• December 5, 2024

Siapa yang berhak menikah, negara atau agama?

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Apa yang menjadi pilihan saat ini menunjukkan bahwa negara tidak bisa memaksa pemeluk agama untuk menikahkan orang yang berbeda agama. Apalagi menikah dengan sesama jenis

Saat ini, perdebatan publik mengenai pernikahan sesama jenis akan terus memanas. Terutama di media sosial seperti Twitter dan Facebook. Bisa sangat menyakitkan. Sherina dihantam ribuan hinaan yang diterimanya karena dukungannya terhadap LBGT. Masih banyak lagi yang harus diikuti. Muram.

Perdebatan. Terkadang kita lupa bahwa pertengkaran bukan sekadar pertengkaran. Terjadi proses tukar pikiran untuk saling menggeser posisi terhadap permasalahan yang dibicarakan. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah pemahaman tentang pekerjaan apa saja yang tersedia.

Jika masalahnya hanya sekedar setuju atau tidak setuju dengan pernikahan sesama jenis, argumennya bisa sangat lucu. Tidak akan kemana-mana dan berpotensi sekedar saling mengolok-olok.

Ada artikel di website berikut yang mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap pernikahan sesama jenis karena homoseksualitas bukan sekadar masalah genetika. Kamu tahu?

Apakah pilihan agama merupakan masalah genetika? Apakah ini berarti kita boleh mendiskriminasi seseorang karena agamanya? Lagi pula, bukankah agama hanyalah soal genetika?

Jika pilihan agama dan pilihan orientasi seksual bukan soal genetika, apa yang membuat negara melindungi kebebasan beragama dan bukan kebebasan orientasi seksual? Argumen yang tidak masuk akal.

Jadi, mari kita kembali ke dasar dulu. Siapa yang mempunyai wewenang untuk menikah? Negara atau agama? Ini adalah poin perdebatan pertama. Jangan bicara tentang pernikahan sesama jenis dulu. Masih terlalu jauh.

Fakta bahwa negara mempunyai Undang-Undang Perkawinan menunjukkan bahwa negara bisa mempunyai kewenangan untuk menikah. Tentukan apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak. Fakta bahwa UU Perkawinan saat ini mengatur pernikahan sebagai ranah agama, ya, menjadi pilihan saat ini.

Masalah pernikahan ini rumit. Secara historis, perkawinan ini merupakan lembaga agama atau adat. Rentetan akibat tersebut berkaitan dengan dunia dan akhirat.

Lebih dari itu, bagi agama atau tradisi pernikahan ini merupakan sesuatu yang sangat sakral. Sebuah janji suci dihadapan Tuhan dan masyarakat. Jadi, saya sangat memahami motivasi agama untuk menjaga pernikahan tetap dalam ranah agama.

Dampaknya, sebagaimana pilihan yang ada saat ini, negara tidak bisa memaksa pemeluk agama untuk menikahkan penganut agama berbeda. Apalagi menikah dengan sesama jenis.

Apa dalil yang bisa menjadikan negara harus hidup berdampingan dengan agama untuk mempunyai kewenangan atas perkawinan? Tentu saja sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi seluruh warga negaranya.

Sebab bagi sebagian warga, pernikahan bukanlah soal janji suci di hadapan Tuhan. Pernikahan merupakan suatu perjanjian perdata. Negara memberikan perlindungan kepada mereka yang mengadakan perjanjian perdata ini.

Dalam undang-undang perkawinan yang ada, negara gagal melindungi kepentingan warga negara yang menginginkan perjanjian perdata tersebut. Ketika mereka berbeda agama atau berjenis kelamin sama.

Terlebih lagi, berdasarkan undang-undang saat ini, hidup bersama adalah sebuah kejahatan. Catatan singkatnya, undang-undang yang ada membuat kelompok LGBT lebih bebas untuk hidup bersama. Sebab pasal tersebut dengan jelas menyebutkan laki-laki dan perempuan. Untuk ini saya iri pada kelompok LGBT.

Saat ini, negara tidak menawarkan alternatif apa pun bagi orang yang berbeda agama. Beberapa akhirnya berpura-pura pindah agama. Ada yang menikah di luar negeri lalu mendaftar ke catatan sipil. Semuanya adalah jalan yang berkelok-kelok. Itupun secara otomatis mereka terikat dengan perjanjian pemisahan harta. Apa perlindungannya?

Mengapa perlindungan ini sangat penting? Sebab, jika masyarakat hidup bersama maka akan terjadi penumpukan kekayaan. Dan mungkin hutang juga. Hak dan kewajiban sipil yang nyata tidak dapat dipisahkan. Pernikahan melindunginya.

Misalnya, ketika suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, maka kedua belah pihak mendapat bagian yang adil atas harta bersama. Belum lagi masalah anak-anak. Pasangan beda agama yang tinggal bersama karena negara tidak mau menikahkan mereka sangat rentan terhadap masalah ini.

Di satu sisi, perempuan tidak bisa memaksa laki-laki untuk membiayai anaknya. Di sisi lain, laki-laki juga tidak bisa mempunyai hak sipil atas anak. dimana negaranya

Kesenjangannya ada di sini. Pada titik di mana negara menawarkan perlindungan terhadap heteroseksual yang seagama. Dan tidak bagi mereka yang berbeda keyakinan atau homoseksual.

Apakah kesenjangan ini merupakan akibat dari pilihan? Bisa iya bisa tidak. Ini mungkin menjadi pokok perdebatan kedua. Kami menundanya lain kali.—Rappler.com

Penulis belajar menulis artikel populer. Tertarik pada isu independensi dan kesetaraan. Ikuti Twitter-nya @sangat banyak


SGP Prize