selamat dari tsunami karena tersangkut di pohon palem
- keren989
- 0
“Kakak adalah orang yang tegas. Sebagai seorang jurnalis, sangat profesional. Ketika konflik ditutupi di masa lalu, mereka sering kali mendapat ancaman. Malam harinya ada telepon di rumah. Orang-orang meneror. Mengancam anak kami dan saya serta istrinya. Namun dia tak mau bicara, meski wajahnya tegang setelah menerima telepon. Dia mencoba menyembunyikan semua masalah dari kami sendiri. Sampai saya bilang masak ya gan TIDAK apakah kamu ingin memberitahu istrimu?”
Maisarah tak bisa menyembunyikan rasa bangganya saat berbicara tentang sosok mendiang suaminya, Muharram M Nur. Muharram adalah seorang jurnalis yang disegani di Aceh. Ia merupakan salah satu dari 27 jurnalis Aceh yang menjadi korban tsunami.
Saat bencana gempa dan tsunami terjadi, 26 Desember 2004, Muharram sedang bekerja sebagai jurnalis di Harian Serambi Indonesia, di Banda Aceh.
Muharram, Maisarah dan ketiga putrinya tinggal di sebuah kompleks perumahan di kawasan Kajhu, tak jauh dari kantor Harian Serambi Indonesia, dekat kawasan Ulee Lhuue. Daerah tersebut tersapu tsunami. Sosok Muharram diceritakan dalam blog ini.
Minggu pagi itu, tak lama setelah gempa berkekuatan 9,3 SR mengguncang Aceh, Muharram menerima telepon dari kantornya. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Aceh yang saat itu menjabat sebagai Ketua Organisasi Profesi Jurnalis ini diminta meliput dampak gempa di Lapas Kajhu. Muharram buru-buru lari.
Maisarah tidak punya perasaan. Sifat suaminya memang seperti itu. Ada tugas, sesulit apa pun, yang selalu selesai. Berani menantang bahaya.
Putri sulung mereka, yang duduk di bangku kelas 6 SD, pamit membaca Al-Quran sebelum gempa. Maisarah pun menyuruhnya mengambil bekal dari lemari es. Anak kedua mereka, yang duduk di bangku kelas 4 SD, sedang bermain di depan rumah tetangga.
Gempa bumi yang diikuti tsunami besar datang
Gempa besar membuat keduanya bergegas pulang ke rumah. “Diam ya Bu, karena gempa ini berbahaya. Kita berada di lempeng patahan Sumatra, rawan!” kenang Kak Mai, begitu ia biasa disapa. Putri sulung pasangan ini gemar membaca. Seperti ayahnya.
“Diam ya Bu, karena gempa ini berbahaya. Kita berada di lempeng patahan Sumatra, rentan!”
Sekitar 20 menit kemudian, teriakan “Air…air…,” mulai terdengar. Kedua putri sulung Maisarah buru-buru lari dari rumah dan menuju jalan. Maisarah mengikutinya dengan berjalan lebih pelan karena sedang menggendong putri bungsu mereka yang berusia tiga tahun. Tiba-tiba, air setinggi mata kaki dengan busa putih membasahi kakinya. Kaku. Maisarah terlempar hingga terlempar ke sawah di kanan kiri jalan dekat perumahan.
Sesaat kemudian, tsunami air yang sangat besar menyapu Maisarah, semua orang berlarian bersamanya. Putri bungsunya meninggalkan pelukannya. “Saat saya terendam air tsunami, saya tetap sadar. Itu terasa seperti
Saya mencoba berenang mencari anak bungsu saya. “Dua anak tertua saya ada di suatu tempat,” kenang Maisarah.
Lima belas menit ia terendam air tsunami yang bergulung-gulung, hingga Maisarah melihat anak bungsunya. Dia punya waktu untuk mencapainya. “Matanya berwarna putih. Menenggelamkan. Tidak ada nafas. Lalu dia lepas lagi dari tanganku,” kata Maisarah.
Saya (penulis) menemui Maisarah di rumahnya, menjelang Maghrib, pada awal November. Dia masih tinggal di rumah yang dia tinggali bersama mendiang suami dan ketiga putrinya sebelum tsunami merenggut orang yang dicintainya 10 tahun lalu.
Maisarah selamat karena gelombang tsunami menghempaskannya ke pohon palem setinggi lima meter. Lokasi pohon tersebut tak jauh dari rumahnya.
Saat ombak menerpa, dia meraih pohon itu dan mencengkeram batangnya sekuat tenaga. Tak peduli telapak tangannya berdarah saat ia memegang bagian pohon yang berduri itu. Terengah-engah, antara hidup dan mati, dia bertahan sebaik mungkin.
