Presiden berhak menuntut orang yang menghinanya
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Kesimpulannya: demokrasi dan kebebasan itu penting, tapi jangan sampai melewati batas. Demokrasi juga harus tertib, tapi negara tidak harus menindas.
JAKARTA, Indonesia—Kontroversi pasal “penghinaan presiden dan wakil presiden” dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terus berlanjut.
Kali ini mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara lewat akun Twitter @SBYudhoyono. Menurut SBY, kebebasan berpendapat memang dijamin oleh demokrasi, namun bukan berarti masyarakat bisa seenaknya menghinanya.
(BACA: Pasal Penghinaan Presiden Boleh Ada, Asal Ada Pengaduan)
“Menyikapi apa yang saat ini menjadi perdebatan masyarakat, penghinaan terhadap Presiden, izinkan saya menyampaikan pendapat,” kata SBY.
“Prinsipnya kita tidak boleh suka berkata dan bertindak di luar batas. Hak dan kebebasan ada batasnya. Kekuasaan juga ada batasnya. “Di satu sisi, perkataan dan tindakan yang menghina, mencemarkan nama baik atau memfitnah orang lain, termasuk presiden, adalah tidak baik.”
Adanya pembatasan dalam pelaksanaan hak dan kebebasan, termasuk menghina orang lain. Memahami Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan UUD 1945. *SBY*
— SB Yudhoyono (@SBYudhoyono) 9 Agustus 2015
Dalam demokrasi, kita bebas berpendapat dan mengkritik, termasuk Presiden, namun tidak dengan cara menghina dan memfitnah nama baiknya. *SBY*
— SB Yudhoyono (@SBYudhoyono) 9 Agustus 2015
Yudhoyono menceritakan pengalamannya sendiri yang mendapat hinaan dan pencemaran nama baik.
Foto resmi presiden dibakar, diinjak-injak, seekor kerbau diarak dengan tulisan ‘SBY’ di pantatnya, dan kata-kata kasar penuh hinaan dilontarkan di media dan ruang publik.
SBY mengatakan, jika ia menggunakan haknya untuk mengadu ke polisi tentang tindak pidana pengaduan, ratusan orang bisa saja diperiksa dan dijadikan tersangka.
“Mungkin saya juga tidak bisa bekerja, karena sibuk mengadu ke polisi. “Konsentrasi saya akan terganggu,” katanya.
“Kalau itu terjadi, masyarakat mungkin tidak berani mengkritik, bersuara. Takut dihukum, dijadikan tersangka. Saya tidak tahu apa yang orang pikirkan.”
Kalau pemimpin tidak tahu perasaan & pendapat rakyatnya, apalagi kalau media juga diam & tidak bersuara, saya takut jadi “bom waktu”. *SBY*
— SB Yudhoyono (@SBYudhoyono) 9 Agustus 2015
Ia menilai, Jokowi tidak mengalami apa yang dialaminya, penghinaan atau pencemaran nama baik, baik berupa protes disertai hinaan terhadap presiden, maupun pemberitaan yang menurutnya “keras” di media.
Ini pertanda baik. Tidak perlu memperlakukan saya secara “negatif” berlebihan terhadap Pak Jokowi. Agar dia bisa bekerja dengan baik. *SBY*
— SB Yudhoyono (@SBYudhoyono) 9 Agustus 2015
Dalam situasi yang menurutnya lebih baik, Yudhoyono mengingatkan Jokowi untuk tidak menggunakan kekuasaan secara berlebihan, bertindak melawan orang-orang yang dianggapnya melakukan kekerasan.
“Sebaliknya, pemegang kekuasaan tidak boleh menjual dan menyalahgunakan kekuasaannya. “Kami sepakat bahwa negara dan aparat tidak boleh bersikap opresif dan main-main,” kata SBY. “Kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan absolut pasti korup. Kekuasaan bukan untuk “meraup” dan menindas mereka yang menentang penguasa.”
Pemegang kekuasaan tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya. Presiden, parlemen, penegak hukum, pers dan juga rakyat. *SBY*
— SB Yudhoyono (@SBYudhoyono) 9 Agustus 2015
Kesimpulan: demokrasi dan kebebasan itu penting, tapi jangan melewati batas. Demokrasi juga harus tertib, namun negara tidak boleh menindas. *SBY*
— SB Yudhoyono (@SBYudhoyono) 9 Agustus 2015
— Rappler.com