Sudah saatnya warga Jakarta memberikan dukungan kepada ‘Gubernur’ Fahrurrozi
- keren989
- 0
Apa yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) dengan membentuk gubernur tandingan di Jakarta sebenarnya bukan hal baru. Ketidaktaatan masyarakat seperti ini sudah banyak terjadi di Jakarta, setidaknya saat itu Jakarta masih bernama Batavia dan FPI belum berdiri.
Di dalam buku Pemberontak tidak (selalu) salah: 100 pemberontakan di nusantara, Petrik Matanasi mencatat ada empat pemberontakan di sekitar Jakarta. Pemberontakan Entong Endut (1916), Pemberontakan Pangeran Alibasah (1869), Pemberontakan Slipi, Tanah Abang dan Cakung (1913), dan Pemberontakan Kaiin Bapak Kayah (1924).
Sejarawan Betawi Alwi Shahab juga menulis dalam blognya tentang banyaknya pemberontakan dan pembangkangan sipil yang terjadi di sekitar Jakarta. Konflik yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya sebagian besar bermula dari sengketa pertanahan atau konflik pertanian. Juga pembangkangan yang didasari oleh penolakan terhadap penindasan yang dilakukan penguasa.
Jadi ketika Fahrurrozi Ishaq dipilih FPI menjadi gubernur tandingan dengan alasan agar Jakarta tidak tertipu oleh gubernur sebenarnya, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, sebenarnya punya dasar sejarah yang panjang.
Bukankah Jakarta pernah menjadi gubernur tandingan pada tahun 1945-1947? Salah satunya pro Sri Ratu, Walikota dr. A.Th. Boogaard sedangkan satu lagi pro-republik, Gubernur Suwiryo.
Namun yang menarik adalah bagaimana Pak. Gubernur Tandingan Fahrurrozi mengatakan kepada Rappler Indonesia bahwa prioritasnya sebagai gubernur pesaing adalah menjadikan Jakarta sebagai ibu kota yang religius dan religius, serta aman dan nyaman. (BACA: Jakarta sambut ‘gubernur’ barunya!)
Sebagai salah satu warga yang ingin beriman kepadanya, maka dari itu saya ingin merekomendasikan beberapa tempat peningkatan spiritual, akhlak sekaligus tempat berdakwah. Tempat-tempat seperti Alexis Hotel, Malioboro Hotel, Orchards, Illegals Hotel and Clubs, dan Magnolia misalnya.
Bukankah Ketua FPI DKI Jakarta Salim Alatas atau lebih dikenal dengan Habib Selon menyebut Alexis adalah hotel tempat menginap keluarga bersama anak-anaknya? Karena tempat tersebut merupakan tempat hiburan keluarga, maka tempat tersebut tepat untuk memulai kampanye dakwah.
Bukankah itu Tuan? Gubernur Tandingan Fahrurrozi sendiri yang mengatakan ala ulama akan blusukan, mengajar, memberi masukan keimanan, agar menerima apa yang telah ditetapkan Allah? Hotel seperti Alexis adalah tempat yang tepat, Pak.
Tentu saja ini merupakan pekerjaan mudah bagi Pak. Gubernur Tandingan Fahrurrozi. Bukankah terbukti ia punya prestasi bagus sebagai guru mengaji di sebuah yayasan di Rawa Bunga?
Sebagai seorang ulama, ia tidak memperdulikan kedudukannya. Ustadz Fahrurrozi disebut menolak tiga undangan menjadi gubernur untuk duduk sebagai gubernur tandingan. Sebuah sifat dan mentalitas yang jarang ditemukan di era yang dibutakan oleh posisi.
Kebijakan yang diambil Gubernur Tandingan Fahrurrozi bisa dibilang revolusioner dan unik. Ia mampu membaca keinginan masyarakat Jakarta yang haus akan keimanan dan dakwah agama.
Tak hanya menjanjikan blusukan ala pendeta, Pak. Gubernur Tandingan Fahrurrozi menjanjikan beberapa cara untuk mengatasi permasalahan kemacetan di Jakarta. Menurut dia, kendaraan tidak boleh terus ditambah, ia ingin membuat regulasi agar kendaraan terorganisir.
Di sisi lain, saya berpendapat bahwa Tuan. Seharusnya Gubernur Tandingan Fahrurrozi membuat aturan terkait penggunaan helm atau kopiah saat konvoi. Ini penting pak, karena maraknya helm SNI yang notabene produk luar negeri kafir sungguh memprihatinkan, bisa jadi jalanan kita dipenuhi produk luar negeri mulai dari sepeda motor hingga helm.
