• October 6, 2024

Rumah untuk pulang

Bagi sebagian orang, rumah adalah sebuah cita-cita, sedangkan bagi sebagian orang lainnya, rumah adalah impian.

Bagaimana Anda bisa membayangkan seseorang atau bahkan sebuah keluarga tanpa rumah? Bisakah mereka menjalani kehidupan yang layak? Saya masih tidak bisa membayangkan jika saya adalah seorang pengungsi Ahmadiyah di Lombok yang sudah 10 tahun menjadi pengungsi tanpa rasa aman.

Saya juga mungkin tidak bisa membayangkan menjadi pengungsi Syiah di Sampang, Madura. Mereka yang diusir menjadi paria di tanah airnya sendiri.

Mereka dulunya mempunyai sebuah rumah, tempat tinggal yang meskipun sederhana dan bobrok, namun merupakan milik mereka sendiri. Bagaimana rasanya ditangguhkan lalu dianggap sebagai penyakit yang perlu dibersihkan?

Permasalahan tanah di negeri ini sungguh memprihatinkan. Anda bisa diusir atas nama pembangunan, Anda bisa diusir atas nama iman dan yang parahnya dipaksa bergerak secara paksa atas nama kepentingan nasional.

Sebenarnya apa kepentingan bangsa? Bagaimana Anda mengukur suatu bunga lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain?

Saya masih tidak bisa membayangkan jika saya adalah seorang pengungsi Ahmadiyah di Lombok yang sudah 10 tahun menjadi pengungsi tanpa rasa aman.

Penggusuran dapat dilakukan dengan banyak cara. Perebutan ruang dan tanah sudah menjadi pertikaian abadi di Papua, perlahan lahan adat satu per satu diambil alih atas nama pembangunan.

Kita sering melihat visualisasi masyarakat Papua yang mengenakan pakaian lusuh, bertani sesedikit mungkin, atau terkadang serangkaian foto yang menyatakan bahwa kemiskinan Papua adalah alasan untuk mendukung pemerintah melalui program “pengentasan kemiskinan”.

Namun konteks dan pemahaman kita terhadap kondisi sosio-historis Papua dan Jawa seringkali membuat kita tidak adil. Menurut kami, kehidupan yang layak adalah memiliki rumah berdinding semen, berlantai keramik, dan makan nasi tiga kali sehari.

Jadi ketika kerangka itu diterapkan pada masyarakat Papua, atau suku Anak Dalam misalnya, jelas kita akan menganggap mereka sebagai orang-orang miskin yang perlu dimusnahkan.

Namun apakah kemiskinan itu? Apakah institusi itu? Kemiskinan jelas berbeda dengan gaya hidup.

Ketika masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum republik ini merdeka dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan standar kenyamanan modern, akibatnya tentu sangat memprihatinkan. Mereka bisa kehilangan identitas budayanya dan, yang paling menakutkan, dianggap sebagai beban.

Kita harus bisa membedakan antara kemiskinan dan budaya hidup. Bahwa sebagian masyarakat telah membentuk tradisi berburu, memakan hasil hutan, dan juga berpakaian sopan.

Ketika penghidupan suku Anak Dalam terhimpit akibat keserakahan terhadap kelapa sawit, mereka terpaksa harus puas dengan taraf hidup penduduk kota. Tentu kita punya rasa kasihan, cukup beri mereka rumah untuk ditinggali, beri mereka beras, dan beri mereka pekerjaan, seolah-olah itu adalah obat mujarab untuk menyembuhkan permasalahan mereka.

Dalam sengketa tanah, misalnya, sebuah keluarga terpaksa pindah ke tempat yang dianggap baik oleh kelompok yang sudah mapan. Namun apakah tempat yang baik selalu dapat diterima oleh siapa pun? Sebut saja apartemen, kita kasih rumah ganti, siapkah dia?

