• September 28, 2024

Revolusi Pangan dimulai dengan mengonsumsi makanan Anda

Sebenarnya saya ingin sekali menulis serius tentang APBNP (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2015 atau program proyek listrik andalan pemerintahan Joko Widodo sebesar 35 ribu Mega Watt.

Namun apa gunanya jika justru berakhir menyiksa pembaca, mengerutkan kening, kesulitan mencerna isi tulisan dan kesal karena uang di rekening sudah habis, padahal gajian masih seminggu lagi. Akhirnya saya memutuskan untuk menulis artikel ringan ini.

Artikel ini secara tidak sengaja terinspirasi oleh dua hal:

  • Pertama, meme yang diunggah seorang teman di Facebook: “Orang gemuk itu penyayang. Setiap kali saya melihat makanan berlebih, saya berkata: sayang sekali.”
  • Kedua, fenomena sisa nasi setengah porsi yang tidak habis di restoran.

Kedua hal ini sangat bertolak belakang, namun intinya sama: jangan menyia-nyiakan makanan. Guru Quran saya berkata, “Sampah adalah sahabat Setan.”

Tak hanya pembaca, saya yang menulis artikel ini sempat mengejek ide saya sendiri. Mengapa artikel ini terkesan sangat religius padahal saya bukan murid Ustad Felix (halah). Keyakinan saya bahwa makanan itu boros (sisa makanan/kehilangan makanan) adalah masalah global.

Sekadar iseng, saya menelusuri Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Bank Dunia (tren intelektual seperti ini) dan menemukan angka yang sangat mengejutkan.

Seperempat hingga sepertiga makanan di dunia terbuang sia-sia. Terdiri dari: limbah/penyusutan selama pengangkutan, proses produksi, penyimpanan dan terakhir konsumsi.

Ya, makanan dibuang oleh konsumen secara cuma-cuma.

Negara-negara maju dan berkembang sama-sama bersahabat dengan setan dalam hal sampah makanan. Dari total 1 miliar hingga 1,3 miliar ton makanan yang terbuang, 56 persen disebabkan oleh negara maju, dan 44 persen disebabkan oleh negara berkembang.

Kerugian yang diakibatkannya mencapai lebih dari USD 750 miliar per tahun. Dengan nilai tukar rupiah Rp 12.500 per dolar AS, nilai makanan yang terbuang sekitar Rp 9.000 triliun.

Tumpukan sisa makanan menghasilkan gas metana yang pada akhirnya berkontribusi terhadap rusaknya planet ini, melalui efek rumah kaca.

Dari data FAO yang saya baca, negara-negara maju adalah ‘juara umum’ dalam hal sampah makanan. Menurut data tahun 2011, setiap orang di negara maju membuang 95-115 kg makanan setiap tahunnya, sedangkan Asia Tenggara sekitar 6-11 kg.

Jika jumlah kalori makanan yang terbuang setiap hari, 61 persen di negara maju disebabkan oleh konsumen yang membuangnya. Sedangkan di Asia Tenggara, 87 persennya disebabkan oleh proses produksi, penyimpanan, dan pengiriman/transportasi.

Ya, Asia Tenggara lebih menyukai makanan. Alhamdulillah.

Apakah ini berarti Indonesia tidak akan mengalami kondisi menjadi sahabat setan dengan membuang-buang makanan? Sekarang mungkin tidak. Tapi ketika perekonomian Indonesia terus tumbuh (meski pertumbuhannya terus menyusut setiap tahunnya, eh).

Kemudian akan tiba saatnya akan terjadi ledakan kelas menengah atas yang secara brutal membuang-buang makanan.

Tanda-tanda ini mulai terlihat di kota-kota besar. Semakin banyak orang yang makan di restoran dan menyisakan setengah porsi nasi, bahkan lauk pauk dan sayur mayur.

Penyebab utamanya tentu saja rasa kenyang atau pola makan (batuk). Ya kalee diet lalu pulang kerja menunggu kemacetan sambil minum latte atau cappuccino atau soda sambil ngemil keripik kentang. Diet dari Hongkong!!!

Kebiasaan buruk selanjutnya adalah mata lapar. Saat berbelanja bulanan, Anda kalang-kabut membeli berbagai jenis makanan dan makanan olahan.

Gayanya adalah memasak atau menambah makanan di rumah. Ternyata hanya disimpan sampai busuk, terlupakan di lemari es, atau sampai tanggal kadaluarsa sebelum dimakan.

