Tragedi Mina disebabkan oleh kurang disiplinnya jamaah haji
- keren989
- 0
Jamaah haji membayar lebih dan karenanya menuntut fasilitas yang nyaman
JAKARTA, Indonesia – Penyebab tragedi Mina yang menewaskan lebih dari 700 orang pada Idul Adha 1436 H kemungkinan besar karena buruknya kedisiplinan jamaah haji.
“Mereka mengejar prioritas lempar jumrah bukan “Dzuhur seperti pada zaman Nabi Muhammad SAW,” kata Alwi Shihab, utusan khusus Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk Timur Tengah.
Menurut Alwi, agama mengajarkan bahwa ibadah dilakukan sesuai kemampuan.
“Agama hadir untuk memberikan kenyamanan, bukan untuk mempersulit umatnya. Situasi saat ini berbeda dengan masa Nabi, kata Alwi yang pernah menjabat Menteri Luar Negeri pada pemerintahan Presiden Abdurrachman “Gus Dur” Wahid saat dihubungi Rappler, Jumat pagi, 25 September.
Tiga jemaah WNI tewas dalam tragedi Mina tahun 2015. Satu orang dalam kondisi kritis.
Menteri Agama Lukman Saifuddin mengaku belum mendapat informasi mengenai korban luka.
Perkembangan terkini tragedi Mina dapat diikuti di LIVE BLOG Rappler.com di sini.
Alwi mengungkapkan, kedisiplinan jemaah haji Indonesia secara umum selalu mendapat pujian dari penyelenggara haji.
“Rata-rata masyarakat Indonesia taat aturan saat menunaikan ibadah haji. Patuh pada ketua kelompok, dan selalu bersama dalam kelompok. Kalaupun ada pelanggaran, jumlahnya sangat sedikit. Disiplin juga ditunjukkan dengan penggunaan gelang tanda pengenal, serta tanda pengenal yang dikalungkan di leher, kata Alwi.
Hal inilah yang tidak dilakukan oleh jamaah haji dari negara-negara Afrika dan Mesir.
Pemerintah Arab Saudi mengumumkan, dalam tragedi Mina yang terjadi di Jalan 204, saat ratusan jemaah haji terinjak, sebagian besar korban berasal dari Afrika dan Mesir.
Mengapa hal ini tidak diharapkan?
Menurut Alwi, pemerintah Arab Saudi membuat ekspektasi dengan mengatur jadwal.
Sejak tragedi Mina tahun 1990, pemerintah Indonesia mengatur agar jamaah haji Indonesia dapat menunaikan ibadah haji pada waktu yang relatif sepi, yaitu pada pagi atau sore hari menjelang Maghrib. Bangunan tempat pelemparan ular piton juga telah ditambahkan beberapa tingkat.
“Sembilan tahun kita menikmati perdamaian dengan melempar jumrah,” kata Alwi Shihab.
Alwi meyakini pemerintah Arab Saudi akan mengevaluasi faktor keamanan dan kenyamanan selama menunaikan ibadah haji. “Di sana mungkin perlu dilakukan penambahan lajur jalan agar lebih longgar, misalnya dengan membangun lajur jalan di atas jalur 204,” ujarnya.
Ribuan orang yang berebut mendekati tugu bergambar setan dalam ritual pelemparan juri ini memang berisiko tinggi. “Perebutan zakat ratusan orang berujung pada hilangnya nyawa karena tidak disiplin mengelolanya,” ujarnya.
Suhu udara di Mekkah pada hari-hari ibadah haji memang panas, berkisar 50-52 derajat Celcius. Kelelahan fisik usai menunaikan wukuf di Padang Arafah biasanya membuat kondisi jamaah menurun meski harus menunaikan ibadah Jumrah.
“Jemaah haji Indonesia biasanya diminta istirahat yang cukup terlebih dahulu. Apalagi bagi mereka yang sudah tua, berbadan kecil, jika didorong maka akan mudah terjatuh. Kalau ada yang jatuh, biasanya pukulannya panjang, kata Alwi.
Tragedi Haji Terjadi Karena Komersialisasi?
Bencana yang terjadi pada musim haji kali ini juga menimbulkan kontroversi komersialisasi haji. Media menuliskan bagaimana kota suci Mekkah disulap menjadi Las Vegas karena dikelilingi hotel mewah dan pusat perbelanjaan.
Menurut Alwi, membangun fasilitas mewah merupakan sebuah keniscayaan.
“Jemaah haji menuntut fasilitas yang nyaman. Pada tahun 70-an kami menghabiskan waktu di Arafah di tenda-tenda tanpa AC. “Sekarang semua jemaah mau pakai AC,” ujarnya.
Jemaah haji ONH Plus harus merogoh kocek puluhan ribu dolar AS untuk menikmati kenyamanan ibadah haji. Makanan berlimpah. Kamarnya luas dan nyaman. Hotel paling dekat dengan Masjid Agung, kalau perlu disambung halaman hotelnya.
“Ada tuntutan dari jamaah haji. Pemerintah Arab Saudi menanggapi tuntutan tersebut. “Ini yang saya maksud dengan keniscayaan,” kata Alwi.
Keadaan ini juga berlaku pada tuntutan penambahan kuota haji, karena besarnya keinginan untuk menunaikan ibadah haji.
Alwi mencontohkan, separuh jemaah haji tersebut berasal dari kalangan menengah atas yang sangat mementingkan kenyamanan dalam beribadah. Sisanya berasal dari kalangan menengah ke bawah yang harus menabung setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah haji.
“Ada yang dari Indonesia, tapi kebanyakan dari Afrika dan negara berkembang lainnya,” kata Alwi. —Rappler.com
BACA JUGA: