Sonya Vanessa, seorang transgender yang tidak takut mati
- keren989
- 0
Seminggu yang lalu, masyarakat India membuat sejarah baru. Seorang transgender bernama Madhu Bai Kinnar memenangkan pemilihan umum di kota Raigarh, India, pada Minggu (4/1). Dia menjadi walikota transgender pertama di India.
Terpilihnya Kinnar tak lepas dari keputusan Mahkamah Agung India yang membolehkan kaum transgender berpartisipasi dalam politik. Jika waria di Raigarh bisa ikut dalam pemerintahan, bagaimana dengan waria di Surabaya?
“Waria di Surabaya hanya punya tiga pilihan pekerjaan, salon, mengamen dan kepala,” kata Sonya Vanessa, Ketua Persatuan Waria Kota (Perwakos) Surabaya.
Waria atau biasa disebut waria sebagian besar berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Keterbatasan kondisi keuangan dan keterampilan membuat para transgender tidak punya pilihan pekerjaan lain.
Padahal, menurut data Perwakos, 80% waria di Surabaya berprofesi sebagai pekerja seks. Tak jarang para transgender menjual dirinya, atau begitulah Sonya menyebutnya kepalatertangkap dalam penggerebekan.
“Kalau digerebek biasanya dibawa ke Liponsos, di sana mereka bisa tinggal selama 5 hari. Namun sayangnya mereka ditempatkan bersama laki-laki. Mereka mungkin akan diintimidasi oleh suaminya. Waria sebaiknya ditempatkan pada wanita. “Mereka belum mengetahui ciri-ciri waria,” kata Sonya.
Tak hanya masalah penempatan, upload di Liponsos (Kawasan Penginapan Sosial) juga terkadang bermasalah. Sesuai aturan Liponsos, kepulangan seluruh warga harus dijemput oleh pihak keluarga.
“Waria tidak takut mati. Tidak peduli berapa banyak suntikan yang Anda lakukan di payudara atau bokong, yang terpenting adalah tampil cantik.”
Namun aturan ini tidak berlaku bagi kaum transgender. Sonya mengatakan, keluarga transgender yang terkena razia tidak mau menjemput, pihak Perwakos terpaksa turun tangan. “Biasanya saya menulis surat ke Liponsos, lalu ada teman Perwakos yang datang menjemput saya,” tambah Sonya.
Isu penggerebekan waria merupakan permasalahan klasik di Surabaya. Sekarang kaum transgender menginginkannya kepala menyiasatinya dengan beberapa trik.
Jika dulu lokasi mejeng berpusat di kawasan Irlandia Barat Surabaya, kini lokasinya tersebar di berbagai kawasan mulai dari kawasan Kembang Kuning, Bundaran Waru, hingga Panglima Sudirman. jam kepala disesuaikan juga, tengah malam di atas jam 12 menjadi pilihan favorit kepala.
Untuk kepentingan kepala, seorang transgender harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Mulai dari biaya riasan, pakaian, hingga suntik hormon. “Waria tidak takut mati. “Tidak peduli berapa banyak suntikan di payudara atau bokong, yang terpenting tampil cantik,” kata Sonya.
Mengenal Sonya Vanessa dari Perwakos
Sonya Vanessa (53) terlahir sebagai seorang pria bernama Anton. Sejak kecil ia memilih bermain bersama teman-teman wanitanya. Saat ia remaja, ia mulai merasa malu jika didekati pria. “Sejak aku kecil, teman bermainku adalah perempuan. “Saat aku SMP, ada guru laki-laki tampan yang membuatku grogi,” kata Sonya sambil tertawa.
Setelah lulus SMA, Sonya mulai mencari jati dirinya. Dia mencari komunitas yang memahaminya. Perwakos yang baru berdiri pada tahun 1978 menjadi pilihan Sonya saat itu. Penentangan dari keluarganya tidak menghalanginya.
Hingga Sonya memutuskan untuk berhenti kuliah dan menjadi transgender sepenuhnya. “Kenapa aku harus kuliah? Lagi pula, ke depan aku tidak akan bisa bekerja seperti orang lain, aku tidak akan bisa menjadi pejabat,” kata Sonya.
