• November 25, 2024

Kematian yang tidak perlu

Sementara itu, bagi mereka yang bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yang mempunyai daya rusak lebih keji dan kejam dibandingkan narkoba, seringkali diberikan pengampunan berkali-kali hingga pelakunya bisa bebas dengan hukuman yang ringan.

Keputusan eksekusi enam orang yang terbukti bersalah kasus narkoba pada Minggu (18/1) dini hari mendapat apresiasi luas dari masyarakat. Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa kejahatan terkait narkoba pantas dan harus dihukum dengan hukuman mati.

Pasukan tembak sudah siap. Lima warga negara asing dan satu warga negara Indonesia tewas terkena peluru regu tembak. Keadilan telah ditegakkan, kata mereka yang mendukung hukuman mati.

Para pengedar narkoba ini mungkin pantas mati. BNN menyebutkan 50 orang meninggal setiap hari karena narkoba. Keluarga yang kehilangan, rusak dan terkoyak harus mendapatkan keadilan. Jadi ketika pemerintah saat ini melakukan eksekusi, ada yang membenarkan berdasarkan angka yang diberikan BNN.

Namun angka tersebut hanya separuh dari jumlah kematian akibat kecelakaan. Komunitas transportasi Indonesia rata-rata mengatakan hal ini setiap hari 80 orang tewas di jalan akibat kecelakaan. dimana negaranya

Tapi mungkin itu tidak adil. Mungkin juga tidak sopan membandingkan kematian akibat narkoba dan kematian akibat mengemudi sembarangan di jalan raya. Namun, jika argumen tingkat kematian digunakan untuk membenarkan kematian, maka produsen sepeda motor juga harus dituntut.

Terlebih lagi, tindak pidana korupsi yang mempunyai daya rusak lebih keji dan kejam dibandingkan narkoba, sering kali mengakibatkan pengampunan berulang-ulang hingga pelakunya bisa bebas dengan hukuman yang ringan.

Saya menentang hukuman mati dalam kasus narkoba bukan karena alasan hak asasi manusia. Lebih dari siapa pun, setiap pengedar narkoba pantas mendapatkan hukuman terberat, namun kematian bukanlah suatu pilihan.

Aku tahu, aku pernah merasakan sendiri bagaimana rasanya melihat keluarga yang kucintai hancur karena narkoba. Dia menderita berhari-hari, berkali-kali dan menghancurkan seluruh hidupnya. Apakah hukuman mati itu baik? Pengedar narkoba yang masih hidup tidak ada gunanya, apalagi yang sudah mati.

Mengganti hukuman mati dengan hukuman lain menurut saya merupakan langkah taktis dalam diplomasi. Dengan memberlakukan moratorium hukuman mati, Indonesia mempunyai daya tawar di mata internasional.

Berguna untuk melakukan diplomasi terhadap warga negara kita yang terancam hukuman mati di negara lain. Penerapan kebijakan ini bukan berarti kita membebaskan hukuman bagi para pengedar narkoba, melainkan mencari alternatif hukuman yang kita rasa tepat.

Saya khawatir apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait hukuman mati terhadap 5 orang WNA akan menjadi preseden buruk. Setidaknya lebih dari Lebih dari 240 WNI terancam hukuman mati.

Posisi Indonesia akan menjadi rentan jika mencoba melakukan diplomasi untuk melindungi warga negara yang terlibat masalah hukum di luar negeri.

Saya paham mengapa Presiden Brazil Dilma Rousseff menelepon Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan meminta hukuman terhadap warganya dibatalkan. Setiap negara tentu tidak ingin warga negaranya meninggal di luar negeri.

Sama halnya ketika pemerintah kita didesak masyarakat beberapa tahun lalu untuk melepaskan TKI bernama Satinah. Pemerintah kami panik dan berusaha keras mencegah pemerintah Arab Saudi memenggal kepala Satinah.

Satinah oleh pemerintah Saudi dinyatakan bersalah dan terbukti membunuh serta merampok keluarga majikannya. Pemerintah berhasil membebaskan Satinah dengan membayar ‘hutang darah’ senilai US$1,9 juta.

Pemerintah Brazil tidak ingin begitu saja melepaskan Marco Archer Cardoso Moreira, warga negara yang dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah kita. Menurut pengacara Marco, pemerintah Brazil telah meminta ekstradisi warganya. sehingga dia bisa menjalani hukuman penjara di Brazil.

