• October 3, 2024
Solusi untuk mencegah politik dinasti

Solusi untuk mencegah politik dinasti

Haruskah politik dinasti dilarang? Jawabannya ada di artikel ini.

Mahkamah Konstitusi menguatkan pasal 7 UU No. 8/2015 huruf r tentang larangan calon kepala daerah yang masih silaturahmi dengan petahana, Rabu 8 Juli lalu. Menurut MK, pasal tersebut merupakan aturan yang diskriminatif karena membatasi hak politik akibat hubungan dengan petahana.

Politik dinasti, khususnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dinilai telah mencederai semangat demokrasi dan menghambat persaingan merebut kekuasaan di daerah. Namun para pendukung disahkannya pasal tersebut dalam UU Pilkada nampaknya kurang memperhatikan penyebab maraknya praktik politik dinasti di Indonesia.

Berbagai kritik dilontarkan yang terlalu menekankan dampak negatif politik dinasti. Implikasinya, mereka menganggap pemutusan rantai dinasti politik harus dilakukan melalui undang-undang yang membatasi hak dasar politik untuk ikut serta dalam pemilu. Selain melanggar prinsip persamaan hak politik warga negara, desain kelembagaan seperti ini juga mengabaikan faktor struktural penyebab munculnya dinasti politik.

Artikel ini menguraikan penyebab munculnya dinasti politik di Indonesia. Tiga penyebab munculnya dinasti politik di Indonesia adalah lemahnya pengawasan pemilu, penegakan hukum, dan lemahnya institusionalisasi partai politik. Resep kebijakan di masa depan harus menyasar ketiga penyebab yang juga merupakan sumber utama buruknya demokrasi Indonesia.

Pengawasan Pemilu dan Penegakan Hukum

Permasalahan mendasar dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia adalah terbatasnya jangkauan lembaga pemantau pemilu. Kehadiran lembaga pengawas dinilai tidak diperlukan secara mendesak dan hanya bersifat “pelengkap” dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya di tingkat daerah. Ditambah lagi kelemahan kkoordinasi antar lembaga yang berwenang menindak pelanggaran pemilu. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil masih belum kuat.

Penelitian saya menemukan bahwa salah satu penyebab maraknya politik dinasti di daerah bukan karena rendahnya persaingan antar kandidat. Juga bukan soal minimnya calon alternatif yang tidak berani bersaing karena mereka adalah anggota keluarga dinasti politik.

Praktik politik dinasti marak terjadi karena para elite politik yang umumnya petahana bisa leluasa memanipulasi arena persaingan pemilu.

Para elit percaya bahwa pelanggaran pemilu yang mereka lakukan demi kepentingan anggota keluarga mereka mempunyai peluang kecil untuk diselidiki dan dihukum berat. Manfaat dari pelanggaran peraturan pemilu lebih besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkan jika melanggar peraturan tersebut.

Para elit tampaknya percaya bahwa risiko terbesar hanyalah penuntutan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi, yang jarang memberikan efek jera. Apalagi, kasus yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menunjukkan bahwa “penjaga gawang” demokrasi masih rentan terhadap godaan.

Apakah pelanggaran ini hanya dilakukan oleh anggota dinasti politik? Jawabannya adalah tidak.

Khusus di tingkat daerah, banyaknya kasus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) menunjukkan bahwa kecurangan dilakukan oleh hampir seluruh peserta pemilu, tidak hanya dilakukan oleh anggota keluarga petahana.

Persoalan pengawasan dan tidak adanya efek jera terhadap pelanggaran di seluruh proses pemilu merupakan permasalahan yang lebih serius dalam praktik demokrasi di Indonesia. Efek deterrence diharapkan dapat mengubah kalkulasi politik para elite (bukan hanya petahana) sehingga beban yang harus mereka tanggung jika melanggar aturan lebih besar dibandingkan manfaat yang didapat.

Dinasti politik muncul karena persoalan ini tidak pernah ditangani secara komprehensif. Permasalahan ini memberikan peluang bagi hampir seluruh elite politik (tidak hanya mereka yang tergabung dalam dinasti politik) untuk berani menginjak-injak nilai-nilai demokrasi yang mengedepankan pentingnya persaingan bebas, jujur, dan adil.

Pelembagaan partai politik

Padahal, partai politik menjadi ajang kompetisi demokrasi bagi kader partai untuk membuktikan kualitas kepemimpinannya. Faktanya, partai politik kerap tersandera berbagai kepentingan jangka pendek dan melupakan fungsi utamanya sebagai agen pencetak calon pemimpin politik.

Penelitian yang dilakukan oleh Inge Amundsen (2013) dan Nico Harjanto (2011) mengungkapkan bahwa salah satu penyebab maraknya praktik politik dinasti adalah lemahnya partai politik dalam menjalankan fungsi pembentukan kader, seleksi, dan promosi.

Ada dua akibat penting dari hilangnya fungsi partai politik dalam kaitannya dengan kebangkitan politik dinasti. Pertama, jabatan-jabatan penting di partai politik mudah dikuasai oleh keluarga tertentu yang memegang tampuk kepemimpinan tanpa melalui proses demokratis dan meritokratis. Kedua, politik patronase dimana elite yang memiliki sumber daya keuangan besar dan akses terhadap berbagai proyek di daerah mampu “membeli” dukungan kader partai politik. Tak heran jika calon yang mencalonkan diri merupakan kerabat atau orang dekat dari patronnya.

Di sini perlu ditegaskan kembali argumentasi pakar ketatanegaraan Irman Putra Sidin bahwa aturan dinasti yang anti politik merupakan salah satu bentuk kemalasan nasional. Kemalasan negara dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh elite politik.

Alih-alih meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, usulan pelarangan tersebut justru berdampak sebaliknya. Robert Dahl (1971) mengatakan demokrasi memiliki dua prinsip penting: kompetisi dan inklusivitas. Melarang seseorang mengikuti pemilu hanya karena ada hubungannya dengan petahana hanya akan melanggar dua prinsip tersebut.

Larutan memperkuat pencegahan munculnya dinasti politik yang bersifat destruktif pengawasan Dan penegakan hukum yang adil dan memberikan efek jera, mendorong pelembagaan partai politik dan memberikan pendidikan politik kepada pemilih.*

* Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan lembaga yang terafiliasi dengan penulis

slot gacor