Rachmat Gobel dan Presiden Jokowi membahas ketahanan pangan
- keren989
- 0
Tak banyak media yang memberitakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menerima pengusaha Rachmat Gobel pada Sabtu (25/10). Pemilik Panasonic Gobel Group yang lebih dikenal sebagai pengusaha industri manufaktur elektronik ini bertemu Pak Jokowi di Istana Merdeka sekitar pukul 13.00 WIB. Ia dipanggil staf protokoler Jokowi sekitar pukul 11.00 WIB.
Percakapan santai namun serius. “Pak Jokowi menanyakan kegiatan saya pada hari Sabtu. “Saya bilang, biasanya saya di Mojokerto melihat-lihat penggilingan padi,” kata Rachmat saat saya hubungi, Sabtu malam. Bulan lalu, Rachmat Gobel mulai mengoperasikan pabrik pengolahan gabah dan beras modern, di bawah bendera PT Lumbung Padi Indonesia. Pabrik yang menggunakan teknologi asal Jepang ini berdiri di atas lahan seluas 5,1 hektar di Desa Jasem, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
PT Lumbung Padi mampu menyerap 150 ton gabah kering panen per tahun, dan akan ditingkatkan menjadi 250 ton per tahun. Ekspansi pabrik pengolahan gabah ini sebenarnya sejalan dengan visi ayah Rachmat, mendiang Haji Thayeb Gobel, pendiri National Panasonic Gobel Group. “Ayah saya menyatakan bahwa dia akan bekerja di bidang manufaktur elektronik dan pertanian. “Dulu PT National Gobel memproduksi traktor tangan dan pengering gabah kecil,” kata Rachmat yang menjabat Komisaris Utama PT Lumbung Padi.
Diskusi dengan Jokowi kemudian berkembang menjadi pentingnya mengembangkan industri nasional, dengan fokus pada tiga sektor: Pertanian, perkebunan, dan kelautan. “Ketiga sektor ini adalah tumpuan perekonomian kita. Ini tentang kedaulatan pangan. Ketahanan pangan merupakan bagian penting dari keamanan nasional. Jadi itu harus menjadi prioritas,” kata Rachmat.
Dalam perbincangan siang tadi, Rachmat mendapat kesan Presiden Jokowi mempunyai komitmen kuat dalam membangun industri yang menjamin ketahanan pangan. Sehari setelah pertemuan tersebut, Rachmat dipilih Jokowi sebagai Menteri Perdagangan Kabinet Kerja periode 2014-2019. (BACA: Kabinet Kerja Jokowi)
Berikut cuplikan wawancara saya dengan Rachmat Gobel pada Sabtu malam:
Ketahanan pangan maksudnya berarti kita tidak impor?
Ketahanan pangan bukan berarti tidak mengimpor atau mengurangi impor. Pertanyaannya adalah bagaimana kita memastikan bahwa kita mendorong inovasi proses dan teknologi yang memberikan nilai tambah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk sumber daya terbarukan seperti pertanian. Namun perhatian terhadap sektor ini masih kurang. Misalnya saja dari segi buah-buahan. Dalam proses penanaman, kemudian pemeliharaan, pemanenan, kemudian pengemasan, untuk dibawa ke tempat pemasaran harus diterapkan teknologi agar ada nilai tambah. Tanpanya, buah bisa rusak sehingga mengurangi nilai ekonomi dan vitaminnya. Pada akhirnya, buah-buahan tersebut tidak mampu bersaing dengan buah-buahan impor yang mendapatkan perlakuan panen dan pasca panen yang lebih baik. Harganya juga lebih mahal dibandingkan buah impor.
Apakah Anda sudah menyampaikan hal itu kepada Presiden siang tadi?
Ya, Pak Jokowi sudah memikirkan hal ini sejak lama. Beliau bertanya, kenapa Pak Rachmat pengusaha kita enggan berinvestasi di bidang pertanian agar bernilai tambah? Jawaban saya adalah, karena situasinya tidak terlalu mendesak. Saya termasuk orang yang cenderung berpendapat bahwa investasi, termasuk di bidang pertanian, hanya boleh dilakukan oleh pihak swasta. Tidak harus program yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (BPRS). Namun ‘suasananya’ harus mendukung. Misalnya aspek perpajakan khususnya pajak pertambahan nilai (PPN). Tidak dikenakan PPN sedikit demi sedikit. Padahal dia baru mulai berinvestasi. Akibatnya pengusaha enggan. Lebih baik masuk. Lebih murah untuk jatuh. Sama seperti seorang pedagang.
