Tragedi Mei 98, hari-hari menuju reformasi
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Tujuh belas tahun lalu, jalanan di Semanggi tidak sepadat saat ini, 12 Mei 2015, namun dipenuhi mahasiswa yang memegang spanduk dan petugas berseragam lengkap.
Di depan kampus Universitas Trisakti mereka meneriakkan “Reformasi!” Mereka menuntut Soeharto yang memerintah Istana Negara selama 32 tahun itu mundur.
dan “Takut!” Suara tembakan aparat membuat para pelajar kebingungan. Ada yang terjatuh di aspal, ada pula yang lari.
Namun aparat terus melakukan tembakan dari luar kampus. Gas air mata juga ditembakkan ke kampus Trisakti.
Penembakan itu dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Ini hanyalah awal dari kerusuhan yang lebih besar dan meluas, tidak hanya di ibu kota, tapi juga di provinsi lain.
Inilah yang terjadi pada hari-hari yang mengubah masa depan Indonesia:
2 Mei
Kerusuhan tidak dimulai di Jakarta, melainkan di Medan, Sumatera Utara. Saat itu, aksi protes mahasiswa terjadi di berbagai titik di Kota Medan. Protes yang berujung bentrokan itu berlanjut hingga 8 Mei. Tak hanya mahasiswa, massa lainnya pun turut terlibat dalam aksi protes ini. Mereka menyalakan api dan meneriakkan sentimen negatif terhadap polisi. Situasinya tidak dapat dikendalikan.
12 Mei
Setelah beberapa kali terjadi kerusuhan di kawasan itu, ibu kota mulai memanas. Para siswa berkumpul dan mulai mendekatkan barisan. Mereka menggelar aksi damai di halaman parkir depan Gedung M (Gedung Syarif Thayeb) Kampus Universitas Trisakti. Kemudian mereka membuat mimbar kosong tepat di atas lorong itu. Diperkirakan 6.000 orang hadir.
Menjelang siang, massa mulai memanas seiring sejumlah petugas keamanan mulai berdatangan ke mimbar. Aksi dilanjutkan dengan perjalanan panjang di jalan, mereka pergi ke gedung Majelis Volksraadgewende. Namun demonstrasi damai itu dihalangi oleh pihak berwenang. Mereka kemudian melakukan aksi protes di Gedung Wali Kota Jakarta Barat. Setelah berkali-kali dicegah aparat, para mahasiswa kembali ke kampus dan melanjutkan orasinya di sana.
Namun, ada orang tak dikenal yang berhasil memprovokasi mahasiswa yang tengah menggelar aksi damai. Ia melontarkan kata-kata kotor yang membuat marah para siswa. Identitas orang tersebut tidak diketahui, namun dia melarikan diri ke pihak berwajib. Bentrok antara mahasiswa dan petugas tidak bisa dihindari.
Para petugas mulai melepaskan amunisinya. Mulai dari gas air mata hingga peluru. Petugas membentuk formasi tembak dan mulai menembaki barisan mahasiswa dengan peluru yang menembus kepala, tenggorokan, dan dada.
Santri yang tewas seketika adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
13 Mei
Meninggalnya 4 mahasiswa Trisakti diyakini menimbulkan reaksi lebih luas dibandingkan kejadian Medan sebelumnya. Situasi menjadi lebih kritis ketika kerusuhan meluas.
Sedangkan penjarahan terjadi di Jakarta. Massa membakar rumah dan toko yang sebagian besar dimiliki oleh etnis Tionghoa. Media asing melaporkan bahwa gadis-gadis Tiongkok diperkosa. Kisah ini tidak pernah terungkap secara jelas karena korban masih bungkam hingga saat ini.
Data yang belum diverifikasi dari minggu Asia menyebutkan sedikitnya 1.188 orang tewas, sekitar 468 perempuan diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko hangus terbakar, serta tak kurang dari 1.119 mobil terbakar atau rusak.
Situasi semakin tidak jelas karena sejumlah pimpinan ABRI (kini TNI) tidak berada di Jakarta saat kerusuhan terjadi. Mereka berkumpul di Malang untuk menghadiri acara serah terima Pasukan Reaksi Cepat (PPRC) dari Seksi I hingga Seksi II Kostrad.
Acara ini dihadiri oleh Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto, KSAD Jenderal Subagyo HS, Pangkostrad Letjen. Prabowo Subianto, Danjen Kopassus Muchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
Saking sepinya Jakarta, muncul pertanyaan di kalangan masyarakat, di mana aparat keamanan militer saat kerusuhan?
14 Mei
Pada tanggal 14 Mei 1998 muncullah nama Prabowo. Saat itu dia disebut-sebut sebagai pihak yang merencanakan kerusuhan. Ia rupanya menggelar pertemuan rahasia di Markas Kostrad.
Berdasarkan laporan Tim Pencari Fakta Gabungan (TGPF), terjadi pertemuan rahasia di Makostrad sehari setelah magrib, yang dihadiri oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, dan Bambang Widjojanto. Prabowo diduga menyampaikan informasi mengenai situasi terkini. Namun Prabowo sendiri membantah pertemuan tersebut.
Wiranto tampil di layar televisi pada pukul 19.30 dan mengatakan aparat keamanan berhasil mengendalikan situasi. Namun di lapangan, masyarakat tidak melihat petugas berjaga di jalan.
Kondisi semakin tidak menentu. Ribuan warga asing mulai meninggalkan Jakarta yang terbakar dan dihiasi kebrutalan.
15-19 Mei
Jakarta masih tegang. Pukul 04.40 tanggal 15 Mei, Soeharto tiba dari serangkaian kunjungan ke Kairo, Mesir dan mendarat di pangkalan militer Halim Perdana Kusuma. Ia diantar menuju kediamannya di Jalan Cendana dengan 100 kendaraan bersenjata. Soeharto langsung mendengar rencana aksi massa sejuta orang yang akan digelar pada 20 Mei mendatang.
Wiranto selaku Panglima ABRI menyatakan dukungan penuhnya kepada Soeharto. Wiranto menyarankan Soeharto membentuk kabinet baru dan melakukan reformasi.
Sementara itu, tekad para siswa semakin kuat. Soeharto harus mundur. Mereka tidak hanya merencanakan aksi sejuta umat, tapi juga pendudukan gedung MPR.
Pada 19 Mei, pukul 11.00, Soeharto tampil di layar televisi nasional. Dia mengatakan pemerintah akan segera mengadakan pemilu. Ia pun berjanji tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden lagi.
Wakil Presiden Habibie menelepon Soeharto. Habibie mengaku khawatir dengan karier Soeharto. Soeharto akan tamat. Soeharto menjawab Habibie akan melaksanakan pemilu sesuai rencana.
20 Mei
Kawasan Monumen Nasional Jakarta penuh dengan tank. Ratusan tentara bersenjatakan senapan laras panjang dan tank ringan serta personel artileri berpatroli di ibu kota. Istana dijaga ketat. Demonstrasi satu juta orang dibatalkan.
siang itu, Wiranto memberikan saran dan pilihan kepada Soeharto. Pertama, tetap ingin menjabat Panglima ABRI, Habibie harus berkomitmen melakukan reformasi, dan digantikan oleh Prabowo.
21 Mei
Pada pukul 09.00 melalui siaran televisi nasional, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Ia meminta maaf kepada masyarakat atas segala kesalahan dan kekurangannya. Habibie menggantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia. —Rappler.com