Tidak ada Islam tanpa ziarah
- keren989
- 0
Siapa yang tak kenal Nabi Ibrahim AS? Tak hanya satu, bahkan ada tiga komunitas agama yang mengklaim dirinya. Ada yang menyebut Yahudi, Nasrani, dan Islam ‘Iman Ibrahim‘, maksudnya ketiga agama tersebut berasal dari nabi Ibrahim as. Namun, baik orang Yahudi maupun Kristen tidak melestarikan warisan budaya tersebut sunnah baginya, yaitu beribadah di Ka’bah yang dimuliakannya, atau menyembelih hewan korban seperti yang dia lakukan.
Al-Qur’an sendiri sudah sejak lama dengan tegas menyatakan bahwa beliau bukanlah seorang Yahudi atau Nasrani, melainkan seorang Muslim yang hanifdan dia tidak pernah mempersekutukan Allah SWT (QS. 3:67).
Ketika mereka berdakwah kepada kaum Yahudi dan Nasrani, Rasulullah dan para sahabat selalu mengingatkan mereka untuk kembali pada ajaran para Nabi sebelumnya. Ja’far bin Abu Talib ra, misalnya, saat beraudiensi dengan Najasyi, raja Kristen di Abyssinia (Ethiopia), menjelaskan Islam dengan membacakan Surah Maryam. Pengucapan ayat dari mulut Ja’far ra membuat Najasyi menangis dan mengatakan bahwa wahyu yang baru dibacanya sama sumbernya dengan ajaran Nabi Isa.
Begitu pula dengan Nabi Muhammad SAW yang kerap mengajak umat Yahudi untuk kembali pada ajaran Nabi Musa AS yang sebenarnya, karena para nabi dan rasul diutus oleh wujud yang sama yaitu Allah SWT. Tentu saja, salah satu langkah paling strategis untuk menciptakan pemahaman di antara umat Yahudi dan Nasrani adalah dengan mengingat kembali ajaran Nabi Ibrahim (AS).
Selama lebih dari empat belas abad, umat Islam telah menunjukkan ketaatan mereka terhadap ajaran Nabi Ibrahim (AS). Setelah Hijrah, Allah SWT memerintahkan perpindahan kiblat dari Masjid Aqsa ke Masjid Agung tempat Ka’bah berdiri yang pondasinya didirikan oleh ayah dan anak yang sama-sama mulia yaitu Nabi Ibrahim (as) dan Nabi Ismail. (sebagai). Meski kiblat sudah tidak ada lagi di Masjid Al Aqsa, namun kecintaan masyarakat terhadapnya tidak berkurang.
Setiap tahun umat Islam juga berbondong-bondong berangkat ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan bagi yang tidak berangkat haji sekaligus menyembelih hewan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidak ada yang lupa bahwa ibadah kurban ini untuk meneruskan sunnah Nabi Ibrahim as, saat itulah beliau menerima perintah dari Allah SWT untuk menyembelih putranya sendiri, Nabi Isma’il as. Seberat apapun tugasnya, Nabi Ibrahim (as) adalah hambanya yang setia, dan Nabi Ismail (as) adalah hambanya yang sangat sabar. Saat hendak terjadi penyembelihan, Allah SWT mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba.
Banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari ibadah haji. Ibadahlah yang memerlukan ilmu, kebugaran jasmani, dan keamanan finansial pada saat yang bersamaan. Meski haji tidak sama dengan jihad, namun jarak dan sulitnya perjalanan membuat setiap orang yang menunaikan ibadah haji tidak bisa yakin bisa kembali ke kampung halamannya. Banyak orang meninggal saat menunaikan ibadah haji, dan semua jamaah haji sangat memahami risiko ini. Meski begitu, tidak ada yang bisa menyurutkan semangat umat Islam untuk menunaikan rukun Islam ini.
Dahulu, pemerintah kolonial Belanda tidak hanya memandang ibadah haji saja, namun juga melihat implikasi politiknya. Snouck Hurgronje, tokoh orientalis yang pernah menjadi penasehat mantan penguasa kolonial, menyatakan bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.
Belanda kemudian menyimpulkan bahwa perlawanan umat Islam di Indonesia terhadap kolonialisme didorong oleh kelompok ‘fanatik’ yang melakukan ibadah haji, khususnya para ulama yang pernah menuntut ilmu di Arab. Alhasil, ada kalanya pemerintah Belanda mempersulit jamaah haji keluar Indonesia, bahkan banyak usulan untuk melarangnya sama sekali. Hurgronje mengusulkan pendekatan yang lebih ‘lunak’, namun konsul Belanda di Jeddah justru menjadi pusat pengawasan umat Islam Indonesia yang datang ke Arab Saudi dan wilayah lain di sekitarnya.