Anda juga anggota Komite Inovasi Nasional (KIN). Menurut Anda apa yang perlu dilakukan untuk inovasi dalam industri pertanian?
Yang mendukung nilai tambah. Misalnya saja buah-buahan. Di sektor penggerak, bagaimana memastikan semua proses berjalan efisien dan tidak ada yang terbuang (nol limbah). Beras giling, misalnya, tersedia dalam berbagai ukuran. Yang lebih kecil atau pecah bisa menjadi tepung beras, bihun, minyak beras, bekatul, produk makanan ringan. Sekamnya diolah menjadi biomassa. Energi terbarukan yang ramah lingkungan. Biji-bijian tidak boleh menunggu lebih dari lima jam sebelum dikeringkan dan kemudian digiling. Kualitas akan turun jika melampaui waktu tersebut. Harga lebih rendah, vitamin lebih rendah.
Inovasi penting lainnya adalah bagaimana memastikan produk olahan tersedia sepanjang tahun. Beras tersedia sepanjang tahun. Bagaimana dengan buah? Padahal pabrik harus bekerja 24 jam sehari, minimal 360 hari dalam setahun. Bisakah Anda memanen buahnya sepanjang tahun? Jadi kita perlu meninjau prosesnya dari awal. Bibit atau benih. Pupuk. Hingga dipasarkan. Dalam semua tahapan produksi harus efisien. Pabrik saya dapat meningkatkan produktivitas sebesar 30 persen. Dimana sebelumnya merupakan angka kerugian, juga pemborosan dalam proses produksinya. Jadi, kalau bicara ancaman krisis pangan, maka pembangunan industri di sektor pertanian penting untuk dijadikan prioritas. Juga perkebunan dan kelautan. Bahan-bahannya ada di sana. Kekayaan alam kita. Mengapa kami kalah dari Thailand? Karena ada komitmen pemerintah untuk menyediakan lingkungan bisnis yang mendukung. Kebijakan yang berlaku. Ini jawaban saya kepada Presiden Jokowi. Dan jangan lupa, ini adalah sektor-sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut saya termasuk memastikan pangan cukup dan terjangkau bagi seluruh rakyat. Ketahanan pangan adalah bagian yang penting keamanan nasional. Ini adalah fondasi perekonomian kita.
Apa tanggapan presiden?
Pak Jokowi mempelajarinya. Saya juga memantau visinya saat debat capres. Rasanya sama. Konsep Trisakti juga seperti itu ya? Kemandirian ekonomi. Bisa berdaulat dengan sendirinya. Bukan berarti tidak diimpor sama sekali. Namun kita harus terus berinovasi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk. Terutama di bidang pertanian, perkebunan dan kelautan. Kita berbicara tentang visi industri, oke?
Apakah pengembangan inovasi industri ini bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat Indonesia? Negara mana yang mungkin ukuran?
Kita harus belajar dari negara mana pun yang lebih sukses. Kita harus menyediakan makanan untuk 250 juta orang. Sebelum mendirikan pabrik pengolahan biji-bijian, saya melakukan penelitian selama empat tahun. Mengenai teknologi, sistem dan mekanisme kerja. Saya memilih teknologi dari Jepang karena prinsipnya kami membeli teknologi dan sistemnya. Bahkan ketika kita bekerja sama, kita harus memikirkan nilai apa yang ditambahkannya bagi kita? Ini juga prinsip Bung Karno. Pada tahun 1962, ketika ayah saya mendapat perintah dari Presiden Soekarno untuk memasok televisi untuk keperluan tuan rumah Ganefo, ayah saya terdorong untuk mendirikan pabrik di Indonesia. Kerjasama dengan Jepang. Nilai tambah nya kita bangun pabrik. Kami menyerap dan menguasai teknologi. Kami menyerap tenaga kerja. Pajak juga untuk negara kita. Ini adalah sebuah prinsip. Menurut saya, pola pemberian perintah kepada pengusaha swasta seperti yang dilakukan Bung Karno harus dilakukan secara konsisten. Wirausahawan mempunyai arah dan antusiasme terhadap inovasi. Dulu kami memproduksi radio tabung, lalu kami upgrade ke radio transistor. Ini adalah intervensi inovasi. Harganya juga lebih baik. Sekarang di era digital, semua peralatan elektronik juga harus digital. Konsumen menginginkan kualitas yang lebih baik. Produsen mendapatkan harga yang lebih baik. Karena inovasi. Nilai tambah.
