• October 6, 2024
Siswa laki-laki dan perempuan mempunyai ruang belajar terpisah di Aceh Utara

Siswa laki-laki dan perempuan mempunyai ruang belajar terpisah di Aceh Utara

Tak hanya melarang laki-laki dan perempuan non-Muslim berkendara bersama, Aceh Utara juga memisahkan ruang kelas pelajar dan siswi berdasarkan gender.

BANDA ACEH, Indonesia— Selain undang-undang yang melarang pasangan non-Muslim untuk berkendara bersama, Kabupaten Aceh Utara juga tampaknya melarang siswa laki-laki dan perempuan belajar di ruangan yang sama.

Rencana pemisahan ruang belajar antara laki-laki dan perempuan akan dilaksanakan mulai dari SMP hingga perguruan tinggi. Peraturan ini dinilai sulit diterapkan mengingat ketidaksiapan pemerintah daerah dan masih kuatnya kesan diskriminasi.

Pendapat mengenai ketidaksiapan pemerintah Kabupaten Aceh Utara disampaikan oleh akademisi dan aktivis perempuan yang diwawancarai Rappler Indonesia pada Selasa, 5 Mei. Mereka dimintai jawaban soal Qanun Kesejahteraan dan Ketertiban Umum yang salah satu klausulnya akan memisahkan ruang belajar laki-laki dan perempuan di Aceh Utara.

“Apakah mereka sudah memikirkan berapa kelas yang harus disiapkan untuk memisahkan siswa laki-laki dan perempuan,” kata Presidium Balai Syura Ureueng Inong Aceh (BSUIA), Soraya Kamaruzzaman. BSUIA adalah sekelompok aktivis perempuan di Aceh dari berbagai latar belakang.

“Apakah mereka menyiapkan berapa anggaran untuk membuat kelas baru? Apakah mereka mempunyai cukup guru perempuan dan laki-laki untuk mengajar ketika ruang belajar dipisahkan?”

Selain mengatur ruang belajar terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan, qanun yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Utara (DPRK) pada Kamis lalu juga melarang pasangan belum menikah untuk berkendara bersama, pedagang yang menjual pakaian ketat, dan pertunjukan. papan ketik dan karaoke.

(BACA: Aceh Utara akan melarang pasangan non-muhrim mengemudi bersama)

“Saya tidak yakin qanun itu bisa dilaksanakan karena pengalaman masa lalu masyarakat belum menaati aturan tersebut,” kata Soraya mengomentari larangan duduk di Kota Lhokseumawe dan harus ditanggung oleh perempuan yang mengenakan rok di Aceh Barat.

Ia mempertanyakan urgensi qanun bagi masyarakat Aceh Utara karena masih banyak permasalahan lain yang perlu diselesaikan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan.

“Qanun seperti itu hanya akan diejek di luar Aceh karena tidak mungkin dilaksanakan. “Kesan mereka membuat peraturan kontroversial tersebut untuk menutupi kelemahan pemerintah dengan bersembunyi di balik isu agama,” ujarnya.

Bercerai untuk menciptakan moral yang lebih baik

Namun Fauzan Hamzah yang menjabat Ketua Badan Legislatif DPRK Aceh Utara punya argumen lain soal alasan pembuatan qanun tersebut. Menurutnya, kondisi siswa di sekolah-sekolah di Aceh Utara sangat memprihatinkan.

“Pemisahan ruang belajar untuk menciptakan akhlak yang lebih baik dimulai dari sekolah, karena sebenarnya mereka selalu keluar rumah saat belajar,” ujarnya. “Kalau pembelajaran dipisah, otomatis guru juga ikut disegregasi. Namun dalam Islam, guru laki-laki boleh mengajar murid perempuan.”

Fauzan enggan menjelaskan secara detail kesiapan Pemerintah Aceh Utara melaksanakan qanun tersebut.

“Tugas kita sebagai legislator adalah membuat peraturan setelah mendapat masukan dari ulama. “Nanti kewenangan eksekutifnya akan kita kelola dan kita awasi terus,” tegasnya.

Ia menambahkan, pemisahan ruang belajar sebenarnya diterapkan di hunian Islam dan tidak ada kendala. “Jadi, menurut saya tidak masalah besar jika sekolah di Aceh Utara memisahkan siswa laki-laki dan perempuan,” ujarnya.

Sulit diterapkan dan bersifat diskriminatif

Tanggapan akan sulit diterapkan juga diungkapkan Amrizal J. Prang, dosen Universitas Malikussaleh yang kampusnya terletak di perbatasan Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe.

“Jika dipisah maka akan timbul kesan diskriminasi karena mahasiswa yang belajar di ruang perkuliahan di Aceh Utara akan dipisahkan. “Namun mahasiswa yang belajar di gedung perkuliahan di Lhokseumawe tidak dipisahkan,” ujarnya.

Amrizal yang merupakan pakar hukum tata negara ini mengatakan, pembuatan qanun terkesan tidak melibatkan masyarakat.

“Setahu saya, dalam proses pembahasan tidak dilakukan dengar pendapat umum, padahal untuk mengatur masyarakat, tapi masyarakat tidak dimintai pendapatnya,” ujarnya.

Ayi Yufridar, penulis yang juga dosen luar biasa Universitas Malikussaleh, juga belum yakin qanun tersebut bisa dilaksanakan. Di Fakultas Teknik yang mengambil mata kuliah tersebut ada satu orang perempuan, sedangkan rekan-rekannya laki-laki semua, ujarnya.

“Nah kalau cerai dan kebetulan dosennya laki-laki. bagaimana tentang Nanti bisa dituduh asusila, kata Ayi.

Ayi juga mempertanyakan mengapa peraturan tersebut hanya berlaku bagi peserta pelatihan dan pelajar, namun tidak diterapkan di kantor pemerintahan dan gedung DPRK.

“Kalau mau serius, ini juga harus berlaku bagi PNS. “Di DPRK hanya ada satu anggota dewan perempuan, artinya dia tidak bisa sekamar dengan anggota dewan laki-laki,” ujarnya. – Rappler.com

slot online gratis