Saat air surut, dia membuka matanya. “Langit masih ada. Putih. Saya pikir, itu berarti ini belum berakhir.” Tubuhnya dipenuhi luka.
Setelah tsunami melanda, tidak ada yang tersisa
Kecepatan tsunami menghantam segalanya. Rumah dan bangunan rata dengan tanah. Perabotan berat seperti tempat tidur, kasur, bahkan pintu rumah berserakan di pegunungan di wilayah bencana.
Korban tewas tersebar. Maisarah tidak punya energi. Hingga sekelompok tentara yang berpatroli mencari korban di dekatnya membantunya turun.
Dia mendengar orang-orang berbicara pelan, hari itu, beberapa jam setelah tsunami. “Tinggalkan yang mati, ayo cari yang hidup,” kata prajurit tersebut.
“Saya coba teriak, tolong…tolong saya masih hidup,” kata Maisarah. Tubuhnya yang lemas dan tidak bisa bergerak digendong dengan pintu rumah sebagai tandu. Tentara yang membantu membawanya ke masjid di Lambaro.
Sudah banyak pengungsi di sana. Kuatnya tsunami membuat baju Maisarah terlepas. Hanya pakaian dalam yang menempel di tubuhnya. Untuk membantu tentara mencari sarung pinjaman untuk menutupi
tubuh Maisarah. Mereka kemudian membawanya ke Rumah Sakit Kesehatan Kodam (Kesdam) di Banda Aceh.
Tak lama di RS Kesdam, tentara memutuskan untuk membawa Maisarah kembali ke masjid di Lambaro. Mereka khawatir meninggalkan Maisarah di sana karena pasiennya banyak sekali, dan tidak ada yang mengenal atau mengenali Maisarah.
“Jika terjadi gempa lagi, tinggalkan Kakak. Diinjak-injak di sini. “Sebaiknya kami mengantarmu ke masjid,” kata prajurit itu.
Maisarah kembali berkumpul dengan keluarga besarnya
Pada hari kedua pasca tsunami, Maisarah menemui adik iparnya yang sedang mencarinya di lokasi rumah, dan mencoba melihat ke masjid tempat pengungsian berada.
Keluarga Maisarah di Sigli sudah dihubungi. Kakak Maisarah mengundang. Transportasi menuju Sigli juga tidak mudah karena SPBU tidak berfungsi.
Maisarah harus menjalani beberapa kali operasi untuk menyembuhkan luka di tubuhnya. Hingga saat ini bahunya masih sering pegal. Telapak tangannya menjadi sangat sensitif, seolah-olah kehilangan kulit pelindungnya.
Saya memegang telapak tangan Maisarah saat kami melakukan wawancara. Lembut, sensitif. “Rasanya geli kalau pegang barang,” kata Maisarah. Dampak memelihara bagian pohon palem yang berduri
selamat dari tsunami.
Luka fisik bisa sembuh, kesedihan emosional butuh waktu
Luka fisik bisa disembuhkan. Meski panjang. Di tengah kesedihan dan trauma mendalam yang dialami Maisarah. Selama tiga tahun ia sangat peka terhadap suara gemuruh air.
Luka fisik bisa disembuhkan. Meski panjang. Di tengah kesedihan dan trauma mendalam yang dialami Maisarah. Selama tiga tahun ia sangat peka terhadap suara gemuruh air.
Kalau dirawat di rumah sakit, sangat sulit. Dia ditempatkan di lantai dasar dan mengalami trauma akibat tsunami lainnya. Ditempatkan
di lantai atas, Maisarah ketakutan, khawatir akan terjadi gempa dan dia tidak bisa segera melarikan diri. “Kalau ada gempa, otomatis saya ingin lompat keluar rumah,” kata Maisarah.
Lima bulan setelah gempa dan tsunami, Maisarah kembali ke Banda Aceh. “Awalnya saya tidak ingin kembali ke sini. Tapi ada banyak urusan yang harus diselesaikan. Bisnis dengan kantor Abang. Jaminan sosial itu penting,” kata Maisarah.
Karena trauma tersebut, ia harus didampingi keluarga dekatnya. Maisarah tidak bisa melihat anak kecil. Dia ingat ketiga putrinya. “Saya merasa marah kepada tetangga. Suami dan Istri, mereka menyelamatkan anak-anak mereka. Senang. Kenapa aku harus kehilangan segalanya? Aku juga mencoba menyelamatkan anakku, kan?”
