• November 22, 2024

Runtuhnya integritas kita

Dalam salah satu cerpennya yang terkenal berjudul Runtuhnya Surau kita, AA Navis pernah menulis tentang kisah masjid lebai. Navis menggambarkan seorang penyembah yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk agama. Segala sesuatu dalam hidupnya dilakukan atas nama dakwah.

Namun suatu saat ahli agama ini mendapat sindiran. Orang yang beragama harus bertakwa, tidak hanya peduli terhadap akhirat saja, namun juga harus peduli terhadap permasalahan dunia. Di akhir cerita, pemimpin masjid bunuh diri.

Cerpennya berbicara tentang bagaimana menghubungkan urusan agama dan dunia. Mungkin cerpen hari ini benar-benar menemukan konteksnya pada kasus yang menimpa Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evi Susanti, yang merupakan tersangka korupsi.

Mereka terindikasi memberikan suap kepada tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Citra seseorang tidak boleh membutakan kita terhadap kenyataan.

Sosok Gubernur Sumut ini menyedot perhatian publik, khususnya di media sosial, saat ia ketahuan tidur di masjid. Sebagai pejabat publik, Gatot dianggap sebagai simbol kesalehan.

Gatot yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi idola sebagai pejabat yang meramaikan masjid. Pendukung Gatot beberapa kali memujinya sebagai sosok yang alim. Jauh sebelum terpilih menjadi gubernur, Gatot juga digadang-gadang menjadi calon gubernur yang mewakili citra PKS.

Jadi apa yang terjadi hari ini? Saat Gatot dan salah satu istrinya ditetapkan sebagai tersangka, ada dua kelompok yang mengambil tindakan. Yang tidak suka PKS senang sekali, sedangkan yang kader merasa dirugikan.

Tentu ini bukan hal yang baru, namun ada beberapa hal yang menurut saya perlu kita pertanyakan demi menjaga kewarasan.

Jurnalis senior dan pemimpin redaksi The Geo Times, Farid Gaban, punya pandangan menarik mengenai sikap terhadap tersangka korupsi. Tersangka belum tentu bersalah. Namun kebanyakan dari kita (termasuk saya) cenderung menciptakan standar ganda: Sangat ragu apakah tersangka bersalah jika menyangkut “rakyat kita”, tapi terlalu yakin bahwa tersangka bersalah jika menyangkut “orang lain”.

Kebenaran hukum telah menjadi terlalu subjektif, yang pada dasarnya mencerminkan rendahnya kepercayaan kita terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Di sinilah letak bahayanya: Ketika kredibilitas hukum runtuh, yang ada hanyalah rasa frustrasi dan frustrasi kekacauan yang akan mengisi kekosongan tersebut.

Jika seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, kita perlu mendukung penegakan hukum dalam menjalankan tugasnya. Namun bergembira atas kemalangan orang lain mungkin membuat kita berpikir. Apakah kita senang keadilan ditegakkan ataukah kita senang orang yang tidak kita sukai mengalami kemalangan?

Hanya karena kita tidak menyukai kelakuan dan kemunafikan suatu kelompok, bukan berarti setiap anggota kelompok itu pantas dibenci tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Selain itu, karena kita membenci satu atau dua anggota suatu kelompok, hal itu membuat kita membenci seluruh kelompok. Ini mungkin sulit, bisa melelahkan, tapi itulah satu-satunya hal yang menjadikan kita manusia.

Agar kebencian kita terhadap suatu kaum tidak menjadikan kita tidak adil. Mungkin wajar saja karena pikiran kita begitu berat sehingga suatu saat kita harus membela orang atau kelompok yang kita benci agar selamat dari pikiran jahat, hati yang buruk dan rasa iri hati.

Agar kebencian kita terhadap suatu kaum tidak menjadikan kita tidak adil.

