Sendirian, Sadiman membebaskan desanya dari kekeringan
- keren989
- 0
WONOGIRI, Jawa Tengah – Perayaan dan kemeriahan terasa di Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, sebuah desa di lereng Gunung Gendol, ujung timur Kabupaten Wonogiri. Di sepanjang jalan berbatu terdapat bendera merah putih, lampu hias, dan deretan orang-orangan sawah yang dibuat menyerupai tentara perang.
Di ladang dan lahan kosong, warga terlihat ramai mengikuti berbagai perlombaan. Yang lain melukis topi bambu di taman kepala desa sebagai fitur karnaval budaya.
Di sudut lain, titik tertinggi dan terjauh di kota itu, Sadiman (61) menyusuri jalan sempit berbatu di tepi tebing menganga. Kakinya masih cukup kuat dan lincah menyusuri jalan terjal naik turun di antara rerumputan dan bebatuan. Sadiman tidak ikut merayakan bersama warga lainnya. Ia memilih memaknai kemerdekaan dengan caranya sendiri.
Hampir setiap hari ia menjelajahi hutan, jika ia tidak sedang menggarap lahan pertaniannya. Ia bertani padi, namun menghabiskan sebagian besar waktunya merawat pohon beringin yang ditanamnya di hutan bagian atas.
“Pohon-pohon kecil jika tidak dirawat bisa rusak dan mati,” ujarnya sambil menunjukkan beberapa pohon yang ditanamnya di bukit terjal.
Sejak awal tahun 1990-an, Sadiman terus melakukan penanaman bibit pohon di Hutan Gendol yang merupakan hutan negara. Hingga saat ini, ia telah menyumbangkan setidaknya 11.000 pohon – 4.000 di antaranya adalah pohon beringin – kepada alam. Oleh karena itu, Sadiman menjadi satu-satunya orang yang mendapat izin menanami lahan yang dikelola Perhutani.
“Niat saya dari awal hanya untuk menghidupkan kembali sumber air di gunung yang sudah lama kering. “Saya pertama kali menanam pohon beringin karena pohon ini dapat menyimpan cadangan air tanah,” kata Sadiman.
Kebakaran dan penebangan pohon yang diakibatkannya menyebabkan hutan gundul dan mata air mati. Warga Desa Geneng dan Conto yang letaknya berada di lereng selalu mengalami kekurangan air bersih pada musim kemarau. Sungai yang menjadi satu-satunya sumber air semakin mengering.
Namun, keadaan mulai membaik beberapa tahun lalu. Upaya Sadiman membuahkan hasil setelah beberapa mata air yang bersumber dari Gunung Gendol kembali mengalir dan mampu menghidupi sedikitnya 3.000 orang.
Bahkan saat musim kemarau panjang, ketika wilayah Wonogiri lainnya mengalami kekeringan dan mengandalkan air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, desa tempat tinggal Sadiman terbebas dari krisis air. Setidaknya mata air tersebut masih mencukupi kebutuhan minum dan sanitasi.
Di bagian hulu, deretan pipa paralon mengalirkan air dari mata air ke tangki penampungan di setiap rumah. Warga kini bisa menikmati segarnya air pegunungan secara gratis. Mereka hanya perlu menyediakan dana swadaya untuk memasang pipa-pipa tersebut.
Bagi Sadiman, kemandirian itu sederhana, yaitu hutan kembali hijau, sumber mata air kembali kuat dan memenuhi kebutuhan semua orang, termasuk untuk pengairan sawah.
“Memang tidak semua desa punya akses air. “Saya ingin lebih banyak lagi masyarakat yang bisa menikmati air bersih,” kata Sadiman.
Kepala Desa Geneng, Tarno menyebut Sadiman adalah orang yang ikhlas karena tidak pernah mengharapkan imbalan dari pemerintah atau orang lain atas upaya penghijauan hutan. Diakuinya, upaya Sadiman telah membantu banyak warga desa menikmati air bersih.
Dulu masyarakat mengambil air dari sumur di bantaran sungai, kalau musim kemarau selalu kering, kata Tarno.
“Sekarang semuanya lebih mudah, setidaknya tersedia cukup air untuk kebutuhan rumah tangga sebagian besar penduduk kota.”
Desa Geneng terdiri dari 839 keluarga, dimana lebih dari 600 keluarga mempunyai akses terhadap air bersih dari mata air di Gendol. Sedangkan di Desa Conto ada dua dusun yang juga memanfaatkan aliran sungai.
Keberhasilan Sadiman memperbaiki hutan kini telah meningkatkan kesadaran warga sekitar akan pentingnya pepohonan. Sebagian masyarakat yang tadinya mengabaikan reboisasi dan menganggap upaya Sadiman sia-sia, kini mulai peduli terhadap lingkungan.