Semua perasaan tersebut merupakan bagian tersulit dalam kehidupan pascatsunami yang harus dijalani Maisarah. Traumanya begitu dalam hingga dia kehilangan kemampuan membaca.
“Adikku sedang membaca koran, aku bertanya, apa itu? Saat aku melihat televisi, ada sebuah gambar. Saya bertanya, apa ini? Ada gambaran tsunami, saya rasa sama dengan yang saya alami. Jadi saya tidak bisa memikirkan apa pun untuk sementara waktu. Dalam pikiranku hanya ada suami dan tiga orang anakku. Yang lain tidak ada,” kata Maisarah. Kosong.
Wawancara kami terhenti beberapa kali karena Maisarah menangis. Saya membiarkannya. Jangan paksa dia bicara jika dia belum siap, atau tidak mau. Juru kamera sedang syuting
pewawancara kami, seorang jurnalis lokal, lalu berbisik kepada saya.
“Suster Mai tampaknya nyaman berbagi pengalamannya dengan Ny. Uni untuk memberitahu. “Anda bisa melihat ekspresi wajahnya di lensa kamera,” kata juru kamera.
Wawancara tersebut juga didampingi oleh teman jurnalis perempuan Aceh, Saniah dan Kak Farida yang mengenalkan saya pada Maisarah. Mungkin hal inilah yang membuat Kak Mai buka-bukaan soal pengalaman traumatisnya.
Ada sosok yang dikenalnya yang hadir saat wawancara. Syukurlah, akhirnya Kak Mai bersedia berbagi pengalamannya. Dia terisak, aku tidak bisa menghentikan aliran air matanya.
Tragedi hidup yang dialami Maisarah sungguh berat. Pengalamannya lolos dari maut saat tsunami bagaikan sebuah keajaiban. Sebuah keajaiban. Allah SWT berkehendak. Mengambil. Menyimpan.
Berbulan-bulan, bertahun-tahun kemudian, Maisarah belajar jujur. Izinkan suami dan anak-anaknya. Dia sering memimpikan anak-anaknya.
“Dalam mimpi itu, anak-anak menambahkan riang Senang. Lalu suami saya muncul sambil tersenyum dan berkata, anak-anak itu seperti ayahnya,” kata Maisarah. Aku merinding mendengarkan cerita ini. Begitu pula dalam kesedihan Maisarah. Tak terlukiskan.
“Setiap ada berita atau informasi tentang penemuan anak korban tsunami, saya pasti ngotot untuk melihatnya. Periksa secara langsung. Siapa anak itu?” kata Maisarah.
“Dalam mimpi itu, anak-anak menambahkan ceria. Senang. Lalu suamiku muncul sambil tersenyum dan berkata, anak-anak itu bersama ayahnya, oke?”
“Perasaan tidak sendiri, dukungan orang tua dan keluarga membuat saya bangkit. Kami sering bertemu di sini. Berbagi cerita. Kalau cerita sedih, tentang kehilangan, kita menangis dengan. Ada yang lucu, tertawa dengan,” dia berkata.
“Saya minta maaf kepada tetangga yang saya abaikan karena saya merasa bagaimana dia bisa menyelamatkan keluarganya?”
Dua tahun kemudian, Maisarah diminta bekerja di Sekretariat AJI di Banda Aceh. Teman-teman suaminya memikirkan Maisarah, dan berharap kesibukan kerja bisa membuat istri rekannya, mendiang Muharram, bisa bertahan hidup.
Melupakan keluarga tercinta adalah hal yang mustahil. Setidaknya Anda tidak akan sendirian seharian di rumah yang menyimpan kenangan indah, sekaligus trauma akibat tsunami.
AJI Banda Aceh juga melestarikan kenangan profesionalisme Muharram dengan mendirikan sekolah jurnalisme yang diberi nama sesuai namanya. Perguruan Tinggi Jurnalisme Muharram. Sekolah ini didirikan pada tahun 2008, bekerja sama dengan AJI dan lembaga swadaya masyarakat Kanada, Pembangunan dan Perdamaian.
Tujuan didirikannya sekolah jurnalistik pertama yang didirikan AJI adalah untuk menghasilkan jurnalis profesional. “Teman-teman Abang ingin jurnalis muda mengikuti jejaknya. “Kakak pasti senang,” kata Maisarah.
Matanya yang masih sembab tampak berbinar. Senyuman muncul di wajahnya lagi.– Rappler.com
Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, melaporkan peringatan satu dekade tsunami Aceh. Ia mewawancarai 10 perempuan Indonesia yang berperan penting dalam rekonstruksi dan rehabilitasi bencana alam yang merenggut ratusan ribu nyawa. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.