• October 5, 2024

Sesak napas di Sungai Tohor

Kebakaran di Riau kian meluas. Apa yang telah terjadi? Blogger Rika Nova yang juga aktivis Greenpeace mencoba mencari jawabannya dengan berkunjung ke sana.

Abdul Manan bertemu Lili 18 tahun lalu, saat kabut asap kebakaran hutan dan lahan gambut muncul sebagai bencana baru. Perkenalan itu berlanjut hingga berpacaran, lalu menikah, dan memiliki tiga orang anak, hanya satu hal yang tak berubah: Kabut asap menyelimuti mereka dari segala penjuru dan meninggalkan abu perkebunan sagu di sepanjang Sungai Tohor.

Desa Sungai Tohor berada di Pulau Tebing Tinggi, sebuah pulau gambut di Provinsi Riau. Kota ini belum pernah mengalami kebakaran separah ini. Oleh karena itu, Tohor menjadi indikator penting seberapa parah kebakaran hutan dan gambut pada tahun 2014.

Pak Manan hanya satu dari ribuan korban yang merokok sejak rupiah masih Rp 2.350 per dolar. Saat itu, kerugian akibat polusi asap akibat kekeringan dan gelombang panas sudah menelan biaya hingga 799 juta dollar AS. Sementara itu, kebakaran hutan pada bulan Maret dan April 2014, di Provinsi Riau saja, menimbulkan kerugian hingga Rp 20 triliun atau sekitar $1,5 miliar dollar AS.

Ironisnya, asap semakin membesar seiring dengan obsesi pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, menyetujui ekspansi bisnis serampangan yang mengorbankan lahan gambut dan hutan, termasuk ekosistem dan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Itu sebabnya kabut asap tidak pernah hilang karena hal ini direstui oleh pemerintah kita sendiri.

Permasalahan kebakaran hutan dan lahan gambut yang menimbulkan kabut asap tidak akan pernah terselesaikan selama cara-cara yang dilakukan pemerintah lebih fokus pada gejalanya dibandingkan akar penyakitnya. Dengan kata lain, pemerintah hanya mengejar kebakaran, bukan penyebab kebakaran.

Para mandor dan komandan juga ditangkap polisi dalam upaya memadamkan api. Pemerintah merasa berani karena sudah menemukan kambing hitam. Sebenarnya kebakaran hutan tidak semudah membakar pelaku pembakaran atau menangkap pelaku pembakaran. Seandainya semudah itu, kasus kebakaran hutan dan lahan gambut bisa terselesaikan sebelum rupiah mencapai Rp 13.000 per dolar.

Kebakaran adalah masalah mengeringkan lahan gambut. Tentu saja lahan gambut basah yang sebelumnya menyimpan karbon akan melepaskan karbon dalam jumlah besar ketika dikeringkan sehingga mudah terbakar. Pasangan muda yang sedang bercinta lalu tanpa sengaja membuang puntung rokok ke rumput kering juga bisa menjadi penyebab kebakaran besar. Yang jelas, tidak terpuji kalau keluar rumah sembarangan, maksudnya membuang puntung rokok sembarangan. Namun, apakah pemerintah mau menangkap pelempar puntung rokok yang sedang jatuh cinta?

Mengapa lahan gambut mengering?

Pertanyaan pentingnya adalah mengapa lahan gambut mengering? Tentu saja karena sudah dikeringkan. Belum ada penjelasan ilmiah tingkat tinggi atas fenomena alam luar biasa yang dapat menyebabkan ribuan hektar lahan gambut di Sumatera mengering secara alami. Yang ada hanyalah cerita perusahaan multinasional dan perusahaan bernilai triliunan rupiah yang membutuhkan lahan, kemudian mengeringkan gambut dengan membuat kanal, sehingga air gambut tersebut mengalir ke laut.

Akhirnya pada tahun lalu, melalui petisi, Pak Abdul Manan yang nyaris frustasi meminta Presiden Jokowi untuk berwisata ke Sungai Tohor. Dia ingin aparat tidak hanya ngobrol di Jakarta saja, sementara warga terdampak kebakaran dibiarkan begitu saja. Masyarakat ingin aparat yang menghambur-hamburkan pajak juga merasakan dan melihat langsung akar permasalahan kebakaran hutan.

