• November 25, 2024
Untuk mewujudkan perdamaian, KMP dan KIH menandatangani perjanjian damai

Untuk mewujudkan perdamaian, KMP dan KIH menandatangani perjanjian damai

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

KMP dan KIH sepakat menghapus beberapa ayat dalam UU MD3 yang dikhawatirkan dapat mengancam sistem presidensial

JAKARTA, Indonesia – Konflik antara Koalisi Indonesia Raya (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya terselesaikan setelah tercapai kesepahaman antara kedua pihak.

Untuk meresmikan kesepakatan tersebut, perjanjian damai akan ditandatangani di DPR pada Senin (17/11).

Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, kisruh di DPR pun berakhir dimana KIH membentuk DPR tandingan setelah KMP bersikeras untuk mematuhi tata tertib DPR agar perangkat dewan bisa disapu bersih oleh KMP.

“Kita tidak perlu lagi bicara soal persaingan atau pertarungan. “Tidak ada lagi KMP dan KIH (di DPR),” kata Pramono Anung, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Sabtu (15/11).

Rekonsiliasi ini tercapai setelah terjadi pertemuan antara dua politisi senior PDI Perjuangan, Pramono dan Olly Dondokambey, serta dua anggota KMP yakni Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa dan politikus Golkar Idrus Marham di kediaman Hatta di Fatmawati. Jakarta Selatan, Sabtu (15/11).

“Alhamdulillah sudah tercapai kesepahaman dan secara teknis akan tercapaimenindaklanjuti teman di fraksi. “Kita sudah mencapai titik temu,” kata Hatta usai pertemuan.

Menurut dia, yang akhirnya menjadi kesepakatan kedua koalisi adalah hak interpelasi, hak penyidikan, dan hak menyampaikan pendapat dihilangkan dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tidak.

“Tidak dihapus karena diatur pada pasal 79 dan dijelaskan pada pasal 194-227,” kata Hatta.

Sebelumnya, KIH meminta KMP menghapus beberapa pasal yang mengatur hak-hak tersebut dalam UU MD3 dengan alasan ada beberapa ayat yang jika dibiarkan dapat mengancam sistem presidensial yang dianut negara ini.

Pasal yang diminta dihapus adalah Pasal 74 dan Pasal 98 ayat 6, 7, dan 8.

Pasal 98 ayat 6 menyebutkan keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan pemerintah dan wajib dilaksanakan oleh pemerintah.

Sedangkan pada ayat 7 disebutkan, dalam hal pegawai negeri sipil dan pegawai negeri sipil tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6), komisi dapat menyarankan penggunaan hak interpelasi, hak penyidikan, hak menyatakan pendapat. . pendapat, atau hak anggota untuk bertanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian ayat 8 memperbolehkan DPR meminta Presiden memberikan sanksi administratif kepada pegawai negeri sipil dan pejabat pemerintah yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Sementara pasal 74 juga mengatur hal yang sama dengan pasal 98.

Hatta mengatakan, meski hak-hak tersebut belum dihilangkan dalam UU MD3, namun beberapa ayat yang diminta KIH dihapus akan segera dicabut karena tumpang tindih dengan Pasal 79 dan Pasal 194-227 yang sudah mengatur hal tersebut.

“(Pasal 74 dan Pasal 98) tidak diperlukan karena hak interpelasi sudah diatur sendiri,” ujarnya. “Hak interpelasi yang diatur dalam pasal 79 sudah cukup di situ. Tidak perlu disebutkan di tempat lain karena bisa dilakukan berulang dan hancur.”

Namun pada pasal 98 ayat 6 tetap dipertahankan karena hasil rapat kerja dianggap mengikat.

Namun, jika pemerintah tidak bisa melaksanakan hasil rapat tersebut, DPR tidak bisa langsung menggunakan hak interpelasinya tanpa terlebih dahulu mengkaji kondisi negara dan pemerintahan, kata Hatta.

Oleh karena itu, jika seorang menteri tidak dapat melaksanakan hasil rapat komisi karena kondisi di lapangan tidak memungkinkan, maka DPR tidak dapat menggunakan hak interpelasinya. Lain ceritanya jika menteri sengaja tidak melaksanakan hasil rapat kerja tersebut. —Rappler.com

Pengeluaran Sidney