Di Perwakos, Sonya menemukan dunianya. Sudah 37 tahun Sonya bergabung dengan LSM yang mewadahi kaum transgender di Surabaya ini. Sonya menjabat Wakil Ketua Perwakos sejak tahun 1987, dan sejak tahun 2012 hingga saat ini, Sonya yang kerap disapa Mak Sonya menjabat sebagai ketua.
Perwakos didirikan atas dasar kepedulian terhadap penderitaan kaum transgender di Surabaya. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki pekerjaan tetap, taraf hidup mereka juga berada di bawah garis kemiskinan. Tujuan awal Perwakos hanya untuk melindungi anggotanya yang terkena penggerebekan.
Dalam perkembangannya, kegiatan Perwakos tidak hanya memberikan perlindungan kepada kaum transgender yang terkena razia, namun juga memberdayakan mereka agar tidak terlantar di jalanan dan menjadi duta seni yang biasa menghibur masyarakat Surabaya.
Setiap 3 bulan sekali, Perwakos mengadakan program edutainment, yaitu pelatihan hiburan bagi anggotanya mulai dari kelas menyanyi, menari, hingga akting. LSM yang berkantor di Jalan Banyu Urip Kidul Gang IA No.7 Surabaya ini juga memberikan pelatihan wirausaha seperti tata rias, tata rambut, dan juga kerajinan tangan.
Tak hanya pelatihan kewirausahaan dan hiburan, Perwakos juga memberikan kegiatan spiritual bagi para anggotanya. Anggotanya yang beragama Islam tergabung dalam kelompok pengajian Al Ikhlas, pengajian ini dilaksanakan setiap Legi-Jumat sebulan sekali.
Bagi anggota yang beragama Kristen juga terdapat pertemuan doa. “Meskipun kami transgender, kami tetap makhluk yang beragama kepada Tuhan,” tegas Sonya.
Sebagai organisasi transgender terbesar dan tertua di Indonesia, Perwakos saat ini beranggotakan 950 orang. Menurut Sonya, anggotanya mencapai 2000 orang sekitar tahun 2003. Lebih dari 10 anggota Perwakos meninggal karena HIV/AIDS setiap tahunnya. “Waktu itu kita belum tahu apa itu HIV, ada yang mengira banyak waria yang meninggal karena ilmu hitam,” ujarnya.
Permasalahan HIV/AIDS memang menjadi mimpi buruk bagi kaum transgender. Data Perwakos menyebutkan, pada tahun 2005-2010, angka kematian transgender akibat HIV/AIDS merupakan yang tertinggi. Kini Perwakos mulai fokus pada pencegahan HIV/AIDS. Sonya tak bosan-bosannya mengingatkan anggotanya untuk memakai kondom saat berhubungan intim dengan kliennya.
“Cara waria bertahan hidup adalah dengan berjualan seks di pinggir jalan. Mereka tidak diterima di dunia kerja, keluarga pun menolaknya. “Meskipun kami bekerja seperti ini, kami ingin para transgender terhindar dari HIV/AIDS,” kata Sonya.
Bahagia bersama keluarga
Selain sibuk dengan aktivitasnya di Perwakos. Setiap hari, Sonya mengurus kosnya yang dihuni 22 orang transgender. Bersama suaminya, dia mengelola bisnis tersebut. Sonya telah menjalin hubungan dengan suami keduanya selama 6 tahun.
Untuk melengkapi kebahagiaannya, ia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. “Namanya Rizki, umurnya sekarang 4 tahun, dia anak angkat dari kakak suamiku, dia memanggilku Mama,” kata Sonya bangga.
Menjadi seorang ibu sudah menjadi impian Sonya sejak lama. Namun keinginan tersebut tertunda ketika ia melihat seorang transgender yang memiliki seorang anak, dan ia tak tega ketika anak tersebut dihina karena memiliki ibu yang transgender. Sonya khawatir jika anaknya besar nanti, ia pun akan bernasib sama.
Kini, Sonya mulai menjelaskan kepada anaknya bahwa tidak ada yang salah dengan kaum transgender. Menurut Sonya, stigma negatif transgender banyak muncul dari media.
“Media sering menggambarkan waria sebagai Tessy atau Olga. Padahal waria itu normal, tapi mereka bisa punya keluarga, suami, dan anak. “Saya ingin media juga menunjukkan kehidupan kita sehari-hari, agar kita tidak lagi didiskriminasi,” harap Sonya. –Rappler.com