• November 22, 2024

Politik Harga BBM Jokowi dan Tuduhan Konspirasi

Mulai 1 Januari 2015, masyarakat Indonesia menikmati sistem baru dalam menentukan harga minyak. Premium dijual dengan harga pasar, artinya tidak ada lagi subsidi dari pemerintah. Sedangkan solar yang banyak digunakan untuk angkutan umum mendapat subsidi Rp 1.000 per liter.

Nilai subsidinya tetap, sedangkan harganya bisa berubah. Setiap bulan Kementerian Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengumumkan harga patokannya. Anda dapat membaca harga baru di sini.

Indonesia, yang kini menjadi pengimpor minyak bersih, mendapat manfaat dari rendahnya harga minyak internasional. Uang yang harus dikeluarkan untuk mengimpor minyak berkurang. Bisa dibayangkan betapa mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk membeli minyak. Indonesia harus mengimpor sekitar 600.000 barel minyak setiap hari. Jumlah minimal. Bisa lebih.

Minyak impor tersebut ada yang diolah, namun ada pula yang berbentuk minyak mentah. Yang mungkin membuat kita malu adalah minyak olahan yang kita impor kebanyakan berasal dari negara tetangga yang tidak punya sumber minyak sama sekali: Singapura. Sebagian kecil berasal dari Korea Selatan, negeri “K-Pop” yang juga tidak memiliki sumur minyak sama sekali.

Melihat hal tersebut, saya jadi teringat ucapan Presiden Joko “Jokowi” Widodo di hadapan para bupati, gubernur, menteri, dan peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Hotel Bidakara, Jakarta, 18 Desember 2014. Jokowi sangat mendukung gubernur, bupati, dan gubernur. Walikota mengingatkan untuk tidak berbangga dengan melimpahnya sumber daya alam yang dikuasainya.

“Intinya ada pada kalian semua. Intinya adalah kebijakan publik yang benar dan tepat. “Kalau ada kebijakan publik yang benar dan tepat, maka kota, provinsi, negara akan maju,” kata Presiden Jokowi.

Singapura membuktikannya. Negara kepulauan ini lebih muda dari Indonesia. Mereka juga tidak punya sumber daya alam, seperti kita. Tapi sekarang kita mengekspor minyak dari Singapura.

Saat ini kita patut bersyukur, harga minyak sedang anjlok. Berikut ini saya kutip beritanya di surat kabar The Financial Post, Rabu 31 Desember 2014. Surat kabar asal Toronto, Kanada, mengutip harga minyak Brent yang diproduksi di Laut Utara. Harganya 57,90 dolar AS per barel. Padahal, pada Agustus lalu harga minyak mentah jenis Brent masih di atas 100 dolar AS per barel. Ini adalah tipe yang banyak kami beli.

Minyak mentah West Texas Intermediate, Amerika Serikat, berada pada level 54,12 dolar AS per barel pada akhir Desember. Meski harganya naik cukup tinggi, namun masih tergolong rendah dalam 5,5 tahun terakhir. Agustus lalu, harganya masih di atas 100 dolar AS per barel.

Harga rendah bisa berdampak positif, tapi juga sebaliknya. Bagi india, Tiongkok, India dan negara-negara pengimpor minyak lainnya, biaya pembelian bahan bakar akan sangat berkurang. Namun karena Indonesia bukan hanya pembeli tapi juga produsen, rendahnya harga minyak juga mempunyai bahaya. Hanya sumur di darat yang berbiaya rendah yang masih berproduksi. Siapa yang ingin berinvestasi pada minyak jika keuntungannya rendah?

Artinya, jika harga rendah maka rencana pemerintah untuk meningkatkan volume minyak dan gas dari ladangnya sendiri akan terganggu.

Terlebih lagi, bagaimana nasib negara-negara pengekspor minyak? Jika harga minyak tidak mencapai nilai keekonomiannya, produsen minyak lebih memilih menghentikan produksi sumurnya dan menunggu hingga harga kembali naik.

Kemarahan yang disebabkan oleh rendahnya harga ini dapat dilihat di dua negara berikut: Rusia dan Iran. Pada tahun 2013, sekitar 68% atau 356 miliar dolar AS ekspor Rusia berasal dari minyak dan gas. Ekspor ke Eropa, Amerika, Turki, dan sebagian kecil ke negara lain. Rusia memperoleh pendapatan minyak dan gasnya dari tiga saluran, yaitu produk turunan minyak-gas: minyak mentah dan minyak sulingan.

