• October 20, 2024

Selamat datang kembali di Jakarta!

Mungkin hari ini kita harus memulainya dengan kejujuran. Separuh pikiran kita masih tertuju pada kampung halaman, berharap kita masih bisa menetap di sana dan tidak harus kembali ke Jakarta. Ya, Jakarta, kota dengan segala kemacetan, kriminalitas, dan sumpah serapah di jalanan.

Anda masing-masing yang beberapa waktu lalu memutuskan untuk pulang, mungkin tidak ingin kembali. Anda tetap ingin tinggal di rumah tempat Anda dilahirkan, yang semuanya masih asri, udaranya masih sejuk, jalanannya sepi dan kemanusiaan masih bisa ditemukan di setiap sudut jalan.

Tapi kita tahu, itu palsu dan sementara, sedangkan Senin pagi di Jakarta adalah kenyataan. (BACA: Pernah Jatuh Cinta dengan Jakarta?)

Saya, seperti Anda, berharap demikian. Memiliki penghasilan dan bekerja sesuai standar Jakarta, namun tinggal dan menetap di kampung halaman. Gajinya besar, sedangkan biaya hidupnya tidak terlalu mahal.

Namun apa daya, pemerataan pembangunan yang gagal hanya menyisakan remah-remah di rumah kelahiran kita. Jika kita ingin kaya dengan gaya hidup mewah, mungkin suka atau tidak, sebaiknya kita pergi ke Jakarta. Pekerjaan adalah apapun yang bisa kita dapatkan karena gaya hidup masih mahal dan gengsi tidak murah.

Senin pagi di Jakarta setelah Idul Fitri. Jalanan akan macet dan keajaiban akan muncul di setiap lampu merah. Pengendara sepeda motor bertransformasi ibarat benda cair yang mengisi ruang kosong antar mobil, bergesekan dengan mobil yang cicilannya belum lunas, sesekali melihat ke kiri dan ke kanan mencari peluang untuk menyiasati lampu merah dan melaju sesuai aturan untuk melanggar. Namun siapa yang seumur hidupnya tidak pernah melanggar peraturan lalu lintas di Jakarta?

Ini bukanlah sebuah pembenaran. Sekadar mengingatkan, bahwa kota ini tidak hanya melahirkan orang-orang berakhlak mulia, namun juga terkadang pelanggar lalu lintas yang kerap mencuri peluang untuk memberontak. Pemberontakan adalah sebuah kemewahan kecil di Jakarta karena di kota ini Anda diajarkan untuk tunduk seperti bidak catur.

Pemberontakan di Jakarta membuat masyarakat menjadi individu yang terbebas dari belenggu rutinitas.

Tentu saja, tidak semua orang terlahir sebagai pemberontak. Hari ini Anda mungkin akan memulai dengan keluhan, dengan keluhan, dengan omelan, dan segala sesuatu yang menyertainya. Namun, sejumlah warga Jakarta merayakan Senin ini dengan penuh kegembiraan.

Mereka yang dua minggu terakhir harus mencuci pakaian sendiri, mereka yang harus mengasuh anak sendiri, dan mereka yang harus mengasuh orang tuanya sendiri. Para majikan, tuan dan nyonya yang mempunyai kelebihan uang untuk membayar orang lain sedang melaksanakan tanggung jawab kemanusiaan.

Mungkin tidak semua orang melakukannya, hanya mereka yang mempunyai uang dan kesempatan. Mungkin ini juga yang membuat Jakarta seperti terang, menarik perhatian ngengat. Ribuan orang datang ke Idul Fitri, berharap sukses di Jakarta, mencari sisa remah kue raksasa yang disediakan Jakarta. Ia mewakili harapan, karena di kota pekerjaan semakin sulit didapat dan kehidupan sudah tak tertahankan lagi.

Pagi ini di Jakarta mungkin kita akan bertemu dengan wajah-wajah baru yang belum pernah kita temui sebelumnya. Dia adalah kerabat dari kerabat teman Anda. Ia baru saja lulus dari universitas dengan IPK cemerlang, berharap bisa menjadi karyawan di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Karena di kampung halamannya, orang-orang seperti keluarga teman Anda tidak dapat menemukan pekerjaan yang cocok.