Bahwa jika kita membiarkan ketidakadilan menjangkiti diri kita, lalu apa bedanya kita dengan orang yang membenci Ahmadiyah tanpa alasan yang jelas, membenci Syi’ah tanpa ilmu, dan membenci orang Papua tanpa pemahaman? Kami berdua memiliki kualitas mental yang mirip dengan kotoran, hanya saja kami menyebut diri kami lebih baik dari orang lain.

Citra dan integritas PKS terus merosot seiring berjalannya waktu. Saya ragu jika semua kader partai ini punya masalah. Namun sikap berbagai kader dan keputusan politik partai ini kerap memancing opini negatif. Seperti komentar Anggota Fraksi PKS DPR RI Nasir Djamil yang mempertanyakan latar belakang pendidikan Johan Budi.

Nasir menilai beberapa eksekutor yang ada saat ini tidak memiliki latar belakang hukum. Padahal, Undang-Undang KPK mengatur bahwa pemimpinnya harus memiliki pengalaman minimal 15 tahun di bidang hukum, ekonomi, atau perbankan.

Pernyataan ini pun memicu sikap keras. Salah satunya adalah aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yunto. Emerson mengatakan, latar belakang lulusan non-hukum tidak menjadi masalah hukum.

“Pimpinan sebelumnya tidak memiliki gelar sarjana hukum. Misalnya saja Pak. Amien Sunaryadi, Wakil Ketua KPK periode 2003-2007. “Dia lulus dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara,” kata Emerson.

Apakah itu semuanya? TIDAK. Kebijakan PKS mendukung mantan narapidana kasus korupsi bersaing menjadi kepala daerah di dua kabupaten berbeda. Di Semarang, PKS dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memutuskan untuk mencalonkan mantan narapidana (narapidana) terpidana korupsiSoemarmo Hadi Saputro dan Zubair Safawi, mengikuti Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Semarang 2015.

Soemarmo merupakan mantan narapidana yang terbukti bersalah dalam kasus suap penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Semarang tahun 2012. Sementara di Sidoarjo, PKS bersama Gerindra mendukung mantan narapidana kasus korupsi Sidoarjo APBD 2003, Utsman Ikhsan, telah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (GEC) sebagai calon bupati.

Tentu tidak adil jika menilai PKS hanya karena mendukung mantan narapidana kasus korupsi. Kandidat-kandidat tersebut telah menjalani masa hukumannya dan mempunyai hak untuk ikut serta dalam kegiatan politik. Namun, pertanyaan yang bisa kita kembalikan kepada masyarakat adalah, apakah mereka siap atau percaya dengan orang-orang tersebut?

PKS dulunya punya integritas sebagai partai dakwah, bahkan pernah mengklaim sebagai partai yang bebas dari tindak korupsi. Namun satu per satu kader terbaiknya terlibat kasus di KPK.

PKS masih mempunyai banyak pendukung. Saya kira restorasi dan rotasi kader penting agar suara mereka tidak lagi takut dengan suara tuduhan-tuduhan miring. Lagipula, selama ini PKS hanya menjadi sasaran karena ulah kadernya.

Namun apakah kita pernah bersikap adil dalam memuji prestasi kader mereka? Sampai saat ini saya belum tahu prestasi PKS, tapi saya yakin ada. Tidak mungkin partai sebesar PKS bisa berkembang hanya karena dukungan membabi buta dari kadernya jika tidak diimbangi dengan prestasi yang baik.

Meski saat ini PKS sering menjadi kambing hitam, candaan dan sasaran sindiran banyak orang di media sosial, saya yakin mereka bisa menjadi partai yang lebih baik. PKS perlu mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat.

Sederhananya adalah dengan meningkatkan kualitas frame mereka, terutama yang ada di media sosial. Namun jika tidak ada perbaikan dan kualitas komunikasi politik tidak ditingkatkan, mereka akan terus menjadi sasaran lelucon bulanan.

Siapa yang salah? Jika mau, kita bisa menyalahkan Yahudi, atau Amerika Serikat, atau bahkan Illuminati. Menyalahkan orang lain adalah hal yang paling mudah dilakukan daripada memperbaiki diri sendiri. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


Pengeluaran SGP hari Ini