• September 20, 2024

Siapa yang berperan dalam insiden Tolikara?

Hari keempat kejadian Tolikara. Istilah kejadian saya gunakan untuk menyebut peristiwa yang terjadi di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua Barat. Kamus Oxford mendefinisikan ‘insiden’ sebagai insiden serius dan penuh kekerasan, misalnya kejahatan, kecelakaan, atau penyerangan.

Peristiwa yang terjadi pada Hari Raya Idul Fitri, 17 Juli 2015 dini hari pukul 07.00 waktu setempat dan tidak berkembang lama. Ada warung yang terbakar, begitu pula musala. Boleh dikatakan terjadi situasi ricuh di area terbatas di Karubaga, namun dengan cepat dapat dikendalikan oleh petugas di lapangan.

Peristiwa Tolikara memicu perbincangan hangat di media sosial dan media komunikasi digital. Media memberitakan secara luas dengan berbagai versi, baik dari petinggi, pejabat, Komnas HAM dan berbagai tokoh lintas agama. Saya juga memantau akun media sosial para jurnalis dan mereka yang berasal dan tinggal di Papua.

Salah satunya adalah jurnalis Victor Mambor. Ia mengunggah status yang intinya menunjukkan kehidupan antaragama di sana berjalan baik. “Idul Fitri bukan waktunya membunuh orang! Idul Fitri adalah waktu untuk memaafkan dan bersukacita.”

Victor adalah seorang Muslim, bukan mualaf. Keluarganya tinggal di lingkungan Kristen. Banyak suara seperti Victor yang datang dari teman-temannya di Papua.

Mendengar hangatnya perbincangan #Tolikara, saya bersyukur kita berada di era media sosial. Ketika “kemarahan” bisa disalurkan hanya dengan jempol dan jari, disertai pujian dan tentu saja, Gawai. Kritik dan makian dihadirkan dengan kepedulian untuk meredam suasana agar konflik di tempat tersebut tidak semakin membesar dan meluas ke mana-mana. Ada mekanismenya kebijaksanaan orang banyaksaling mengoreksi informasi di media sosial.

Ada yang memprovokasi, banyak pula yang bergotong royong memadamkan api. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan oleh media arus utama.

Hal ini membuat saya optimistis peristiwa Tolikara tidak akan berkembang menjadi peristiwa berdarah seperti yang terjadi di Ambon dan Poso pada tahun 2000an. Jangan lupa, saat itu ada media yang berkontribusi terhadap meningkatnya kekerasan di Ambon. Silakan lakukan penelitian.

Ada yang berteriak kenapa kelompok yang melarang umat Islam salat Idul Fitri tidak disebut teroris? Mereka membandingkannya dengan label yang ditempel aparat keamanan, dan diterima media, saat terjadi serangan bom Bom Bali I ke Bom Marriott 2009.

Mari kita lihat definisi teroris menurut kamus Kamus Pembelajar Tingkat Lanjut Oxford. Terorisme menurut kamus adalah, “penggunaan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik atau memaksa suatu pemerintah untuk mengambil tindakan.” Teroris, kata benda, adalah orang yang melakukan terorisme.

Lantas, apakah peristiwa Tolikara bisa dikategorikan sebagai aksi terorisme? Saya kira kita harus menunggu penyelidikan polisi.

Dalam kasus teror bom, pelaku jelas-jelas menyampaikan misi politik, ingin mendirikan negara Islam di wilayah tersebut. Sementara dalam peristiwa Tolikara, kami berpegang teguh pada informasi awal yang disampaikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.

“Kami mencari aktor intelektual,” kata Badrodin Haiti kepada media, di Makassar, 19 Juli. Kapolri mendatangi Tolikara, mendapat informasi dari pihak terkait dan anak buahnya, lalu singgah di Makassar untuk melaporkan kunjungannya ke Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Saya mendapat informasi dari seorang pejabat tinggi bahwa ada bukti awal keterlibatan tokoh penting di Papua dalam menghasut tindakan kekerasan. Saya berharap jika memang ada dan motifnya politis, pihak berwenang segera mengungkapnya ke publik.

Kita dapat menyebut pelakunya sebagai teroris karena ia menggunakan cara-cara kekerasan, baik langsung maupun tidak langsung, untuk memajukan agenda politiknya. Pengungkapan yang cepat dan proses hukum penting untuk mengurangi potensi konflik yang melibatkan isu agama.

