• November 24, 2024

Saat membandingkan Jokowi dengan Obama

“AS akan selalu menjadi salah satu mitra penting Indonesia,” kata Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat, Budi Bowoleksono, saat saya temui Jumat (7/11) malam di KBRI Washington DC. Kami berbincang tentang apa yang diharapkan pemerintah AS dengan terpilihnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dan sebaliknya bagaimana Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi akan membentuk hubungan bilateral dengan negara adidaya tersebut.

Jika sebuah editorial bisa menjadi tolak ukur, maka kita bisa melihat isi editorial yang dimuat di surat kabar berpengaruh New York Times tentang kepemimpinan Indonesia. “Pertaruhan Besar Amerika pada Indonesia,” itulah judul editorial NYT yang terbit tanggal 4 November.

Disebutkan, kehadiran Menteri Luar Negeri John Kerry pada pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober lalu merupakan tanda keinginan pemerintahan Presiden Barack Obama untuk lebih terlibat dengan Indonesia. Kehadiran Kerry juga menjadi investasi hubungan AS-Indonesia. Fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan ekonomi terbesar di ASEAN, tulis NYT, seringkali terbantahkan.

NYT memuji proses pemilu yang berlangsung damai dan demokratis. Jokowi yang unggul delapan juta suara dari mantan calon presiden Prabowo Subianto juga dinilai bisa menjadi angin segar karena ia merupakan presiden pertama yang tidak berasal dari elite politik atau petinggi militer. Saya sering mendengar kalimat NYT terlontar dari para pendukung Jokowi pada pemilu presiden lalu. Jika yang dijadikan acuan adalah penerapan era pemilihan presiden langsung, kalimat tersebut ada benarnya.

Pada bagian lain editorialnya, surat kabar NYT menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia. Meski tergabung dalam grup liga elit, anggota G20, lebih dari 100 juta masyarakat Indonesia hidup dengan pendapatan kurang atau setara US$2 atau sekitar Rp25 ribu per hari. Kesenjangan antara kaya dan miskin sangat besar. Indonesia harus serius memberantas korupsi, membangun jalan dan jembatan, menciptakan lapangan kerja, memperluas akses terhadap pendidikan dan mengurangi subsidi harga bahan bakar yang diperkirakan mencapai $20 miliar; subsidi lebih dinikmati oleh kelompok kaya.

NYT juga mengkritik perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berkontribusi terhadap emisi gas. Masalah ini akan saya bahas tersendiri, menyusul bantahan tertulis yang disampaikan KBRI kepada surat kabar NYT.

Presiden Jokowi yang dinilai kurang berpengalaman di bidang ekonomi, politik luar negeri, serta masalah keamanan diharapkan segera belajar. AS, kata penulis editorial NYT, mengandalkan Indonesia sebagai mitra untuk menyeimbangkan kehadiran agresif Tiongkok di kawasan Asia, serta membantu memediasi konflik antara Tiongkok dan negara lain terkait kepemilikan di wilayah klaim Laut Cina Selatan.

Perjanjian antara Indonesia dan Amerika

Pujian Amerika terhadap terpilihnya Jokowi juga didukung oleh Resolusi Senat no. 546, dihasilkan pada uji coba ke-13, sesi kedua. Resolusi ini diperkenalkan oleh Senator John McCain dan diadopsi sepenuhnya oleh Senat. Selain mengucapkan selamat atas terpilihnya Presiden Jokowi melalui pemilu yang demokratis, bebas, dan adil, Senat juga menggarisbawahi nilai-nilai bersama antara AS dan Indonesia terkait hak asasi manusia dan peran hukum. Resolusi ini juga mengingatkan kita akan pentingnya melanjutkan kemitraan komprehensif antara Amerika Serikat dan Indonesia yang ditandatangani pada tahun 2010 sebagai landasan kerja sama bilateral, regional, dan global.

“Dalam beberapa pertemuan yang saya lakukan dengan para pejabat di AS, isu kelanjutan CPA menjadi pembahasan penting,” kata Dubes Bowoleksono.

CPA juga mendorong kerja sama antar-parlemen dan proses pemilu serta pemberdayaan politik bagi perempuan. Senator McCain dari Partai Republik, yang kalah dari Obama dalam pemilihan presiden terakhir, mengatakan: “Indonesia dapat dan harus menjadi salah satu mitra terpenting Amerika.”

Hal itu diungkapkan McCain saat menyampaikan pidato pada peringatan 69 tahun kemerdekaan Indonesia yang digelar di KBRI Washington DC, 10 September lalu. Lebih lanjut, Senator McCain mengatakan peran Indonesia menjadi semakin penting di tengah meningkatnya ancaman dari kelompok ekstremis. Indonesia dan Amerika memiliki kesamaan dalam menghormati keberagaman sebagaimana tercantum dalam konstitusi nasional kedua negara.

“Apakah ada negara lain di dunia yang bisa melahirkan tokoh seperti Jokowi dan Barack Obama sebagai pemimpin? “Hanya Indonesia dan AS yang bisa,” kata Senator McCain.

Selain komitmen warga negara dan aparat sipil untuk tetap bersatu, peran TNI yang berkomitmen untuk memposisikan diri sebagai tentara profesional dan fokus pada tugas pokok menjaga negara ini sangatlah penting.

Tentu saja, Senator McCain tidak menyebutkan betapa buruknya penurunan popularitas Obama saat ini, di tahun keenam masa jabatannya. Penurunan ini berdampak pada nasib Partai Demokrat, yang kalah dalam dua badan legislatif dalam pemilu sela Selasa lalu.

Lima belas tahun yang lalu, kata McCain, banyak yang memperkirakan Indonesia akan terpecah, mengikuti jejak negara-negara di kawasan Balkan setelah reformasi dan demokratisasi. AS juga mengalami ancaman situasi serupa yang dapat dengan mudah menimbulkan perpecahan.

“Tidak ada yang menghasilkan uang dengan bertaruh melawan keberhasilan Indonesia dan AS melalui masa-masa sulit ini,” kata McCain. Dan tidak ada yang mau melakukan itu sekarang. Pidato McCain di KBRI rupanya menginspirasi editorial NYT.

Peran militer Indonesia telah dilupakan

Yang tidak disebutkan dalam editorial NYT maupun pidato McCain adalah aktor-aktor yang berperan dalam menjaga persatuan Indonesia, padahal banyak yang meramalkan bahwa demokrasi Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 akan menimbulkan kekacauan, bahkan perpecahan daerah.

Menurut saya, selain komitmen warga negara dan kekuatan sipil untuk tetap bersatu, peran TNI yang berkomitmen untuk memposisikan diri sebagai tentara profesional dan fokus pada tugas pokok menjaga negara ini, sangat penting.

Masih banyak kritik terhadap kinerja militer. Ada juga keengganan untuk mengungkapkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan tokoh militer Indonesia pada masa Orde Baru, serta pada masa proses reformasi. Jika militer tidak berkomitmen untuk menjauhkan diri dari proses politik, setidaknya secara resmi, kita akan mengalami situasi seperti yang terjadi di negara lain, termasuk Mesir dan Thailand.

Dalam konteks ini, kita tidak bisa melupakan peran sejumlah pemimpin kita di era demokrasi pasca tahun 1998, termasuk yang paling lama berkuasa, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bola kini bergerak ke kaki Presiden Jokowi. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


SGP Prize