Saya memilih teknologi Jepang karena investasi awalnya mungkin agak mahal, tapi dalam jangka menengah dan panjang akan hemat. Karena sistemnya terintegrasi penuh, layanan purna jualnya juga bagus. Kenapa kita hanya mengandalkan teknologi murah, campuran berbagai merk, tapi ada kendala di tengah jalan? Pelayanan purna jual kurang memuaskan. Mesin atau pabrik pada akhirnya menjadi sampah. Tidak dapat dibawa-bawa. Itu mahal, bukan?
Untuk produk lainnya kita bisa mencari ke negara lain. Misalnya, kita perlu belajar dari Brazil bagaimana cara kerja industri pengolahan tebu. Efektif. Produksi gula juga menghasilkan energi terbarukan.
(Catatan: pada tanggal 25 Januari 2012, Rachmat Gobel diangkat menjadi Ketua Masyarakat Ekonomi Terbarukan Indonesia (METI). Sejumlah penghargaan telah ia terima atas komitmennya terhadap pengembangan energi terbarukan. Tahun lalu saya mengikuti perjalanan Rachmat Gobel ke Amerika dan Jepang. Di Amerika, Rachmat menandatangani kerjasama dengan Harvard University Law School untuk mengembangkan undang-undang yang mendukung pelestarian lingkungan dan energi terbarukan. Rachmat juga menjadi pembicara utama dalam komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim dan lingkungan hidup yang diadakan di USINDO, sebuah lembaga penelitian Amerika-Indonesia di Washington DC. Saya yang saat itu menjabat Pemimpin Redaksi ANTV didaulat menjadi salah satu panelis. Di Jepang, Rachmat mengundang saya dan sejumlah pemimpin redaksi untuk bertemu dengan sejumlah pejabat dan tokoh penting terkait komitmen inovasi di industri energi terbarukan. Kami juga mengunjungi kompleks pabrik panel surya kota hijauyang didirikan Panasonic di Kansai Energy Park, Osaka.)
Anda berbicara tentang perlunya menciptakan lingkungan yang mendukung wirausahawan untuk berinovasi dan berinvestasi. Apakah ada contoh di bidang energi terbarukan?
Ketika kami pergi ke Jepang, Ny. Uni melihat sendiri bagaimana pabrik panel surya dioperasikan. Bahkan pabrik pembuatan baterai surya dioperasikan dengan dukungan energi surya. Indonesia merupakan negara dengan sinar matahari hampir sepanjang tahun. Potensinya sangat besar. Kami juga memiliki pasir yang ideal untuk ‘memanen’ energi matahari. Mengapa sebenarnya Malaysia membangun pabrik baterai? Ceritanya, pada 2010, Panasonic menawarkan Indonesia untuk membangun pabrik baterai panel surya. Pembuatan baterai adalah bagian terpenting. Bertemu dengan pemerintah. Pak SBY sudah tahu. Malaysia mendengar informasi ini. Pemerintah segera mengirimkan delegasi untuk menemui Panasonic di Jepang. Singkat cerita, Panasonic justru berinvestasi di Malaysia. Mengapa? Ya, karena situasi di sini kurang mendukung. Kurang responsif. Jangan berpikir terlalu jauh ke depan. Makanya tadi saya sampaikan ke Pak Jokowi, urusan investasi seperti ini sebaiknya diserahkan ke pengusaha saja. Pribadi. Pemerintah menciptakan kondisi yang menguntungkan. Ini bukan hanya soal perizinan. Suku bunga bank yang tinggi juga tidak mendukung. Kalau pakai uang APBN, hasil akhirnya cuma beli mesin. Tidak menghasilkan nilai tambah. Yang penting juga pengusaha mendapat penugasan. Tanggung jawab. Seperti perintah Presiden Sukarno kepada ayah saya.
Apa kesan Anda bertemu dan berdiskusi tentang pengembangan industri dengan Presiden Jokowi?
Dia adalah orang yang ingin belajar dan mau mendengarkan. Saya baru paham bahwa setiap ‘blusukan’ adalah caranya mendengar tentang orang yang ditemuinya. Saya bilang ke Pak Jokowi, kita butuh 100 pabrik seperti yang saya bangun di Mojokerto, untuk Indonesia. Yang modern dan terintegrasi. Di Thailand banyak terdapat pabrik seperti Lumbung Padi Indonesia. Mengapa di Indonesia hanya ada satu? Inilah tantangannya. —Rappler.com
Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi berita dan terkini di ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis
Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan di blog pribadinya di unilubis.com.