Saya yakin kejadian di Tolikara bukanlah konflik antar umat beragama. Akar pemicunya adalah ekonomi dan kemudian politik. Hal ini terjadi hampir di semua konflik agama. Dari Ambon, hingga kerusuhan Makam Mbah Priok di Jakarta.

Kita lihat dari awal terjadinya kebakaran di Karubaga, sasaran awalnya adalah warung-warung yang berada di sekitar tempat salat Idul Fitri, di lapangan Koramil. Api dengan cepat merambat ke musala.

Siapapun yang memilikinya menetapkan agenda Terkait kejadian tersebut, menurut Kapolri Badrodin Haiti, dirinya memahami situasi di sana. Mudah digunakan.

Siapa yang melewatkannya?

Bisakah polisi menangkap dalang atau aktor intelektualnya? Hal ini menjadi tantangan bagi Kapolri dan Kapolda.

Kalau bicara rindu, sudah jelas. Semua orang “merindukan”. Mulai dari Gubernur, Kapolda, Panglima TNI, Bupati, Kapolri, hingga intel seluruh instansi.

Kalau dipikir-pikir, dahulu kala sudah diketahui bahwa Ibadah Kebangkitan Rohani (SWR) dan seminar internasional akan diadakan pada hari yang sama dengan Idul Fitri.

Gubernur rencananya akan hadir. Bupati Tolikara juga sibuk dengan persiapannya. Gubernur Papua Lukas Enembe pernah melontarkan pertanyaan karena tidak hadir saat itu kunjungan Presiden Joko “Jokowi” Widodo ke Papua Mei 2015.

Terlepas dari koreksi GIDI terhadap surat larangan salat Idul Fitri, keanehan sudah terlihat sejak awal. Sholat Idul Fitri dimulai pada pagi hari, dan biasanya berakhir pada pukul 08.00 pagi.

Sekalipun dilakukan di lapangan dan dengan bantuan pengeras suara, tidak boleh mengganggu kegiatan KKR yang mungkin akan dimulai setelah salat selesai. Aneh sekali di sini. Mengapa nampaknya seluruh pejabat daerah tunduk pada permintaan panitia GIDI?

Bayangkan acara Salat Idul Fitri pasti menjadi tampilan kegiatan keagamaan yang menarik bagi peserta GIDI KKR? Dalam berbagai kegiatan dialog antaragama yang saya ikuti, delegasi dari berbagai negara, daerah dan agama sangat senang diajak mengunjungi berbagai kegiatan keagamaan lainnya.

Yang kita tahu selama ini kehidupan lintas agama di Papua berjalan cukup baik. Dasarnya adalah prinsip satu tungku dengan 3 batu yang dikenal di Fakfak, namun ada yang praktis. Di sini penting untuk segera mengungkap siapa dalang peristiwa berdarah ini, mulai dari penciptaan lingkaran GIDI.

Pilihan untuk menyelesaikan proses hukum adalah satu-satunya cara agar semua pernyataan permintaan maaf dari kalangan gereja dan seruan untuk tidak melakukan pembalasan dari tokoh agama Islam memiliki makna. Polisi juga diharapkan transparan dalam penyelidikan internal terhadap tindakan anggotanya, ketika melepaskan tembakan peringatan ke arah massa.

Faktanya, ada 11 orang dari sekelompok penyerang yang terluka. Salah satunya, Edi Manimbo (15 tahun), tewas akibat luka tembak di bagian pinggang. Warga Muslim pagi ini trauma dengan kejadian yang seharusnya menjadi momen membahagiakan itu masih tinggal di kamp pengungsian.

Adanya korban jiwa, bahkan ada yang meninggal dunia, luput dari kemarahan para pembela umat Islam di Tolikara. Mengamalkan ibadah adalah hak asasi setiap manusia.

Kini kita semua belajar dari peristiwa Tolikara betapa mirisnya dilarang beribadah. Tapi, mari kita pikirkan bersama-sama siapa saja yang terluka dan tewas dalam kejadian tersebut, agar kematiannya tidak sia-sia. Sejarah konflik selalu menunjukkan bahwa ketika para elite berusaha menjalankan agendanya, rakyat kecil selalu menjadi korban. — Rappler.com

Uni Lubis adalah jurnalis senior yang berpengalaman di bidang media. Dia adalah Rekan Eisenhower. Tulisannya dapat dinikmati di www.unilubis.com.

Togel Singapore Hari Ini