Runtuhnya sekolah kita: Salah siapa?
- keren989
- 0
Gedung SMP Negeri 1 Sampang Madura dibangun pada tahun 1928. Namun, selama 86 tahun bangunan tersebut tidak pernah direnovasi. Hingga Sabtu (29/11) bangunan tersebut ambruk. Empat belas siswa dan dua guru terluka, termasuk kepala sekolah. Keenam belas korban langsung dilarikan ke rumah sakit.
Yasmine Nurrahmawati, 13 tahun, duduk manis di kursinya sambil bercanda seperti biasa. Sabtu sore itu, Yasmine mengambil kelas bahasa Inggris. Cuaca cerah. Tidak ada tanda-tanda akan terjadinya bencana.
“Tiba-tiba terdengar suara menggunakan“Saya kaget dan memegang kepala lalu lari ke bawah meja,” kenang siswa kelas VII ini, Rabu (3/11). Kecelakaan itu terjadi tepat pukul 09:38 WIB.
Dia kemudian perlahan membuka matanya. “Gelap,” katanya. Dia menyadari bahwa dia berada di tumpukan ubin, paku, dan kayu busuk, penuh debu. Pengap. Berantakan.
Untung saja seorang pria paruh baya segera datang untuk melepaskan pecahan ubin dan kayu yang ada di bangkunya. Cahaya dari sudut pintu kelas mulai terlihat. Ia merasa lega, dan segera dibawa ke rumah sakit yang letaknya tidak jauh dari sekolah.
Yasmine mengalami cedera di pahanya. “Pahanya terbakar,” katanya. Ia berhasil menyelamatkan kepalanya di bawah meja, namun kakinya membentur kayu atap sekolah. Untuk sembuh, ia hanya perlu berobat jalan.
Bukan hanya Yasmine yang menjadi korban, tiga belas siswa lainnya juga mengalami luka-luka.
Menurut Muhammad Roib, kepala sekolah, dari 14 siswa tersebut, hanya satu orang yang mengalami luka berat. Yang lainnya mengalami luka ringan. Namun keempat belas orang tersebut mengalami trauma yang mendalam sehingga harus dirawat oleh psikolog dan dihipnotis selama tiga jam.
Roib sendiri juga terluka bersama dua guru lainnya. “Darah saya menetes ke seluruh baju, celana, dan sepatu saya,” katanya. Ia pun harus dilarikan ke rumah sakit.
Dibangun sejak tahun 1928
Roib mengungkapkan, gedung sekolah SMP Negeri 1 Sampang berusia 86 tahun, dibangun pada tahun 1928.
“Bangunan ini sudah tua, dibangun sejak zaman Belanda. “Pakunya sudah membusuk,” katanya. Dia memastikan usia bangunan tersebut dengan bukti sertifikat.
Sebagai pemilik sekolah tersebut selama tiga tahun terakhir, dia mengaku belum mengetahui secara pasti kapan terakhir kali perbaikan gedung tersebut dilakukan.
Namun menurutnya, kondisi empat kelas yang berada di sisi bangunan yang roboh masih lebih baik dibandingkan lainnya. “Sisi lain lebih rusak. Yang lain lebih berbahaya,” katanya.
Oleh karena itu, sisi bangunan tersebut sebenarnya baru akan diperbaiki pada tahun depan. Bukan prioritas. Sebab, bangunan bagian samping ini tidak tergolong rusak berat, ujarnya.
Kementerian menyalahkan pemerintah daerah
Runtuhnya gedung sekolah di Sampang membuat geram pemerintah pusat. Kementerian Pendidikan Nasional dengan tegas menuding pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan setempat lalai.
“Jika ada sekolah yang roboh, maka pemerintah daerahlah yang harus bertanggung jawab. Karena kasus ini kami serahkan sejak otonomi daerah tahun 2001, kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional Hamid Muhammad.
Tugas kementerian hanya membantu dan mengawasi. Termasuk memberikan pencairan dana.
Menurut Hamid, pemerintah pusat telah mengucurkan dana sekolah ke daerah sebesar Rp10 triliun setiap tahunnya sejak tahun 2003. “Ini untuk semua tingkatan,” katanya.
Dana tersebut, kata Hamid, hendaknya digunakan untuk membangun sekolah yang dirusak oleh pemerintah daerah. “Tapi ya, ada yang melakukannya dengan baik, ada yang melakukannya dengan setengah hati. Bahkan ada yang tidak sama sekali,” ujarnya.
Selain itu, kata Hamid, SMP Negeri 1 Sampang merupakan kasus yang istimewa. “Itu adalah warisan budaya. Jadi tidak bisa sembarangan dibongkar, harus ada izin, ujarnya.
Dan pihak yang harus mengurus izin lagi-lagi adalah pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus aktif, ujarnya.
Hamid mengaku sempat menegur Kepala Dinas setempat. “Jangan diam saja! Hal ini sudah menjadi urusan Pemda selama 14 tahun. “Pemerintah daerah tidak boleh lari dari tanggung jawab dan kewajibannya,” ujarnya.
Menanggapi protes tersebut, perwakilan Dinas Pendidikan Nasional Sampang, Jupri belum bisa berkomentar lebih jauh saat ditanyai.
Menteri mengakui 75 persen sekolah tidak layak
Dua hari setelah runtuhnya gedung sekolah di Sampang, Menteri Pendidikan Anies Baswedan memberikan pemaparan tentang darurat pendidikan bersama seluruh kepala departemen di tanah air. Tepatnya Senin 1 Desember kemarin.
Dalam pemaparannya, Anies menyebut 75 persen sekolah di Indonesia belum memenuhi standar pelayanan. Angka ini berdasarkan pemetaan kementerian terhadap 40.000 sekolah di seluruh negeri pada tahun 2012.
Tak hanya itu, ia juga mengungkapkan hasil uji kompetensi 460.000 guru kurang memuaskan. Sebanyak 44,5 persen belum memenuhi ketentuan minimal 70.
Anies juga menyatakan, Indonesia menduduki peringkat ke-40 dari 50 negara dengan kualitas pendidikan tinggi berdasarkan survei universitas pada tahun 2013.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Hamid mengakui data yang diungkapkan Anies sesuai fakta di lapangan.
75% sekolah tidak memenuhi standar pelayanan, 460.000 guru kurang memuaskan, mutu pendidikan tinggi Indonesia berada pada peringkat 40 dari 50.
“Jadi ada kekurangan di semua aspek. “Bukan hanya gedungnya, tapi juga para gurunya,” ujarnya. Termasuk penyediaan buku.
“Kalau standar penyediaannya 300 buku, maka sekolahnya hanya berkurang satu, sehingga tidak memenuhi standar pelayanan minimal Kementerian,” ujarnya.
Sekali lagi, kata dia, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk membantu sekolah melengkapi kekurangannya.
Kembali ke sekolah membawa trauma
Untung Rifai, psikolog yang khusus menangani siswa korban runtuhnya gedung, mengatakan hingga saat ini masih ada tiga siswa yang mengalami trauma akut dan memerlukan rehabilitasi psikologis lebih lanjut.
Sementara itu, ia telah merawat 72 siswa lainnya dan bisa kembali bersekolah. Termasuk Yasmin.
“Tetapi kita masih belum bisa mengatasi efek domino kelas lain. Kami kekurangan sumber daya karena saya sendirian,” katanya. Dia juga tidak bisa mendapatkan kembali anak-anak TK yang menyaksikan kejadian tersebut.
Ia mengaku meminta bantuan ke pusat krisis di Universitas Airlangga, Surabaya. “Tapi belum ada jawabannya,” katanya. —Rappler.com