Soal nepotisme, Indonesia bisa belajar dari kasus ‘Peanuts Air’ di Korea Selatan
- keren989
- 0
Bos Korean Airlines Cho Yang-ho terpaksa mengeluarkan permintaan maaf publik atas perilaku putrinya, Heather Cho. Heather Cho yang bernama asli Cho Hyun-ah menjadi penyebab insiden di Bandara JF Kennedy, New York, Amerika Serikat pada 5 Desember lalu.
Hyun-ah yang juga menjabat sebagai kepala layanan kabin di Korea Airlines meminta pilot kembali ke pintu bandara setelah berjalan sekitar 35 meter. Ia geram karena sang general manager menyajikan kacang mete (macadamia) dalam kemasan, bukan di piring.
Hyun-ah, putri sulung Cho Yang-ho, memerintahkan pesawat kembali ke gerbang bandara dan menyuruh pramugari segera turun dari pesawat. Kejadian ini disaksikan penumpang dan menyebabkan jadwal penerbangan tertunda. Menurut pengakuan pramugara, ia terpaksa berlutut untuk meminta maaf sementara anak bosnya membentaknya. Sang pilot mengaku tak berani menolak perintah putra pemilik maskapai tersebut. Padahal, setiap pergerakan pesawat yang tidak terkoordinasi dan terjadwal berpotensi melanggar aturan penerbangan dan membahayakan keselamatan penumpang.
“Saya minta maaf karena tidak mendidiknya dengan baik,” adalah permintaan maaf Cho Yang-ho kepada publik setelahnya. Masyarakat berang dan menjadikan kasus ini sebagai momen untuk mengecam praktik nepotisme di bisnis yang dijalankan oleh The chaebolsebutan untuk konglomerat di Korea Selatan.
Mengutuk ketika keinginannya tidak dipenuhi dan menyuruh karyawan berlutut untuk meminta maaf adalah praktik yang umum dilakukan para bos perusahaan di sana, dan telah lama menjadi sasaran kritik.
Peristiwa “Air Nuts” ini, begitu masyarakat Korea Selatan menyebutnya, ramai diperbincangkan, juga di media internasional seperti misalnya. Waktu New York.
Kritik juga ramai di media sosial. Seseorang membuat parodi video promosi Korean Airlines dengan plesetan dari “Peanuts Airlines”. Videonya bisa dilihat di sini.
Dalam sekejap, video tersebut sudah ditonton setengah juta kali. Tekanan publik yang kuat menyebabkan Cho Yang-ho memecat putrinya dari posisi eksekutif di sejumlah perusahaan di bawah grup Hanjin yang menjalankan bisnis mulai dari penerbangan, perkapalan hingga manufaktur.
“Saya meminta maaf kepada negara, sebagai pimpinan Korean Air dan sebagai seorang ayah, atas keributan yang disebabkan oleh tindakan bodoh anak saya,” kata Yang-ho saat berbicara kepada media massa yang berkumpul di lobi kantor pusat maskapai di Bandara Internasional Gimpo. , Seoul. .
Saya membaca berita ini ketika saya berada di Peru untuk menghadiri pertemuan perubahan iklim di Lima. Ingatan saya terlintas ketika saya menaiki Korean Airlines dalam perjalanan ke AS bulan lalu. Maskapai ini menjadi salah satu favorit saya karena awak kabinnya yang ramah, makanannya yang lezat, dan transportasi di salah satu bandara terbaik di dunia, Incheon.
Pelajari pelajaran dari Heather Cho
Tingkah Hyun-ah juga mengingatkan saya pada budaya nepotisme yang ada di tanah air, baik dalam bisnis maupun politik. Banyak pemilik dan bos konglomerat yang mempercayakan pengelolaan perusahaan kepada anak-anaknya. Beberapa diantaranya mempunyai modal pendidikan dan kemampuan kepemimpinan yang baik. Mereka memberikan angin segar dalam menjalankan bisnis warisan keluarga. Inovasi dalam produk dan manajemen. Saya tahu banyak pewaris bisnis seperti ini di Indonesia.
Dunia politik Indonesia penuh dengan politik dinasti dari pusat hingga daerah. Mulai dari partai politik hingga organisasi masyarakat.
Saya juga mengenal ahli waris yang memiliki karakter seperti Hyun-ah. Bukan hanya satu. Kapasitas pribadi yang biasa-biasa saja, kemampuan kepemimpinan yang minim dan emosi yang meledak-ledak, serta bertindak “sekehendak saya” hanya karena mengandalkan kekuatan warisan orang tuanya. Khas anak manja. Anak manja yang mudah panik jika keinginannya tidak dipenuhi.
Saya menghadapi hal ini tidak hanya dalam bisnis, tetapi juga dalam politik. Dunia politik Indonesia penuh dengan politik dinasti dari pusat hingga daerah. Mulai dari partai politik hingga organisasi masyarakat. Mulai dari organisasi militer, kepolisian, hingga sipil.
Suatu kali, dalam perjalanan ke Lampung, saya men-tweet tentang politik nasional di provinsi tersebut. Saya mendapat informasi dari pengemudi yang menjemput saya di bandara. Dalam hitungan menit, tanggapan muncul dari ranah Twitter. Politik dinasti rupanya tak hanya ada di Banten, di keluarga Atut Choysiah. Namun mudah ditemukan di banyak negara. Bereproduksi.
Berjalannya waktu pun memberi contoh, anak-anak (dan keponakan) yang hanya mengandalkan kekuasaan dan nama besar keluarga, akhirnya terpinggirkan ketika semangat kekuasaan turun tahta. Termasuk kematian. Dalam pengalaman kerja saya, saya menemukan bahwa orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan pemilik sering kali menggunakan nama pemilik untuk melanggengkan pengaruhnya, dan berusaha bertahan hidup dengan cara apa pun yang memungkinkan. Bentuk nepotisme lainnya, mengaku dekat dengan keluarga pemilik.
Menurut kamus, nepotisme berarti kekuasaan dan/atau kedudukan/kedudukan yang diperoleh atas dasar hubungan kekeluargaan, baik dalam bidang politik maupun bisnis. Awalnya dikatakan berasal dari Italia, keponakan yang hebatkebiasaan paus dalam memberikan perlakuan khusus kepada sepupunya atau keluarganya.
Saya bisa mentolerir nepotisme, dalam artian kebiasaan memberikan jabatan penting kepada keluarga. Asalkan berdasarkan kapasitas dan kemampuan, kenapa tidak? Misalnya kita mengenal dinasti politik Kennedy di AS sebagai dinasti yang dipenuhi tokoh-tokoh berkualitas.
Kuncinya adalah tersedianya tinjauan kinerja yang terukur dan transparan. Dilakukan juga dengan melibatkan panel. Membangun sistem, itulah kuncinya.
Hal serupa juga harus dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Nepotisme dapat terjadi dalam praktik penempatan personel, dalam pendistribusian pekerjaan atau proyek, termasuk dalam pemilihan mitra kerja, misalnya dalam bisnis impor. Nepotisme dapat diperluas menjadi favoritisme. Dan ini di luar hubungan keluarga.
Saya mengenal Jokowi sejak DKI Jakarta menerapkan lelang kerja untuk mengisi posisi tertentu. Rencananya juga akan diterapkan untuk mengisi jabatan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, serta jabatan strategis lainnya, termasuk di jajaran pimpinan perusahaan milik negara. Sebuah awal yang baik, yang harus dilakukan secara konsisten. —Rappler.com
Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.