Tapi pemerintah kami menolak. Alasannya, kedaulatan hukum setiap negara harus dihormati. Apakah pemerintah kita menghormati keputusan pemerintah Saudi?

Bahkan, pada 15 Maret 2013, pemerintah Indonesia mengeksekusi Adami Wilson, warga negara Malawi yang dihukum karena menyelundupkan satu kilogram heroin ke Indonesia.

Wakil Direktur Divisi Asia Human Rights Watch, Phelim Kine, menyebut pemerintah Indonesia munafik karena ia melakukan hukuman mati terhadap orang asing, namun di satu sisi memperjuangkan keselamatan warga negaranya sendiri. Apakah adil?

Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dengan tegas membatasi hukuman mati hanya pada “kejahatan luar biasa”, seperti genosida. Komite Hak Asasi Manusia PBB sendiri menilai pemberian hukuman mati pada kasus narkoba tidak tepat.

Apalagi kualitas keadilan di Indonesia dinilai masih belum bersih. Komisi Yudisial menilai praktik Mafia Hukum masih marak dan terjadi secara rutin.

Indonesia Legal Roundtable (ILR) merilis Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia tahun 2012. Indeks persepsi ini meniru Indeks Negara Hukum yang biasa dipublikasikan di tingkat global.

Berdasarkan lima ukuran tersebut, nampaknya masyarakat memandang potret supremasi hukum Indonesia masih rendah. Lima poin yang dimaksud adalah pemerintahan berdasarkan hukum; independensi peradilan; penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia; akses terhadap keadilan; dan peraturan yang terbuka dan jelas.

Menurut Direktur Eksekutif ILR, Todung Mulya Lubis, indeks supremasi hukum Indonesia secara keseluruhan kurang menggembirakan. Pada skala 1-10, Indonesia hanya mendapat skor 4,53.

Penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia mungkin merupakan titik terendah. Todung juga mengatakan, tidak ada bukti hukuman mati bisa memberikan efek jera. Ia juga berpendapat bahwa hukuman mati tidak konstitusional.

Permasalahan hukuman mati ini telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Jatuh 2-3/PUU/2007, Mahkamah Konstitusi memutuskan hukuman mati tidak melanggar konstitusi. Namun berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dalam hal tersebut Hankie Gunawandan Hillary K. Chimezie menilai hukuman mati bertentangan dengan konstitusi karena melanggar pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan hak asasi manusia.

Dalam kasus eksekusi Minggu malam lalu, nasib Rani Andriani bisa dikatakan berbanding terbalik dengan nasib kedua sepupunya, Meirika Franola alias Ola dan Deni Setia Marhawan. Ola yang notabene bosnya adalah pengedar dan pengendali bisnis narkoba keringanan diberikan oleh SBY dan hukuman matinya diubah menjadi penjara seumur hidup.

Sedangkan Deni mendapat keringanan yang sama pada 25 Januari 2012. Sementara itu, Rani entah kenapa menolak permintaan ampunnya.

Menariknya, Ola kembali melakukan kesalahan. Ia diketahui masih mengendalikan jaringan narkoba internasional dari balik jeruji besi. Dia diduga menjadi dalang peredaran narkoba setelahnya Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap seorang wanita yang mengaku sebagai kurir Ola sambil membawa sabu seberat 775 gram.

Adilkah jika pengusaha besar yang dicurigai mengendalikan mafia masih mendekam di penjara, sambil mengeksekusi kurirnya tanpa ampun?

Saya teringat perkataan guru besar hukum pidana Indonesia, mendiang. Prof. Bapak Roeslan Saleh dalam artikelnya yang berjudul Masalah hukuman mati. Ia berkata, “…ada perbedaan antara hukuman mati ini dan kejahatan lainnya.

Jika hakim melakukan kesalahan dan hukuman mati dilaksanakan, maka tidak mungkin orang tersebut mendapatkan jiwanya kembali. “Di penjara – jika terpidana masih hidup – dia masih bisa diberikan kebebasannya.”

Lalu jika seorang terdakwa yang divonis hukuman mati dieksekusi oleh regu tembak, namun suatu saat terbukti bukan pelakunya, bagaimana cara mengembalikan nyawa yang telah dicabut tersebut? –Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


Laporan penuh:


Pengeluaran Sidney