• November 25, 2024

Remaja Bali memprotes kriminalisasi alat kontrasepsi

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Hasil penelitian Kisara menunjukkan sebanyak 19% remaja di Denpasar melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom

DENPASAR, Indonesia – Rencana revisi KUHP untuk membatasi promosi alat kontrasepsi mendapat protes dari remaja Bali.

“Tidak semua remaja tahu tentang alat kontrasepsi, tapi banyak juga yang aktif (aktif) secara seksual,” kata Amita Verayanti, remaja berusia 17 tahun, dalam diskusi yang digelar Kita Sayang Pemuda (Kisara), Selasa, 13 Oktober.

Remaja lainnya, Ni Luh Eka Purni, meminta pemerintah meninjau kembali Pasal 481 RUU KUHP, yang menurutnya mengkriminalisasi alat kontrasepsi.

Tak hanya saat berunding, protes mereka juga terekam dalam video.

Kisara, lembaga pendampingan dan pendidikan remaja terkait kesehatan reproduksi, memprotes Pasal 481 RUU ini.

Pelanggar promosi alat kontrasepsi dapat dikenakan denda maksimal Rp10 juta. Lebih lanjut, dalam pasal 483 Rancangan KUHP disebutkan bahwa pasal tersebut mengecualikan keluarga berencana dan petugas pencegahan penyakit menular.

Pasal-pasal tersebut diminta untuk dikaji dan dibahas secara transparan dan jelas, karena masih banyak kata dan kalimat yang ambigu.

“Jika pasal Rancangan KUHP ini terwujud, otomatis akan membatasi akses terhadap alat kontrasepsi dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi remaja yang menginginkan akses terhadapnya. “Menyulitkan peserta mengakses kondom sama saja dengan meningkatkan angka hubungan seksual berisiko,” jelas Luh Putu Ari Dewiyanti, koordinator Kisara.

Dari hasil penelitian Kisara, 97% remaja di Denpasar sudah mengetahui informasi tentang bahaya Infeksi Menular Seksual (IMS), namun masih melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom. Penelitian Kisara lainnya pada tahun 2014 menyebutkan 19% dari 384 responden remaja melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom.

“Tidak dibatasi, remaja jarang mendapat akses terhadap alat kontrasepsi, apalagi jika dibatasi?” dia berkata.

Menurutnya, banyak pihak yang rentan terkena sanksi dengan pasal tersebut, seperti toko yang menjual kondom, pembeli dan lain-lain pendidik sejawat (pendidik sebaya) yang membawa atau memperlihatkan alat kontrasepsi dalam kampanye pendidikan.

“Pendidikan bukan tentang menyembunyikan alat kontrasepsi. Pasal 481 dan 483 membatasi keterlibatan pendidik sebaya yang memberikan informasi karena bukan lembaga yang berwenang. “Yang berwenang hanya petugas KB,” ujarnya.

Ia juga mencontohkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang mengaku kekurangan 65 ribu penyuluh KB.

“Sistem pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat sangat dibutuhkan. “Tidak bisa hanya petugas BKKBN yang bertugas,” kata Ari.

Berbagai pihak, seperti Dinas Kesehatan dan Forum Guru Kelompok Mahasiswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) di Bali, juga mengkhawatirkan pasal pembatasan demonstrasi alat kontrasepsi akan menghambat upaya sosialisasi kesehatan reproduksi.

IA Mas Arymawati dari Puskesmas Kuta mengatakan, konselor sebaya yang memahami remaja sangat membantu.

“Kalau ada undang-undang yang sangat membatasi, kita harus berpikir karena akan ada pembatasan sosialisasi. “Di satu sisi, kami bertujuan untuk menurunkan angka kelahiran ibu dan AIDS, namun ada undang-undang yang membatasi hal ini,” katanya.

Diskusi mengenai isu ini juga dilakukan melalui media sosial oleh akun jurnalisme warga @BaleBengong. Banyak orang yang beranggapan jika ada pembatasan alat kontrasepsi seperti kondom maka akan menjadi transaksi ilegal seperti narkoba. — Rappler.com

BACA JUGA:


slot online