Apakah blusukan menyelesaikan masalah?

Blusukan jelas tidak menyelesaikan masalah, namun inisiatif masyarakat membangun 13 blok saluran adalah solusinya. Inisiatif ini kemudian dipolitisasi dengan kehadiran Jokowi – melalui blusukan – yang menyetujui penutupan kanal agar lahan tetap basah. Setidaknya masyarakat punya alasan untuk memblokir saluran yang dibuat perusahaan tersebut. Kalau tidak, beraninya kamu melawan pria berseragam?

(BACA: Penghilangan Asap Jokowi Berhasil Cegah Kebakaran Hutan)

Presiden Jokowi memasang sekat kanal di sungai di Riau, pada 27 November 2014. Foto oleh Greenpeace Indonesia

Lahan basah membuahkan hasil melimpah, akhirnya titik api berkurang drastis di tahun ini, bahkan sudah tidak ada lagi di Desa Tohor. Bonusnya, warga tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli air di musim kemarau. Air gambut menjadi sumber alternatif kebutuhan toilet pada dua bulan terakhir musim kemarau.

Padahal, tahun lalu Pak Manan harus membayar setidaknya Rp30.000 per barel air untuk kebutuhan toilet, di luar air minum. Sedangkan warga yang tidak mampu membeli air harus berjalan jauh ke dalam hutan. Satu-satunya pilihan adalah kebahagiaan atau keberuntungan. Sayang sekali jika tidak mendapatkan sumber mata air setelah seharian menjelajah.

Perhitungan matematis untuk SD kelas 3 adalah sebagai berikut: Jika Pak Manan membeli satu drum air sehari, maka dalam satu bulan ia akan menghabiskan Rp900.000,- atau lebih dari setengah upah minimum Provinsi Riau tahun 2014 sebesar Rp1. ,7 adalah. juta.

Belum lagi biaya air minum. Padahal dia bilang bumi dan udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah menguasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saya tidak tahu orang yang mana.

Singkatnya, rumput basah menyelamatkan setiap keluarga di Desa Sungai Tohor dari pengeluaran uang sebesar Rp1,8 juta selama dua bulan musim kemarau, atau setara dengan upah minimum Riau pada tahun 2015.

“Ini yang bisa dilakukan Presiden: Melarang pembangunan kanal baru di lahan gambut, sekaligus memblokir seluruh kanal yang sudah ada.”

Akhir yang bahagia? Tentu tidak, hanya film Hollywood saja yang bisa memilikinya akhir yang bahagia sangat cepat

Pemasangan penyekatan saluran di Sungai Tohor, Riau, pada 27 November 2014. Foto oleh Greenpeace Indonesia

Sekat kanal yang dibangun warga bukanlah bendungan permanen, luasan kebakaran hutan dan jumlah titik api di Desa Tohor tidak signifikan. Sepanjang tahun lalu saja, kebakaran yang terjadi di Pulau Tebing Tinggi sebanyak 1.250 kali kebakaran, atau hanya mencapai 5,79% dari total kebakaran di Riau, atau 1,38% dari total kebakaran di seluruh Indonesia.

Maka yang diperlukan untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan gambut secara permanen adalah penutupan saluran secara permanen, tidak hanya secara fisik, namun juga regulasi, dan kemudian diduplikasi di seluruh lahan gambut di Indonesia. Itu hanya satu langkah. Itu saja untuk saat ini.

Ini yang bisa dilakukan Presiden: Melarang pembangunan kanal baru di lahan gambut, sekaligus menutup seluruh kanal yang sudah ada.

Daripada banyak janji, kaya pacar baru, gimana kita selesaikan dulu? Agar Anda tidak hanya memberikan banyak janji. Sebab, lahan gambut basah ini merupakan jagoan pembunuh asap. —Rappler.com

Rika Novayanti adalah mantan jurnalis ekonomi Bisnis Indonesia. Ia kemudian bergabung dengan Greenpeace Indonesia. Rika tertarik pada isu lingkungan dan perempuan. Ikuti dia di Twitter di @RikaNova atau kunjungi blognya di www.rikanova.com.

Data SDY