• October 2, 2024

Uji resep untuk memulihkan perekonomian Indonesia yang terpuruk

Saya sedang berada di Beijing, Tiongkok pada saat itu Pasar saham di Tiongkok melemahpada tanggal 27 Juli 2015

Ini bukan yang pertama, dan tampaknya juga bukan yang terakhir. Kemarin, Senin 24 Agustus, indeks saham di Shanghai Stock Exchange anjlok 8,5%, selisih kenaikan yang terjadi sepanjang tahun 2015. Black Monday, demikian dunia usaha menyebut guncangan tersebut merembet ke bursa saham Eropa dan Amerika. Amerika.

Dua minggu di Negeri Tirai Bambu, saya bertemu dengan berbagai narasumber, mulai dari pejabat pemerintah, pengusaha, dan media. Dalam berbagai pertemuan, jika narasumber cocok untuk ditanyai, saya selalu bertanya bagaimana situasi bisnis pasca guncangan di pasar saham mereka? Apakah hal ini akan mengganggu perencanaan perekonomian, termasuk investasi?

“Jangan khawatir. Pemerintah kita punya banyak uang. “Apa yang terjadi di bursa Shanghai, guncangan di pasar modal, merupakan bagian dari proses yang harus dialami antara lain oleh investor dan spekulan yang membeli saham dengan uang pinjaman,” kata seseorang yang saya tanya saat itu.

Hal ini disampaikan oleh seorang pejabat senior di Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), semacam Kementerian Perencanaan dan Pembangunan di sana. NDRC merupakan kementerian yang dianggap mempunyai kekuasaan paling besar dalam menentukan strategi dan pelaksanaan pembangunan ekonomi di Tiongkok.

Ketika saya bertemu dengan orang-orang biasa yang kebetulan menemani saya menikmati menara TV di Shanghai, atau pejabat di Provinsi Otonomi Xinjiang, saya mendapat jawaban serupa. Saya mendengar indikasi bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi yang dicatat Tiongkok selama ini sebenarnya rentan.

Ekonomi gelembung, sebagaimana para analis menyebutnya. Ada banyak informasi tentang ini di internet. Ketikkan kata “China Bubble”, Anda dapat membaca berbagai analisis. Saya mengutip salah satunya di sini, dari halaman Orang Dalam Bisnis.

Ada kutipan dari seorang analis yang mengatakan:

“Dalam pandangan kami, Tiongkok berada di tengah-tengah triple bubble, dengan gelembung kredit terbesar ketiga sepanjang masa, gelembung investasi terbesar (berdasarkan pangsa investasi PDB) dan gelembung real estate terbesar kedua,” tulis analis Credit Suisse Andrew Garthwaite.

Kami punya cukup banyak uang. Perkataan tersebut muncul pada rapat kabinet antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dengan pengusaha dan BUMN yang membahas perekonomian, pada 24 Agustus lalu.

Hal itu disampaikan Presiden Jokowi untuk menenangkan masyarakat melalui dunia usaha. Yang diundang adalah para konglomerat dan bos BUMN yang sahamnya dicatatkan di bursa. Jokowi meminta sektor pemerintahan, termasuk pemerintah daerah, serta pihak swasta dan badan usaha milik negara segera mengeluarkan dana untuk kegiatan investasi.

Tindak lanjutnya cukup konkrit. Beberapa jam setelah pertemuan tersebut, media memberitakan informasi dari Menteri BUMN Rini Soemarno tentang alokasi Rp 10 triliun untuk pembelian kembali (membeli kembali) Saham BUMN di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam risalah 24 Agustus 2015, Indeks BEI turun 3,97%.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menembus Rp 14.000. Pagi ini, Selasa 25 Agustus, meski beredar berbagai isu yang membuat resah, indeks harga saham gabungan di BEI menguat 18 poin pada pembukaan pasar.

Masalah yang membuat Anda gugup? Ya, sejak tadi malam media memberitakan Wall Street Stock Exchange, New York, anjlok 4%. Kemudian beredar rekomendasi di berbagai kalangan dari lembaga investasi yang menyarankan penjualan obligasi Indonesia.

“Jual Obligasi Indonesia, Rupiah, SEKARANG”. Kemarin, JP Morgan merekomendasikan investor melepas portofolio ekuitasnya di Indonesia.

Saya berdiskusi hingga tengah malam dengan beberapa pebisnis yang juga ahli di bidang pasar uang dan pasar modal. Saya menanyakan pendapat mereka tentang perkembangan terkini di kedua pasar tersebut. Jawabannya membuatku semakin gugup.

“Yang terburuk masih akan datang,” mereka berkata. Wow!

Lebih suram lagi ketika mereka mengatakan rata-rata dananya sebesar Rp 10 triliun membeli kembali Saham BUMN dan Rp 3 triliun Pembelian kembali Surat Berharga Negara (SBN) dinilai tidak cukup untuk mendukung pemulihan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan memperkuat nilai rupiah.

Banyak uang bukanlah obat mujarab. Dibutuhkan waktu untuk menerapkan percepatan penganggaran dan belanja investasi. Seperti yang dialami Tiongkok, pemerintah Indonesia juga menghadapi penurunan kepercayaan masyarakat, khususnya investor.