“Tidak ada gunanya kuliah mahal hanya untuk menjadi petani kawan,” ujarnya saat ditanya kenapa tidak bekerja di kota saja.

Sejak kecil, orang-orang seperti saya diajari untuk menganggap bahwa pekerjaan sebagai petani, nelayan, peternak sapi adalah strata termiskin dari jenis pekerjaan yang ada. Jadilah PNS sebaik-baiknya, berbakti pada negara, berbudi luhur di mata orang tua, berani di mata calon mertua.

Jika gagal? Hijrah ke Jakarta, jadi orang besar, jadi orang Gedongan. Tapi apakah itu masih benar? Itu dulu, saat Doel masih bingung memilih Zaenab atau Sarah. Sekarang zaman sudah maju, kenapa semua orang berbondong-bondong ke Jakarta hanya untuk menjadi orang Gedongan?

Ribuan orang datang ke Idul Fitri, berharap sukses di Jakarta, mencari sisa remah kue raksasa yang disediakan Jakarta.

Siapa yang salah? Tentu saja tidak ada yang salah. Pemerintah kami telah bekerja keras untuk mencapai kesejahteraan. Pemerintah kita sedang berusaha untuk tidak lagi berpaling dari laut, sehingga prioritas pekerjaan yang diberikan adalah membangun jalan darat di Sumatera.

Pemerintah kita ingin mulai mengagung-agungkan pertanian, makanya banyak dibangun proyek pertanian di Indonesia Timur, entah apa yang akan terjadi ke depan. Bagaimanapun, pemerintah kita berhasil, bukan? Tentu saja di Jakarta.

Pagi ini di Jakarta kita masih akan disibukkan dengan tugas dan… tenggat waktu, namun bukan berarti kita mengabaikannya. Apakah kasus penembakan Paniai masih menunggu penyelesaian atau dianggap sudah selesai?

Oh iya lupa ada yang terbaru, tragedi Tolikara. Kami di Jakarta bisa melihat melalui teropong berbagai permasalahan di Papua, menjadi ahli dengan satu atau dua artikel, kemudian memberikan komentar ilmiah yang merupakan ahli bersertifikat. Karena menjadi orang Jakarta seringkali mengharuskan Anda mengetahui dan mengomentari segala hal.

Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Tentu saja tidak, bukan?

Jakarta menawarkan kesempatan bagi semua orang yang ingin datang. Syarat dan ketentuan berlaku tentunya. Syaratnya adalah Anda memiliki keterampilan. Tidak masalah jika tidak punya, yang terpenting punya anggota keluarga atau koneksi. Bisa juga kemampuan ibu. Jangan membawa ijazah karena yang terakhir saya ingat tidak ada nilainya.

Di Jakarta, apa pun bisa bernilai uang selama Anda pintar mengemas barang dengan cara yang menarik dan penuh warna. Misalnya saja mencuri menciak seseorang, unggah ke Instagram lalu jual slot iklan hingga puluhan ribu pengikut apa yang kamu dapat dari kepalsuan. VoilaAnda menjadi jutawan.

Tapi ya, tidak semua orang di Jakarta seperti itu. Masih banyak orang baik. Masyarakat yang ingin menyelamatkan kesucian agama dari tiran coba cek hashtag #GazaInJakarta. Lihat betapa orang-orang ini sangat mencintai agama dan ingin menegakkan kebenaran.

Tentu saja orang-orang yang berakhlak mulia, berakhlak mulia, dan patriotik ini bukanlah orang-orang yang mudah tertipu dengan propaganda murahan. Apalagi sebagai orang terpelajar, mereka harus bisa berpikir dengan baik, tidak hanya percaya pada rumor.

Jakarta adalah gambaran buram tentang betapa kita sebenarnya suka menyakiti diri sendiri. Kota ini keras, konon sekuat keinginanmu kembali bersama mantan, tapi juga lemah, sama lemahnya dengan tekadmu untuk setia.

Oh maaf, bukan itu, ini tentang bagaimana kamu mendefinisikan kebahagiaan. Bangun pagi di kota satelit, sebelum matahari belum terbit, berangkat kerja ke Jakarta, lalu pulang saat matahari sudah tertidur dalam perjalanan. Apakah kebahagiaan begitu mahal? —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


Data SGP Hari Ini