Iran juga prihatin. Kantor berita ekonomi Bloomberg mengutip pernyataan Presiden Iran, Hassan Rouhani, yang mengatakan akibat anjloknya harga minyak, pendapatan pemerintah juga turun cukup besar: 30%.

Rouhani mengatakan kepada parlemen: “Kita harus menghadapi kondisi baru, dan situasi ekonomi global yang berbeda.”

Iran adalah anggota OPEC, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak. Setiap hari, negara ini memompa 2,78 juta barel minyak ke Teluk Persia – sekitar 3,5 kali lipat produksi Indonesia. Akibat anjloknya pendapatan pemerintah, Iran diperkirakan mengalami defisit, dan terpaksa menjadwal ulang beberapa proyek yang direncanakan.

Saya melihat situasi yang dihadapi Iran dan Rusia mirip dengan situasi Indonesia di masa lalu, ketika masih menjadi eksportir. Pada tahun 1977, Indonesia mencapai puncak produksi minyak bumi yaitu 1,65 juta barel per hari. Penyumbang terbesar masih Caltex dengan sumurnya di Duri dan Minas.

Saat itu, Indonesia masuk dalam jajaran 11 produsen minyak terbesar di dunia, dan tergabung menjadi anggota OPEC. Ini adalah organisasi negara-negara pengekspor minyak, didirikan pada tahun 1960 dan didirikan oleh lima negara pengekspor minyak terbesar: Iran, Irak, Arab Saudi, Kuwait dan Venezuela.

Pada era Presiden Soeharto, produksi minyak (termasuk kondensat) mencapai kurang lebih 1,38 juta barel per hari. Indonesia masih bisa mengekspor 400.000-800.000 barel setiap harinya. Di era ini, Petral berperan penting yaitu menjual minyak bumi hasil produksi Indonesia ke luar negeri.

Inilah ide awal berdirinya Petral. Jadi ketika Indonesia menjadi net importir, operasional Petral mulai dipertanyakan. Sekarang sedang dievaluasi.

Saat saya telepon Rabu (31/12) sore, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, kepengurusan Petral akan dirombak total, tugasnya dikembalikan ke awal yakni penjualan produk-produk Pertamina termasuk turunannya. , serta pembelian stok untuk kebutuhan Pertamina. Untuk impor minyak, Pertamina akan melakukannya dengan pembagian rantai pasok yang terintegrasi. Divisi inilah yang pernah dipimpin oleh Sudirman Said saat masih bekerja di Pertamina.

Pada masa Orde Baru, penjualan minyak mempunyai peranan yang besar terhadap pendapatan negara, bahkan lebih besar dibandingkan pajak. Minyak menyumbang lebih dari 50% APBN. Keadaan ini dapat dengan mudah kita pahami: jumlah penduduk Indonesia masih sekitar 130 juta jiwa, jumlah kendaraan bermotor belum sebanyak sekarang, dan masih banyak daerah kaya minyak yang belum tereksplorasi.

Jadi, saat itu Presiden Soeharto bisa dengan mudah memberikan subsidi untuk setiap liter minyak yang dijual: minyak tanah, premium, dan solar. Ketika harga minyak dunia naik, gaji pegawai negeri sipil, tentara, dan pensiunan pun ikut naik. Padahal, seingat saya, Presiden Soeharto pernah memberikan gaji ke-13.

Sebaliknya, ketika harga minyak turun, perekonomian lesu. Rekrutmen PNS ditunda. Proyek dijadwal ulang. Profesor Dr. Saleh Afiff (almarhum), dosen Fakultas Ekonomi UI yang pernah menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Koordinator Perekonomian, Keuangan, dan Industri, menulis artikel yang dimuat ulang di website www.soeharto.co.

Saleh Afiff mengatakan, pada tahun 1983 Presiden Soeharto mengambil langkah berani dengan menjadwal ulang proyek-proyek besar. Keputusan ini diambil karena anjloknya harga minyak. Pada tahun 1983, harga minyak bumi masih di atas 25 dollar AS per barel. Ketidakstabilan harga minyak menyebabkan harga minyak sulit diprediksi dalam jangka panjang.

Jika harga minyak turun, kemampuan negara untuk membayar utang yang digunakan untuk membangun proyek-proyek besar bisa terganggu. Saleh Afiff menilai keputusan tersebut tepat, karena pada tahun-tahun berikutnya harga minyak turun drastis. Bahkan pada tahun 1986 mencapai 10 dolar AS per barel.