“Beberapa dusun mulai bersatu mendukung usaha Pak Sadiman karena sudah melihat hasilnya,” kata Tarno.
Mencari bibit pohon
Pekerjaan Sadiman sebagai petani dan pemburu rumput untuk ternak tidak menjanjikan banyak materi, mungkin jauh dari kata cukup. Namun, ia rela mengeluarkan sedikit demi sedikit uangnya sendiri untuk membeli bibit pohon beringin.
Harga bibit beringin yang berkisar Rp50.000 hingga Rp100.000 terbilang cukup mahal baginya. Untuk mengatasi kendala keuangan, ia awalnya mencangkok pohon di hutan untuk mendapatkan bibit gratis. Namun cara ini membutuhkan banyak tenaga dan waktu.
Ia kemudian mengembangkan usaha benih cengkeh di pekarangan rumahnya untuk menjual dan menukarkan benih beringin. Sepuluh biji cengkeh bisa ditukar dengan satu meter biji beringin.
Sadiman menanam dan merawat pohonnya dengan sungguh-sungguh. Ia membeli sendiri pupuk untuk menunjang pertumbuhan tanaman, menulis surat larangan menebang pohon di hutan, dan menyiapkan beberapa kader pemuda untuk merawat hutan.
“Saya selalu mengajak generasi muda untuk menanam pohon dan melarang menebangnya. “Pohon menyokong kehidupan kita, menyediakan air bersih dan menahan erosi dan banjir,” kata Sadiman.
Saat ini Sadiman membutuhkan sekitar 20.000 bibit pohon lagi untuk ditanam agar hutan lebih hijau, serta memperbanyak aliran air agar bisa dinikmati lebih banyak orang. Ia juga bisa menerima sumbangan selain bibit pohon beringin, asalkan tanamannya berkayu keras dan berakar kuat.
Sadiman mengajukan permintaan benih kepada pemerintah, namun hingga saat ini belum ada bantuan sama sekali. Ia beberapa kali menerima sumbangan dari perorangan sebagai apresiasi atas kepeduliannya terhadap hutan, namun tidak pernah masuk ke kantong pribadinya.
“Pak Sadiman, kalau diberi uang oleh camat, bupati, atau siapa pun, dia akan membeli bibit pohon, bukan untuk keperluan pribadi,” kata Rahmat, warga sekaligus tetangga yang mengagumi semangat petani tua itu.
Jangan menyerah
Kiprah Sadiman bukannya tanpa kendala. Tidak semua pohon yang ditanamnya tumbuh dengan cara yang sama. Banyak yang rusak, mati, atau ditebang orang untuk dijadikan makanan kambing, namun ia tidak mudah menyerah dan terus menanam bibit baru.
Bahkan ada pohon yang dicabut oleh masyarakat yang tidak setuju dengan lahan yang disewakan untuk penggembalaan yang ditanami pohon oleh Sadiman. Ia beberapa kali terpaksa mengumpulkan uang untuk membayar sewa tanah agar bisa menanam pohon dengan leluasa.
“Sebagai imbalannya, saya membayar rumput agar saya bisa menanam pohon dengan leluasa tanpa diganggu,” kata Sadiman.
Dari rumah menuju hutan, Sadiman harus berjalan kaki sejauh 3 kilometer karena tidak memiliki sepeda, sepeda motor, atau alat transportasi lainnya. Oleh karena itu, ia bisa bolak-balik ke lereng gunung membawa bibit pohon untuk ditanam dua kali sehari.
Sadiman sadar, reboisasi merupakan pekerjaan jangka panjang yang hasilnya hanya bisa dinikmati dalam hitungan tahun. Oleh karena itu, penghijauan hutan tidak hanya memerlukan kesabaran, namun juga upaya yang berkesinambungan.
“Reboisasi bukan hanya sekedar penanaman bibit, tapi juga mencegah agar tidak tumbuh menjadi pohon besar dan menebangnya,” kata Sadiman.
Melihat kegigihan Sadiman dalam memulihkan hutan, masyarakat setempat menobatkannya sebagai salah satu tokoh lokal inspiratif di bidang lingkungan hidup. Bupati Wonogiri Danar Rahmanto ingin menyerahkan Sadiman ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menerima penghargaan Kalpataru atas pengabdiannya terhadap hutan dan sumber daya air.
“Sebelumnya mata air ini tidak ada, setelah ditanam pohon besar mengalir kembali, meski musim kemarau,” kata Danar.
Namun, Sadiman tak terlalu peduli dan berharap adanya penghargaan. Sebab tujuan penanaman pohon adalah untuk menjaga kelestarian hutan dan mata air bagi kehidupan masyarakat, bukan untuk mencari popularitas.
Padahal, yang diharapkannya saat ini adalah bibit pohon baru yang siap ditanam. Tertarik untuk membantu? — Rappler.com