Salah satu dari tiga alasan JP Morgan merekomendasikan penjualan portofolio di Indonesia adalah: “Kebijakan pemerintah Indonesia juga tidak terlalu membantu. Alih-alih melakukan reformasi fiskal, pemerintah Indonesia justru menerapkan kebijakan defisit anggaran.” 10 persen diumumkan dalam RAPBN tahun depan.”

Hal yang paling penting adalah, kepercayaan masyarakat menyusut. Ada kekhawatiran, terutama disebabkan oleh guncangan ekonomi yang terjadi di Tiongkok, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.

Reaksi Bank Sentral AS, Federal Reserve Board yang memberikan indikasi akan menaikkan suku bunga acuan pada pertengahan September juga dinantikan. Dampaknya bisa terjadi di mana saja, termasuk Indonesia.

Ketidakpastian global menyebabkan perlambatan ekonomi. Hal ini beberapa kali ditegaskan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang menegaskan kita tidak sedang dalam situasi krisis keuangan.

Namun sebenarnya pertemuan antara Jokowi dengan pengusaha dan BUMN, serta aksi buyback saham BUMN hari ini menunjukkan bahwa krisis itu ada. Dan hal ini bisa menjadi lebih buruk jika Anda tidak segera mendapatkan resep penyembuhan.

Membeli kembali merupakan upaya meredam kepanikan akibat aksi jual besar-besaran di pasar modal.

Hari ini Bloomberg mencatat nilai tukar rupiah di pasar spot sebesar Rp 14.043. Kemarin nilai tukar rupiah ditutup pada Rp 14.050. IHSG membaik namun rupiah masih lesu terhadap dolar AS.

“Apa yang dilakukan pemerintah dinilai belum cukup,” kata seorang konglomerat saat saya menghubunginya, Selasa sore.

Ekonom Faisal Basri menyarankan pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai stimulus bagi masyarakat, di tengah menurunnya daya beli.

“Pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk membantu masyarakat. Anggaran negara berada di bawah tekanan. Pendapatan pemerintah dari pajak dan minyak sangat ditekan. Pengeluaran harus dipangkas. Pemerintah hanya berkonsentrasi mengurus dirinya sendiri. Yang penting tidak mengganggu konsumsi rumah tangga dan investasi swasta, tulis Faisal seperti dikutip blog pribadinya.

Faisal menyarankan tiga hal yang harus dilakukan pemerintah saat ini. Selain penurunan harga BBM bersubsidi dan pemantauan harga BBM, pengendalian impor produk seperti daging, dan fasilitasi investasi harus dilakukan.

Ada juga yang berpendapat akan ada pelonggaran ekspor mineral secara terbatas, salah satunya adalah tarif berupa bea keluar. Relaksasi dapat diberikan kepada pengusaha yang telah menunjukkan investasi awal dalam membangun smelter namun terhenti di tengah jalan akibat anjloknya nilai tukar. Ini merupakan upaya untuk mendapatkan devisa.

Di Kuala Lumpur, akhir pekan lalu, Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyampaikan gagasan Indonesia agar perdagangan di kawasan ASEAN lebih banyak menggunakan mata uang Tiongkok, yaitu Yuan.

“Ini adalah cara kami untuk semakin sinkron dengan mitra dagang terbesar ASEAN, yaitu Tiongkok,” Thomas, seperti dikutip Situs web Jakarta Post. Menurut Thomas yang juga seorang bankir investasi, penggunaan lebih banyak mata uang Yuan akan melindungi mata uang negara-negara anggota ASEAN.

Thomas menghadiri pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN ke-47, organisasi kerja sama negara-negara di Asia Tenggara.

Mata uang ringgit Malaysia paling melemah terhadap dolar AS, yakni 4,18 ringgit per 1 dolar AS. Ini merupakan yang terburuk dalam 17 tahun terakhir. Mata uang rupiah berada pada posisi terburuk kedua sejak tahun 1998, saat krisis moneter melanda kawasan ini.

Thomas mengatakan, gagasan penggunaan lebih banyak mata uang Yuan dalam perdagangan dan keuangan di kawasan ASEAN masih dalam tahap pembahasan awal, namun akan menjadi pembahasan serius dengan para menteri perekonomian di masing-masing negara. Perdagangan dengan Tiongkok menyumbang 14,5% dari total perdagangan dengan negara-negara ASEAN, sedangkan dengan Amerika hanya 8,4%.

Kementerian Keuangan pun tak luput memberikan hal ini fasilitas pembebasan pajak sementaraatau libur pajak, hingga 9 industri.

Ada banyak resep yang bisa dilakukan pemerintah dan ada pula yang sedang diupayakan untuk memperkuat ketahanan perekonomian kita terhadap guncangan ekonomi global. Namun, kuncinya tampaknya adalah kemampuan membangun kepercayaan di dalam negeri.

Kami berharap Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bersatu untuk memandu proses melewati gejolak ekonomi ini.

Peringatan kepada para politisi di Senayan, serta ketua umum partai politik, untuk tidak berkontribusi dalam merusak kepercayaan masyarakat dengan manuver politik atau ekonomi. Dampak dari keruntuhan ekonomi terlalu besar bagi 250 juta penduduk Indonesia. —Rappler.com

BACA JUGA:

Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat dihubungi di @UniLubis.

judi bola terpercaya