Situasi di Rusia dan Iran saat ini jauh lebih sulit dibandingkan dengan apa yang dihadapi Indonesia pada tahun 1983. Rusia, khususnya, terbiasa membuat anggaran yang boros. Program persenjataannya saja sudah sangat besar. Belum lagi kebijakan luar negerinya yang mahal. Invasi ke Krimea, wilayah Ukraina yang sebagian besar penduduknya berbahasa Rusia, memakan banyak biaya. Biaya pendanaan program luar angkasa juga tinggi.

Jadi, Rusia dan Iran sepakat: Jatuhnya harga minyak ini terjadi karena adanya konspirasi. Inilah yang dikatakan Presiden Rusia Vladimir Putin: “Kita semua melihat harga minyak turun. Banyak orang membicarakan mengapa hal ini terjadi. Bisa jadi hal tersebut terjadi karena adanya konspirasi antara Amerika Serikat dan Arab Saudi untuk menghukum Iran. Namun Rusia juga terkena dampaknya. Venezuela juga terkena dampaknya. Sangat mungkin.”

Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan dalam kalimat yang lebih keras, “Harga minyak sedang turun, penyebab utamanya adalah konspirasi politik negara-negara tertentu yang tidak menyukai kemajuan dunia Islam dan kawasan ini. Iran dan Umat Islam tidak akan pernah melupakannya. dia.”

Tuduhan adanya konspirasi di balik anjloknya harga minyak bukan sekadar monopoli pihak-pihak yang berseberangan politik dengan Amerika Serikat. Dalam artikelnya pada 9 November 2014, editor ekonomi surat kabar terkemuka Inggris, The Guardian, Larry Elliot, berpendapat bahwa Amerika Serikat dan Arab Saudi “bekerja sama untuk menurunkan harga minyak”.

Ia menyalahkan pertemuan Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdil Aziz, September lalu, yang sepakat meningkatkan produksi minyak untuk mengalahkan Iran dan Rusia.

Ini bukan kali pertama muncul teori konspirasi penyebab anjloknya harga minyak. Pada tahun 1994 buku tersebut diterbitkan Kemenangan: Strategi Rahasia Pemerintahan Reagan yang Mempercepat Runtuhnya Uni Soviet. Penulisnya, Peter Schweizer, menyelesaikan buku tersebut saat ia menjadi mahasiswa tamu di Universitas Stanford, AS.

Kami mendapat buku ini dari Profesor Dr. Subroto, sebagai kenang-kenangan setelah ia kembali dari tugasnya sebagai Sekretaris Jenderal OPEC, pada tahun 1995. Dalam buku itu, Peter Schweizer menulis: “Amerika berkepentingan dengan harga minyak yang rendah. Harga minyak yang rendah akan dengan mudah meruntuhkan Uni Soviet.” Insya Allah saya akan menulis tentang buku ini di lain waktu.

Kampanye gerilya untuk menurunkan harga minyak dimulai pada tahun 1983. Saat itu Amerika dipimpin oleh Ronald Reagan. Saat itu, harga minyak memang sedang anjlok dan terus merosot. Di Indonesia, seperti yang saya tulis di atas, Presiden Soeharto menjadwal ulang proyek-proyek besar. Di Uni Soviet dampaknya lebih besar lagi yaitu berujung pada pecahnya Uni Soviet.

Apakah memang ada konspirasi? Tidak mudah untuk membuktikan hal ini. Saya mengutip pepatah klasik untuk menggambarkan ada tidaknya konspirasi. Ibarat kentut: baunya tidak enak, namun tidak selalu mudah untuk mengetahui siapa yang kentut.

Tuduhan adanya konspirasi penurunan harga minyak kembali mengemuka kali ini, bahkan secara langsung oleh Putin, Presiden Venezuela Maduro, dan Hassan Rouhani. Bagi Indonesia yang sudah menjadi importir minyak, anjloknya harga minyak disambut dengan gembira.

Secara total, Indonesia diuntungkan. Masyarakat juga memuji Jokowi-JK yang menurunkan harga premium dari Rp8.500 menjadi Rp7.600, dan solar dari Rp7.500 menjadi Rp7.250 per liter.

Namun jangan lupa, harga komoditas, termasuk minyak, ibarat jam pendulum: Harganya berayun dengan cepat dari kiri ke kanan, dari rendah ke tinggi. Artinya, harga minyak yang saat ini berada di kisaran 55 dolar AS per barel, bisa dengan cepat naik hingga 100 dolar AS per barel.

Karena harga premium sudah tidak disubsidi lagi, maka tak heran jika harganya meroket. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.

result hk