• September 21, 2024

Waktu dan mentalitasnya tidak tepat

Anggapan bahwa pernikahan dini sering terjadi di pedesaan tidak selalu benar. Saat ini, pernikahan dini juga banyak dijumpai di perkotaan.

Berdasarkan data Dewan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (NBKBN), Hubungan perkawinan dini di perkotaan pada tahun 2012 terjadi 26 dari 1.000 pernikahan. Pada tahun 2013, rasio tersebut meningkat menjadi 32 per 1.000 pernikahan. Sementara itu, rasio pernikahan dini di perdesaan turun dari 72 per 1.000 pernikahan pada tahun 2012 menjadi 67 per 1.000 pernikahan pada tahun 2013.

Surabaya sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia juga tidak lepas dari hal tersebut.

Data Pengadilan Agama (PA) Surabaya, dalam tiga bulan pertama tahun 2015 terdapat 45 permohonan dispensasi nikah yang melibatkan anak di bawah umur. Rinciannya, Januari ada 13 permohonan, Februari 15 permohonan, dan Maret 17 permohonan.

Angka di atas cukup tinggi mengingat rata-rata tahun sebelumnya mencapai 150 pendaftar.

Menurut Undang-undang (UU) no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah cukup umur. Undang-undang membatasi usia minimum hingga 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Apabila calon pengantin atau keduanya belum mencapai batas usia, maka harus memiliki surat keterangan dispensasi nikah dari PA setempat.

“Sudah banyak orang yang mengajukan dispensasi pernikahan di masa lalu. Biasanya ditolak di KUA (Kantor Agama), lalu melamar di sini. Usia termuda 12 tahun hingga 14 tahun, kata Humas PA Surabaya Asy’ari kepada Rappler.

Pengajuan permohonan perpisahan perkawinan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Menurut Asy’ari, mayoritas pelamar karena hamil di luar nikah. Ada pula sebagian orang tua yang menikahkan anaknya di usia muda untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sesuai prosedur, baik calon pengantin harus hadir pada setiap sidang permohonan dispensasi nikah dengan calon walinya. Dalam sidang, kedua calon akan ditanya alasan meminta dispensasi. Proses penawaran ini biasanya memakan waktu hingga satu bulan.

“Sebenarnya proses mengemis ini dilematis, seolah-olah kita membiarkan pernikahan dini karena perbuatan menyimpang. Namun jika bayi yang dikandungnya tidak dilepaskan, apa yang akan terjadi pada anak tersebut? Kepentingan anak juga harus diperhatikan, dari pada nikah siri, lebih baik nikah sah secara hukum. “Tetapi seringkali setelah anaknya lahir, mereka memilih bercerai,” kata Asy’ari.

Berdasarkan beberapa faktor

Seorang gadis berinisial MY (15 tahun) sedang hamil delapan bulan. Kehamilannya disebabkan oleh perselingkuhan dengan pria yang baru dikenalnya di jaringan media sosial Facebook. Pria bernama Edi (23) itu menikahinya meski hanya nikah siri.

Karena orang tuaKU tidak ingin nasib anaknya menjadi tidak jelas, maka orang tuaKU menuntut agar Edi segera menikah denganKU secara resmi. Namun Edi lepas tanggung jawab dan meninggalkan Surabaya.

Tak hanya AKU, ada juga R (18), laki-laki lulusan SMA yang harus menikah muda. R mengaku sering menonton video porno di internet, melampiaskan nafsunya pada kekasihnya hingga hamil di luar nikah. Setelah hampir setahun menikah dan istrinya melahirkan, R memutuskan untuk menceraikan istrinya.

“Saya ingin kuliah dan melanjutkan hidup,” akunya pada Rappler.

Kepala Departemen Advokasi Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Jawa Timur Edward Dewaruci menilai pernikahan dini merupakan fenomena zaman yang disebabkan oleh kemajuan teknologi. Menurutnya, anak-anak masa kini dapat dengan mudah memperoleh informasi dari internet, meski belum memiliki kemampuan menyaring informasi.

“Anak-anak perlu memiliki kemampuan literasi media, mampu memilih informasi yang sesuai dengan usianya. Mereka harus bisa memilih saluran TV, menentukan bahan bacaan yang baik. Ini adalah sesuatu yang tidak biasa dilakukan di rumah atau di sekolah. “Wajar jika terjadi pernikahan dini,” jelasnya.

“Dengan kemampuan literasi yang terbatas, nafsu remaja tidak bisa dikendalikan, pacaran sudah keterlaluan,” kata Edward.

Sedangkan Aprilina Prastari, penulis buku Pernikahan muda tak membuatmu kehilangan gaya, mengatakan fenomena pernikahan dini sudah ada sejak lama. Sejak kecil, perempuan sudah dipersiapkan untuk mengurus rumah tangga, seperti belajar memasak dan membersihkan rumah. Berbeda dengan remaja putri masa kini yang belum memiliki keterampilan tersebut.

