Revisi UU MD3 ‘sebuah kemunduran bagi demokrasi’
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 menyoroti munculnya atau penghapusan pasal-pasal yang dinilai kontraproduktif terhadap upaya DPR dalam menyampaikan aspirasi masyarakat dengan lebih baik.
Jakarta, Indonesia – Perubahan UU MPR, DPR, DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, dan DPD atau dikenal dengan UU MD3 menuai kritik. Kelompok masyarakat sipil, pakar hukum, dan warga masyarakat menyerukan pembatalan produk hukum tersebut. Pasalnya, undang-undang ini dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi.
Misalnya saja kritik yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3. Koalisi ini menekankan munculnya atau penghapusan pasal-pasal yang dinilai kontraproduktif terhadap upaya parlemen dalam menyampaikan aspirasi masyarakat dengan lebih baik.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 menyoroti munculnya atau penghapusan pasal-pasal yang dinilai kontraproduktif terhadap upaya parlemen dalam menyampaikan aspirasi masyarakat dengan lebih baik.
Setidaknya ada lima poin yang menjadi catatan kritis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3.
1. DPR menambah tugas MPR terkait penyerapan aspirasi masyarakat terkait pelaksanaan UUD 1945. Roy Salam dari Pusat Anggaran Indonesia mengatakan, penambahan ini menyebabkan alokasi anggaran pendapatan dan belanja pemerintah meningkat.
2. Penghapusan sejumlah pasal yang memperhatikan keterwakilan perempuan. Pasal-pasal tersebut antara lain pasal 95 yang mengatur tentang susunan pimpinan komisi; pasal 101 tentang Susunan Pimpinan Badan Legislatif; pasal 106 tentang Susunan Pimpinan Badan Anggaran; pasal 119 tentang Susunan Pimpinan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP); pasal 125 mengatur tentang susunan pimpinan Dewan Kehormatan dan; Pasal 132 tentang susunan pimpinan Badan Rumah Tangga (BURT).
3. Timbulnya hak imunitas anggota dewan, sebagaimana diatur dalam Pasal 245. Pasal ini menyebutkan bahwa penyidik, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, harus terlebih dahulu mendapat izin dari Majelis Kehormatan Dewan. Hal ini dinilai berpotensi menjadi celah penghapusan barang bukti.
Artikel ini juga dianggap anggota dewan. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum. Pasal ini membuat anggota DPR tidak mudah terpengaruh hukum.
4. Adanya Pasal 224 mengancam independensi anggota DPR yang kritis terhadap kebijakan yang diambil wakil rakyat. Hak imunitas anggota parlemen bisa dicabut.
“Anggota dewan yang melawan arus bisa dikooptasi oleh anggota lain,” kata Roy.
5. Hilangnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara di lingkungan DPR. Hal ini, kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, menyebabkan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menjadi kurang tajam dan rinci.
Hal ini disebabkan belum adanya badan khusus yang bertugas mengkaji hasil audit LTD, yang kemudian dikaitkan dengan tugas dan wewenang Komisi.
Kemunduran
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Hifdzil Alim mengatakan, produk hukum ini sarat dengan pasal-pasal yang mengistimewakan anggota dewan. Ia juga menyebut UU MD3 merupakan sebuah langkah mundur.
Dia menyoroti Pasal 245 yang mewajibkan aparat penegak hukum mendapat izin Mahkamah Kehormatan sebelum melakukan penyidikan terhadap anggota dewan. Padahal, Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah membatalkan Pasal 36 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa penegak hukum harus mendapat izin presiden sebelum mengusut kepala daerah yang terlibat kasus hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2012 menetapkan pasal tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hifdzil mengatakan parlemen harus belajar dari pembatalan pasal ini.
“Ini kemunduran,” kata Hifdzil.
Masyarakat Tolak UU MD3
Tak hanya kelompok masyarakat sipil, warga negara biasa juga menolak undang-undang yang disahkan pada 8 Juli 2014 tersebut. Penolakan tersebut diungkapkan Melany Tedja misalnya melalui petisi online di website Ubah.org.
Melany menentang UU MD3 yang dianggap sebagai prinsip keterwakilan dan demokrasi di Indonesia. UU MD3 rupanya dibuat untuk memudahkan anggota dewan dalam mengontrol kekuasaan di DPR.
“Kami menolak terlibat hanya ketika wakil rakyat ingin terpilih melalui Pemilu Legislatif 2014, tapi tidak terlibat ketika ada perubahan prinsip fundamental dan strategis keterwakilan dan demokrasi, seperti revisi UU MD3,” ujarnya. . .
Sejak 11 Juli, petisi ini telah ditandatangani oleh 60.000 orang. – Rappler.com