• October 8, 2024
Terancam, peringatan Hari Internasional Melawan Homofobia di Malang dibatalkan

Terancam, peringatan Hari Internasional Melawan Homofobia di Malang dibatalkan

Panitia acara mengaku menerima intimidasi yang disampaikan melalui SMS dan telepon.

MALANG, Indonesia – Acara peringatan Hari Internasional Melawan Homofobia dan Transfobia (IDAHOT) yang rencananya digelar pada Minggu malam, 17 Mei, di Kota Malang, Jawa Timur, terpaksa dibatalkan oleh panitia penyelenggara.

Panitia sebelumnya mengaku mendapat sejumlah intimidasi yang disampaikan melalui pesan singkat dan juga panggilan telepon ke telepon genggam panitia. Kegiatan diskusi kajian gender juga tidak mendapat izin keamanan dari kepolisian setempat.

“Kami mendapat intimidasi sejak Jumat lalu hingga Sabtu malam,” kata Niken Lestari, penyelenggara acara Celebrate Our Gender: Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia, di Ahad.

Niken bercerita, dirinya dan salah satu rekan panitia mulai menerima panggilan dan pesan singkat dari orang tak dikenal sejak Jumat, 15 Mei lalu. Mereka menanyakan bentuk acara, tempat dan kegiatan yang akan dilakukan selama acara berlangsung. Dalam poster acara yang disebar di berbagai media sosial, panitia mencantumkan nomor telepon genggam Niken dan salah satu panitia lainnya.

“Ada beberapa orang yang menelepon dan mengirim SMS, mereka menanyakan apakah kami akan mengumpulkan orang dan mengajak mereka untuk mengikuti kelompok LGBT. “Ada yang meminta izin, ada juga yang terang-terangan menolak acara kami,” kata Niken.

Menurut Niken, orang tak dikenal tersebut mengatasnamakan delegasi dari berbagai perguruan tinggi di Malang, mahasiswa salah satu universitas, organisasi kemasyarakatan, dan komunitas agama tertentu.

“SMS tersebut dikirim pada Sabtu malam dan mengatasnamakan ormas keagamaan. “Jika acara tetap dilanjutkan maka akan dibubarkan paksa karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kami kemudian juga mendapat telepon dari seseorang yang mempertanyakan izin kegiatan tersebut,” kata Niken.

Tidak disetujui oleh polisi

Akibat intimidasi yang terus menerus, panitia meminta izin keamanan kepada Polresta Malang Kota pada Sabtu malam, sekitar pukul 23.00 hingga 02.00 pada Minggu pagi.

“Sebelumnya kami tidak pernah mengajukan izin keamanan karena kegiatan dilakukan di dalam ruangan dan pesertanya tidak lebih dari 20 orang. Tapi karena ada intimidasi, kami minta izin keamanan, kata Niken.

Sesampainya di Polres Malang Kota, panitia diminta menunda acara demi keamanan Kota Malang. Ketua Pelaksana Kegiatan Izza Fikri kemudian menandatangani surat persetujuan bermaterai untuk menunda acara hingga waktu yang belum ditentukan.

“Saat itu, polisi juga mendiktekan surat pernyataan tersebut. “Mereka menyuruh kami membatalkan acara tersebut dengan cara yang halus,” kata Niken.

Dibatalkannya acara tersebut karena beberapa pertimbangan panitia yaitu keselamatan peserta acara dan keselamatan narasumber yang juga merupakan seorang transgender asal Kabupaten Malang. “Karena pihak kepolisian tidak bisa menjamin keamanan, maka acara ini kami batalkan, kami khawatir keselamatan peserta terancam,” ujarnya.

Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Kapolsek Klojen Kompol Teguh Priyo Wasono. Menurut Teguh, kegiatan tersebut dinilai rawan karena muncul di kafe yang dianggap tempat umum.

“Isi pembahasannya masih dipertimbangkan, karena ini bukan seminar akademik seperti di kampus,” kata Teguh.

Teguh mengaku khawatir jika terus dilakukan maka kegiatan tersebut akan menimbulkan gesekan di masyarakat karena tidak semua masyarakat memiliki pemikiran yang sama.

‘Bukan pesta topeng’

Niken menduga banyak warga Malang yang salah mengartikan acara HUT IDAHOT. Acara yang diprakarsai oleh Lembaga Komunitas Studi Gender Malang (Kojigema) ini diberi nama Celebrate Our Gender dengan salah satu kegiatan berupa pesta topeng atau pesta topeng.

“Kami menduga banyak orang yang salah mengartikan kegiatan kami sebagai ritual lesbian dan gay. Pesta topeng “Merupakan masker yang disediakan panitia kepada seluruh peserta agar lebih terbuka saat berdiskusi,” ujarnya.

Acara tersebut berbentuk diskusi yang pembicaranya adalah seorang transgender, dan digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap komunitas lain di luar gender laki-laki dan perempuan.

“Kami ingin memperluas pengetahuan, kami kembali menggali realitas gender di sekitar kami. “Kami tidak memaksa masyarakat untuk menerima, tapi kami bisa menghormati mereka dan tidak menyerang mereka,” ujarnya.

Kojigema Institute mengaku juga pernah menggelar acara serupa pada tahun lalu dan bertempat di kampus, serta tidak mengalami intimidasi apa pun.

Acara tahun ini baru pertama kali diadakan di kafe umum sehingga panitia mendapat intimidasi dan kesulitan mencari tempat untuk acara tersebut.—Rappler.com


Data SGP Hari Ini