Begitu pula dengan faktor pendidikan, penyelesaian pendidikan hingga tingkat sekolah menengah atas (SMA) pada masa lalu dianggap tinggi oleh perempuan. Mayoritas perempuan kini menikah ketika mereka sudah memiliki gelar sarjana. Inilah alasan mengapa jumlah pernikahan muda saat ini tidak sebanyak di masa lalu.

“Sebelumnya pernikahan muda banyak ditemui di pedesaan, hal ini sebagian besar disebabkan oleh faktor ekonomi. “Kalau anak muda menikah di perkotaan, menurut saya untuk menghindari jalan-jalan atau menghindari kehamilan di luar nikah,” kata April.

Tinjau batasan usia UU Perkawinan

Fenomena pernikahan dini di Indonesia juga disebabkan oleh kurang harmonisnya UU Perkawinan dengan UU Perlindungan Anak.

Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perempuan berusia 16 tahun diperbolehkan menikah, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak berusia 16 tahun masih diklasifikasikan sebagai anak-anak atau anak di bawah umur.

Edward menilai pemerintah harus mengkaji ulang batasan usia dalam UU Perkawinan. Tak hanya itu, ia juga berharap pemerintah tidak membedakan usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan.

“Mereka harus berusia minimal 18 tahun. Jika perempuan berusia kurang dari 18 tahun, organ reproduksinya masih belum lengkap. Dari segi psikologis, kesiapan mental juga belum cukup. Apalagi situasi perekonomian belum bisa ditentukan. Kapan anak punya anak? “Itu bisa menjadi masalah,” kata Edward.

Berbeda dengan Edward yang ingin menyamakan batasan usia, April mengatakan seharusnya ada perbedaan usia menikah antara pria dan wanita.

Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perempuan berusia 16 tahun diperbolehkan menikah, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak berusia 16 tahun masih diklasifikasikan sebagai anak-anak atau anak di bawah umur.

“Perempuan cenderung lebih dewasa secara psikologis dibandingkan laki-laki. Apalagi sang suami kelak akan menjadi kepala keluarga, sehingga sangat membutuhkan seseorang yang lebih dewasa dan bisa menafkahi istrinya. “Kalau melihat kondisi saat ini, seharusnya perempuan berusia 19 tahun, laki-laki harus berusia 23 tahun,” jelas pendiri Jagawudhu Communications ini.

April mengatakan, aturan dalam UU Perkawinan lebih melihat kondisi daerah. Tahun terbitnya juga cukup lama yakni tahun 1974.

“Saya kira aturan ini dibuat karena kita melihat kondisi di daerah. “Batasan usia sebaiknya dilihat dari seberapa siap seseorang untuk menikah karena kedewasaan usia sangat dibutuhkan dalam menikah,” imbuhnya.

Sebenarnya sudah ada beberapa pihak yang melakukan hal tersebut mengajukan gugatan terhadap batasan usia dalam UU Perkawinan, salah satunya adalah Yayasan Kesehatan Wanita. Namun hingga saat ini belum ada kabar terkini mengenai revisi undang-undang tersebut.

Anda boleh menikah muda asalkan sehat

Pernikahan muda tidak selalu berkonotasi negatif, karena ada beberapa manfaat yang bisa didapat dari pernikahan muda. Wanita yang menikah muda mempunyai tenaga dan waktu lebih banyak untuk mengurus keluarga. Wanita yang lebih muda juga memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik untuk proses kehamilan. Tentu saja menikah muda di sini bukan berarti menikah di bawah umur.

“Pernikahan muda diperbolehkan asalkan sehat. “Kamu sudah cukup umur, kamu sudah punya pekerjaan, kedua belah pihak sudah siap menikah,” kata April.

Ibu dua anak ini pun memberikan tips kepada pasangan yang akan menikah muda agar bisa mempertahankan pernikahannya dengan sukses.

Pertama, kedua belah pihak harus percaya bahwa tidak ada yang sempurna di dunia. Setiap orang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, jika ada perbedaan yang tidak mendasar biasanya masih bisa diubah.

Kedua, buatlah kesepakatan dengan pasangan sebelum menikah. Misalnya apakah perempuan tersebut masih diperbolehkan melanjutkan pendidikan atau bekerja setelah menikah. Pria juga tidak boleh terlalu membatasi. Namun, wanita harus merasa nyaman agar bisa mengurus keluarga dengan baik.

Ketiga, jika terjadi konflik, anggap saja sebagai proses komunikasi yang bisa diselesaikan bersama, apalagi masa-masa awal pernikahan merupakan masa kritis yang penuh konflik.

Keempat, jangan membicarakan hal buruk pasangan Anda kepada orang lain, karena tidak semua orang bereaksi positif terhadap hal tersebut. Hal ini dikhawatirkan justru menjadi bumerang dan memperburuk hubungan suami istri.

Kelima, perbanyaklah membaca buku tentang pernikahan dan tanyakan pendapat teman yang sudah pernah menikah sebelumnya, tentunya tanpa menjelek-jelekkan pasangan.

Bagaimana dengan Anda, apakah Anda setuju dengan mereka yang menikah muda? —Rappler.com

judi bola terpercaya