Oleh karena itu, harus ada penyeimbang terhadap kopiah asli buatan sendiri. Bukankah tengkorak lebih aman dari pada helm? Coba saja buang helm dan penutup kepala dari jalan layang Pancoran yang rusak dan masih utuh.
Selain itu, menurut saya, Pak. Gubernur Tandingan Fahrurrozi pun patut merenungkan ucapan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda KH Zaini Naim. Menurutnya, polisi tidur bisa haram jika merugikan orang. Bayangkan Pak, jika para pendukung Pak. Gubernur Tandingan Fahrurrozi yang sebagian besar mengendarai sepeda motor terjatuh di jalan akibat gundukan kecepatan dan meninggal dunia. Bukankah kita telah memperlakukannya dengan tidak adil? Perjuangan masih panjang, kenapa disiksa dulu, alasannya bukan jihad melawan orang kafir tapi karena polisi tidur.
Untuk alasan ini, Pak. Gubernur Tandingan Fahrurrozi, sebagai pendukung, saya ingin merekomendasikan pelarangan polisi tidur di Jakarta.
Saya kira kita harus memberikan kesempatan kepada Gubernur Tandingan Fahrurrozi untuk bekerja. Dengan memberikan kesempatan, maksud saya kita harus memberinya bantuan keuangan.
– Armaan Dhani
Saya sendiri percaya bahwa Pak. Gubernur Tandingan Fahrurrozi memiliki kualitas kepemimpinan yang baik pertapaan. Bukan saja Anda belum pernah memilikinya aku mencium (pandangan buruk) pada orang lain, tapi selalu huznudzon. Lihatlah bagaimana beliau dengan rendah hati mengatakan bahwa pada masa Pak Fauzi Bowo tidak pernah terjadi banjir besar. Bukankah Pak Foke sendiri yang bilang kalau di Jakarta hanya ada genangan air? Harus dibedakan antara banjir dan banjir.
Meskipun Anda harus memiliki sikap huznudzonNamun kita tidak boleh terbawa perasaan nyaman dan tidak terjaga. Bisa jadi banjir di Jakarta disebabkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Padahal dia mantan jurnalis Tempo Nurlis Effendi, dalam salah satu artikelnya, pernah menyebut Jakarta mempunyai permasalahan banjir yang akut. Kalau sejarah banjir ini bisa ditelusuri kembali ke masa ketika Jan Pieterszoon Coen berkuasa pada tahun 1619.
Jakarta juga pernah dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, dan 1918. Kegagalan ini rupanya terus berlanjut hingga Indonesia merdeka. Banjir besar kembali terjadi pada tahun 1976, 1996, 1997, dan 2007 saat Sutiyoso masih berkuasa. Saat itu, 10 orang tewas tersapu arus banjir. Kerugian materil akibat matinya omset usaha diperkirakan mencapai 4,3 triliun rupiah. Jumlah warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang pada 7 Februari 2007.
Tapi sekali lagi, tolong bedakan antara genangan air dan banjir. Mungkin Gubernur Tandingan Fahrurrozi mengamini bahwa banjir tahun 2007 bukanlah bencana besar melainkan banjir besar, dan itu terjadi pada masa Sutiyoso menjabat, bukan pada masa Pak Foke. Secara teknis Pak. Gubernur Tandingan Fahrurrozi tidak salah. Oleh karena itu, penting untuk mempercayakan permasalahan banjir kepada ahlinya, selain Ustadz Fahrurrozi.
Terakhir, menurut saya kita harus memberikan kesempatan kepada Pak Gubernur Tandingan Fahrurrozi untuk bekerja. Dengan memberikan kesempatan, maksud saya kita harus memberinya bantuan keuangan. Jika para pemimpin di zaman Pitung, Rais dan Ji’I memberikan bantuan kepada masyarakat miskin, maka menurut saya di zaman modern ini harusnya berubah.
Kini saatnya para pemimpin mendapatkan bantuan agar bisa bekerja. Bukankah hal yang sama juga dicontohkan pada masanya oleh para pemimpin besar Islam seperti Marwan bin Hakam atau Yazid bin Muawiyah? Jadi menurut saya Pak Gubernur Tandingan Fahrurrozi harus memberikan dukungan serupa. —Rappler.com
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Ikuti Twitter-nya @Arman_Dhani.