Sejarah membuktikan kekhawatiran Belanda sangat beralasan. Banyak ulama besar Indonesia yang belajar di Arab Saudi. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sama-sama belajar di Arab Saudi. Mereka berdua belajar kepada Imam Masjidil Haram saat itu yang juga keturunan Indonesia, yakni Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Dari rahim Muhammadiyah lahirlah sosok sekaliber Jenderal Sudirman, sedangkan NU melahirkan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang menyulut semangat perlawanan bangsa Indonesia, juga pada pertempuran besar 10 November. 1945 di Surabaya dengan Bung Tomo sebagai tokoh utamanya. Ketika Republik Indonesia belum mendapat pengakuan kedaulatannya di dunia internasional, para pelajar dan pemuda Indonesia di negara-negara Arab melakukan ‘gerilya’ dan berhubungan erat dengan para ulama di sana. Sehingga kedepannya negara-negara di Timur Tengahlah yang pertama kali mengenal Indonesia.
Meski hal-hal tersebut tidak secara khusus berkaitan dengan ibadah haji, namun niscaya menunjukkan bahwa rasa persatuan dan takdir bersama telah lama tertanam di kalangan umat Islam di seluruh dunia, baik di kepulauan Indonesia, di Arab, maupun di belahan dunia lainnya. .. Rasa menjadi bangsa yang besar dibawa pulang oleh seluruh umat Islam yang berhaji, baik para ulama maupun masyarakat awam, sehingga kekuatan kolonialisme tiba-tiba terasa kecil.
Mereka tahu bahwa umat Islam di mana pun adalah saudara, meski negara mereka dipisahkan oleh lautan luas. Mereka tidak merasa ‘sendirian’ karena dimanapun mereka berada, mereka selalu mendapat dukungan dari saudara-saudaranya. Dari perasaan inilah tumbuh semangat perlawanan, dan dari sinilah muncullah kemerdekaan negara besar ini. Oleh karena itu, para founding fathers bangsa ini mau tak mau banyak mencantumkan kata-kata mulia dalam Pembukaan UUD 1945: “Dengan rahmat TUHAN YANG MAHA ESA…“
Betapa hebatnya ibadah haji yang setiap tahunnya ibarat magnet yang menarik umat Islam dari seluruh dunia. Ibadah ini mempertemukan mereka dalam satu tempat yang sama, menyanyikan doa bersama, berdoa bersama, mencairkan es Dan sumbangan bersama-sama mengingat kepahlawanan para Nabi dan Rasul terdahulu, dan merasakan persaudaraan dalam arti yang sesungguhnya. Mereka berangkat ke Tanah Suci dengan pemahaman yang baik tentang risiko yang akan dihadapi, mulai dari iklim yang tidak diketahui hingga iklim yang benar-benar ekstrem, atau bencana yang tidak pernah bisa diprediksi kapan dan bagaimana datangnya. Sepulang dari Tanah Suci, mereka bisa berkata kepada keluarga dan kerabatnya: “Kami punya banyak sanak saudara di luar sana. Kami tidak bersaudara karena ras atau warna kulit, atau karena kebangsaan dan bahasa, tapi karena Islam.”
Sangat disayangkan jika ada anak bangsa saat ini yang buta terhadap sejarah sehingga tidak memahami kontribusi umat Islam terhadap bangsa ini. Lebih miris lagi ketika ada umat islam yang tidak memahami betapa hebatnya ibadah haji dan menganggapnya hanya sekedar pemborosan, padahal banyak sekali jenis pemborosan yang nyatanya memiliki nilai jauh lebih besar yang dilakukan oleh anak-anak. . dari orang-orang ini.
Memang sewaktu-waktu selalu ada peluang terjadinya permasalahan, mulai dari perumusan jumlah kuota, kelengkapan fasilitas, permasalahan pengelolaan, bencana, hingga perilaku. selfie Jumlah yang berlebihan dikhawatirkan akan merusak kesucian ibadah, namun hal tersebut tidak menjadi alasan untuk mengurangi kebermaknaan ibadah tersebut. Selamanya haji akan selalu masuk dalam Rukun Islam, dan tidak ada Islam tanpa haji. -Rappler.com
Akmal Syafril adalah penulis lepas, peneliti Lembaga Pengkajian Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST), aktivis gerakan #IndonesiaTanpaJIL dan dosen Sekolah Pemikiran Islam (SPI). Dia Anda dapat menghubunginya di Twitter @malakmalakmal.