Warga Aceh ingin mengadopsi anak imigran Rohingya
- keren989
- 0
LHOKSUKON, Indonesia – Pria berbadan tegap berkumis tebal itu memilih duduk di atas sepeda motor yang terparkir di utara Gedung Olah Raga (GOR) Lhoksukon, ibu kota Kabupaten Aceh Utara.
Ilyas, 58 tahun, mengaku tak tega melihat ke dalam gedung yang menampung ratusan imigran etnis Rohingya asal Myanmar dan Bangladesh itu. Selain kondisinya yang cukup memprihatinkan, bau menyengat dari kedua toilet tersebut seolah mengurungkan niat mereka untuk masuk ke dalam kamar.
Awal pekan ini, ribuan pencari suaka etnis Rohingya terdampar di Pantai Seneudon, Aceh Utara pada Minggu, 10 Mei 2015. Mereka diusir dari negaranya karena kekerasan yang dilakukan oleh pasukan pemerintah Myanmar dan tidak diberi kewarganegaraan.
“Saya tahu ada manusia perahu yang terdampar di Aceh Utara kemarin sore. “Saya langsung datang ke sini setelah membayar Rp. 1 juta dalam berbagai macam belanja makanan untuk membantu mereka semampu saya,” kata Ilyas kepada Rappler, Selasa malam, 12 Mei.
Dia datang untuk kedua kalinya dengan harapan bisa mengadopsi anak Muslim Rohingya.
Ilyas sendiri sudah memiliki tiga orang anak. Si bungsu tahun ini akan lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dua lainnya sudah menikah.
“Saya sangat ingin diberi kesempatan untuk merawat dan mendidik anak-anak Muslim Rohingya. Tapi bagaimana caranya? Apalagi anak-anak saya sudah besar,” kata pria yang berprofesi sebagai sopir truk itu.
Keinginannya itu ia sampaikan kepada petugas Tagana dari Dinas Sosial Aceh Utara. Namun respon yang didapat jauh dari harapan. Petugas Tagana mengaku tidak punya kewenangan atas nasib pengungsi yang ingin mengadu nasib di Malaysia.
Relawan Tanaga hanya bertugas menyiapkan makanan dan kebutuhan lainnya bagi para pencari suaka. Dapur umum didirikan di samping gedung tersebut sejak 582 pendatang ditampung di GOR Lhoksukon berukuran 20 x 40 meter yang biasa digunakan untuk bermain bulu tangkis.
Meski sulit untuk mengadopsi anak Rohingya, Ilyas tetap berada di luar gedung hingga hampir tengah malam. Warga Kecamatan Matang Kuli ini mengaku turut prihatin atas penderitaan berat yang dialami etnis minoritas Rohingya di tanah kelahirannya.
“Saya sangat ingin ikhlas merawat anak-anak Rohingya. Apalagi mereka beragama Islam. Sesama umat Islam, kita harus saling membantu. “Khususnya pada saat konflik Aceh, penderitaan akibat perang juga kita alami,” ujarnya.
Dari 582 pengungsi Rohingya yang terdampar, terdapat 81 perempuan dan 51 anak-anak. Di antara anak-anak di bawah usia 12 tahun terdapat sejumlah balita.
‘Belum dikaruniai anak’
Keinginan untuk mengadopsi anak Rohingya juga diungkapkan pasangan Ahmad (43) dan Fatimah (35). Mereka sengaja datang ke GOR Lhoksukon dari desanya di pelosok Aceh Utara pada Selasa sore. Pasangan ini mengaku belum mempunyai anak.
“Kami sudah menikah selama tujuh tahun, namun belum dikaruniai anak. “Jika diperbolehkan, kami bersedia mengantar salah satu anaknya untuk dirawat dan disekolahkan,” kata Ahmad yang disetujui istrinya.
Saat pasangan tersebut berada di luar GOR, sejumlah perempuan Rohingya dan sepuluh anak keluar dari GOR hendak mandi di rumah warga. Fatimah segera merogoh dompetnya. Setiap anak diberi Rp 2.000. Sedangkan perempuan Rohingya diberi Rp 20.000. Terlihat senyum bahagia anak-anak dan perempuan Rohingya.
Cut Nilawati (30) mengaku, dirinya juga datang ke GOR untuk menemui pengungsi. Dia ingin memastikan kemungkinan mengadopsi anak Rohingya. “Adik saya di Kota Lhokseumawe menelepon. “Dia bertanya apakah mungkin untuk mengadopsi anak pengungsi,” katanya.
‘Keadaan GOR sudah tidak layak lagi’
Menjelang sore, ribuan warga Aceh Utara mendatangi GOR. Bantuan yang mereka bawa bermacam-macam mulai dari pakaian bekas, beras, air mineral, telur ayam, ikan, dan segala macam kue. Banyaknya warga yang datang membuat tim Tagana dan polisi kewalahan karena warga dan pengungsi bercampur.
Bantuan juga disalurkan kepada siswa dan siswi SMA Unggul Lhoksukon. Di jalan dekat GOR, sejumlah mahasiswa terlihat sedang mengumpulkan bantuan dana untuk para pendatang. Setiap warga yang lewat memasukkan uang ke dalam kotak karton yang dibawa aktivis mahasiswa.
Meski ada imbauan dari pengeras suara agar warga tidak masuk ke dalam gedung, namun masyarakat tetap masuk dan berbaur dengan manusia perahu yang tangannya diikat pita kuning. Banyak warga Aceh yang berbaur berfoto bersama para perantau. Ratusan warga bertahan di sekitar GOR hingga tengah malam.
Rencananya, para pendatang asal Myanmar dan Bangladesh tersebut akan dipindahkan ke Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kuala Cangkoi di Distrik Lapang pada Rabu sore, 13 Mei. Tim dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNCHR) meninjau tempat ini Selasa lalu.
Menurut pejabat UNCHR, lokasinya berada di dekat laut sekitar 16 kilometer dari Lhoksukon. “Kondisi sanitasi di GOR sudah tidak layak lagi. Apalagi warganya banyak yang datang dan bercampur dengan pendatang. “Saya khawatir ada yang sakit,” kata petugas yang enggan disebutkan namanya.
Namun Ilyas, pasangan Ahmad dan Fatimah, serta Cut Nilawati masih mempunyai harapan besar untuk bisa mengadopsi anak-anak Rohingya. Mereka terus mencari cara untuk merawat anak-anak tersebut.
“Saya tetap berharap, kalau bisa, mereka semua bisa diizinkan tinggal di Aceh. “Selanjutnya sebagai sesama umat Islam kita harus saling membantu,” kata Ilyas. —Rappler.com