Fenomena ini sering terjadi saat bulan Ramadhan, membeli semua makanan untuk berbuka puasa. Meski tidak semuanya dihabiskan.

Tentu saja mata lapar yang saya bicarakan berkaitan dengan makanan, bukan sepatu atau tas. Jadi jika pasangan Anda lapar dengan ciri-ciri mata berbinar dan memandangi sepatu atau tas sambil berkata kepada Anda dengan tatapan kasihan: aku aku aku ini sungguh lucu.

Fenomena ini bukan bagian dari diskusi saya. Tidak banyak yang bisa saya sampaikan mengenai kondisi yang Anda alami kecuali: Menunjukkan.

Solusinya…

Saat ini pendapatan per kapita Jakarta dan sekitarnya 3-4 kali lipat rata-rata nasional. Sampah makanan akibat kelaparan di Jakarta dan sekitarnya akan semakin meningkat ukuran secara nasional seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita.

Budaya haus mata ini akan dengan cepat menyerbu daerah lain. Secepat kata-kata aku kamu yang masuk ke dalam otak generasi muda Tanah Air melalui sinetron. Semoga bila saatnya tiba, kebiasaan boros ini tidak menjadi masalah.

Beberapa langkah sederhana yang bisa kita mulai lakukan adalah dengan meminta porsi nasi lebih kecil di restoran, daripada tidak menghabiskannya. Dengan membagi dua porsi nasi setiap kali makan, 1,5 porsi nasi dapat dihemat.

Untuk memuaskan hasrat makan Anda, cukup tambahkan sayuran dan buah-buahan. Selain tidak sia-sia, kebiasaan ini membuat hidup menjadi lebih sehat. Mengurangi konsumsi beras tidak hanya menghindarkan kita dari pemborosan uang, namun juga berdampak besar secara nasional. Budaya ini harus dimulai oleh kalangan menengah atas.

Pada tahun 2014, total lahan untuk produksi padi mencapai 13 juta hektar (selisih 1-2 juta hektar dengan lahan kelapa sawit nasional). Total panennya mencapai 70 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Dari GKG hingga 35 juta ton beras. Total produksi beras ditanggung oleh 240 juta orang di seluruh negeri. Artinya konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia sebesar 145 kg per tahun.

Konsumsi beras sangat luar biasa dibandingkan negara-negara ASEAN, apalagi negara maju. Boleh jadi konsumsi beras per kapita tahunan masyarakat Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia.

Alhasil, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi penderita diabetes yang tinggi. Sementara konsumsi protein (telur, daging ayam, daging sapi, dll) dan serat (sayuran/buah) masih sangat rendah. RI hanya tinggi di bidang makan nasi dan makan teman (eaaa).

Jika tidak ada upaya untuk mengurangi konsumsi beras, pada tahun 2035, ketika jumlah penduduk Indonesia mencapai 400 juta jiwa, dibutuhkan 20 juta hektar lahan tambahan untuk menanam padi saja. Di mana Anda ingin menanam? Di atas laut?

Sagu sebaiknya ditanam di tanah gambut. Tidak merusak alam, menambah oksigen dan mengurangi CO2 serta hasilnya merupakan alternatif karbohidrat pengganti nasi.

Sedangkan untuk masalah pemborosan, jika masyarakat kelas menengah atas di seluruh kota besar mengurangi konsumsi beras dan menggantinya dengan asupan protein dan serat, otomatis konsumsi beras nasional akan turun sehingga pasokan dalam negeri tercukupi sehingga tidak perlu lagi impor. tidak memberi makan (mungkin masih impor beras sushi, risotto, basmati dan jenis beras lainnya yang belum bisa diproduksi lokal).

Sawah dapat dialihfungsikan untuk menanam sayuran dan buah-buahan atau hewan ternak yang mempunyai margin lebih tinggi dibandingkan padi. Saya sedikit khawatir kalau saya sebutkan margin, potensi dituduh kapitalistik sangat besar.

Terakhir, jangan buang makanan lagi. Satu lagi, jangan memandang rendah teman yang selalu menghabiskan makanan pesanannya dengan tatapan merendahkan, itu menyakitkan. Mereka hanya ingin makanannya tidak terbuang sia-sia. –Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan jurnalis, mantan pegawai bank, kini menjalankan kantor konsultan di bidang komunikasi strategis. Namun, ia sangat tertarik mempelajari masalah ekonomi. Gaya tulisannya lucu, namun penuh analisis. Ikuti Twitter-nya @kokokdirgantoro


sbobet