Kita menjerumuskannya ke dalam masalah baru dan membayar biaya hidup yang lebih mahal dari sebelumnya.

Pekerjaan yang tadinya dekat dengan rumah kini semakin jauh, biaya hidup semakin meningkat, dan pendapatan tetap. Niat baik yang tidak disangka-sangka untuk membantu ternyata menjadi bentuk pemiskinan yang lebih buruk.

Pekerjaan yang tadinya mencukupi biaya hidup sehari-hari kini harus dipotong untuk membayar sewa. Rumah yang dulunya disangka milik pribadi (namun ternyata ilegal) dirusak dan diratakan.

Segala sesuatu yang awalnya merupakan perjuangan setengah mati untuk bertahan hidup kini berubah menjadi kelangsungan hidup yang putus asa. Meminjam bahasa sutradara film dokumenter Dandhy Dwi Laksono, seseorang yang tadinya “hanya makan dan tidur” harus menempuh jalan panjang dan berliku untuk bisa makan dan tidur sesuai standar orang lain.

Jika kita menolak pilihan untuk bergerak dalam suatu perselisihan, kita dihadapkan pada dua pilihan, menyerah secara paksa atau dianggap sebagai tahanan pidana.

Warga miskin ini bisa saja bersalah, ia menduduki lahan pemerintah secara ilegal dan mengganggu normalisasi Sungai Ciliwung dalam kasus Kampung Pulo. Sementara petani di Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah, dianggap menempati lahan milik TNI.

Cara untuk menyelesaikan keduanya bermacam-macam. Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mencoba berdialog, meski pada dasarnya dialah yang mendiktekan putusan.

“Jika saya ditanya apa hak asasi Anda? “Saya ingin sepuluh juta orang hidup, kalau dua ribu orang menentang saya dan membahayakan sepuluh juta orang, (maka dua ribu orang itu-red) akan saya bunuh sebelum bapak/ibu,” kata Ahok.

Sementara itu, Pangdam Diponegoro mengancam dengan kalimat samar bahwa “TNI akan bertindak jika warga bertindak”.

Keduanya sama, Anda harus membayar, dengan atau tanpa kekerasan. Jika opsi damai ditolak, maka jangan salahkan negara yang menggunakan kekerasan. Namun standar apa yang bisa disepakati agar suatu kekerasan bisa diterima?

Kalau kemudian Anda bernalar, “Ada perundingan damai, ada tawaran pindah, ada ini-itu. Tapi kalau keras kepala, jangan protes kalau dipukul,” maka kita sebenarnya tidak berbicara sebagai manusia. sebenarnya berbicara dengan logika binatang. Jika Anda tidak bisa memerintahnya dengan lembut, pukul saja dia.

Sebuah peradaban atau akal sehat tidak akan ada gunanya ketika pilihan solusi alternatif hanya dibatasi oleh toleransi terhadap benturan.

Kekerasan dapat digunakan ketika:

1. Warga tergoda tapi tidak mau

2. Warga mendapat solusi, namun tidak menginginkannya

3. Warga sudah diperingatkan namun tetap tidak mau

4. Kami mengancam tapi tetap tidak mau

5. Hajar hajar hajar hajar hajar hajar hajar atas nama hukum dan kepentingan umum.”

Ada orang yang beruntung mendapat rumah pengganti, uang ganti rugi, ada pula yang tidak mendapat apa-apa. Kini mereka harus menunggu, terus menanggung stigma salah yang sudah melekat pada mereka, atau memulai hidup baru.

Salah satu hal yang membuat saya dan banyak teman mendukung Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada pemilu lalu adalah janjinya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Hingga hari ini, janji tersebut tampaknya semakin mustahil untuk ditepati. Impunitas ditampilkan dan pelanggaran hak asasi manusia baru diperbolehkan – atau dalam beberapa kasus – dibenarkan.

Lalu apa yang bisa kita perjuangkan dari pemerintahan ini? —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


link slot demo