rusunami, warga masuk dan mencicil setiap bulannya. “Di kampung datar ini warga sedang dibangun tempat tinggal, kemudian bisa langsung masuk secara gratis,” ujarnya.
Jokowi menyebut ada ratusan daerah kumuh di Jakarta. Dia akan Desa Bukit Duri a proyek percontohan. Di kota itu ada 870 kepala keluarga yang diajak berkomunikasi dan tidak peduli.
Jokowi mengatakan, konsep desa datar adalah rumah susun judul strata. Bentuk bangunannya dibuat vertikal. Ia yakin rencana tersebut akan berhasil karena dilakukan dengan pendekatan dan komunikasi yang intensif.
Apa yang dijanjikan Jokowi saat menjadi gubernur sejalan dengan prinsip kebijakan yang diterapkan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam melakukan penggusuran, atau pemukiman kembali secara paksa karena alasan apapun, termasuk alasan pembangunan proyek yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Komunikasi yang intensif. Perhatian terhadap kelompok rentan seperti lansia, anak-anak dan perempuan, untuk memastikan mereka dapat melanjutkan aktivitas ekonominya di tempat baru sehingga terjamin pendapatannya, membantu proses pemukiman kembali termasuk transportasi, dan memperhatikan kompensasi adalah hal yang penting. .
Sebuah panduan yang dibuat oleh Bank Dunia pada tahun 1980an dan sangat menginspirasi ADB membentuk telinga pemukiman kembali secara paksa Bahkan ditegaskan, status hukum tanah dan bangunan milik warga yang terpaksa digusur bukan menjadi alasan untuk menolak ganti rugi.
Begitulah perdebatan yang muncul di media dan media sosial tentang penggusuran warga Kampung Pulo yang dilakukan Ahok. Mereka tidak mempunyai bukti yang kuat bahwa merekalah pemilik tanah dan bangunan yang mereka tempati. Oleh karena itu, mereka layak diusir dan patut bersyukur mendapat tempat di apartemen tersebut.
Sebagai penyewa? Sampai kapan?
Hal inilah yang harus dijawab oleh Gubernur Ahok pengganti Jokowi yang diusung menjadi presiden. Biasanya Jokowi selalu mendukung langkah Ahok. Keduanya seperti belahan jiwa. Belahan jiwa.
Bagaimana dengan perintah Ahok yang menggusur warga Kampung Pulo, mengakhiri harapan mereka untuk tinggal di kampung rusun yang dijanjikan Jokowi? —Rappler.com
BACA JUGA:
Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.