• November 25, 2024

Bir, Natal di Palestina, dan sedikit tentang Ahok

Palestina bukan hanya tentang Zionisme, tapi juga festival bir. Ramalah, sebuah kota di Palestina bahkan dipimpin oleh seorang wanita non-Muslim. Warga Palestina juga merayakan Natal.

Saya selalu berharap bisa datang ke Palestina pada bulan Oktober. Tepatnya saya ingin bisa hadir dan berada di Ramalah, Palestina saat bulan Oktober tiba. Saya ingin datang dan menikmati Festival Bir Taybeh. Ya, festival bir yang diselenggarakan oleh tempat pembuatan bir lokal. Ramalah, sebuah kota di Palestina yang pernah dipimpin oleh seorang wanita non-Muslim bernama Janet Mikhael. Seorang Kristen yang tinggal dan memimpin di kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Namun sayang, akibat agresi Israel beberapa bulan lalu, festival bir Taybeh ke-10 tidak digelar. Namun keluarga Khoury, pendiri Taybeh dan penyelenggara festival bir, akan mengadakan acara tersebut selama bertahun-tahun yang akan datang. Baginya, festival bir Taybeh adalah wajah lain Palestina. Atau dalam bahasanya,

“Untuk minum segelas bir, membeli sebotol madu lokal atau sebotol minyak zaitun, makan falafel dan mendengarkan musik – dan untuk melihat bahwa kita adalah orang-orang normal, haus akan kehidupan dan kebebasan, dan kita berhak untuk hidup seperti itu.” orang-orang di seluruh dunia.”

Tapi benarkah itu Palestina? Negeri para syuhada, pejuang dan syuhada intifada? Bagaimana negara ini bisa menyediakan ruang untuk festival bir yang jelas-jelas haram? Kita tahu, meski mayoritas penduduk Palestina beragama Islam (98 persen), sedangkan Kristen hanya 1,3 persen, namun Palestina bukanlah negara yang dihuni oleh orang-orang lalim dan fanatik yang menolak pemimpin hanya karena berbeda agama.

Palestina bukan sekedar negara yang bergejolak karena perang melawan Zionisme. Pada satu titik, ini adalah negara yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Pemimpin dipilih berdasarkan pemilihan umum dan kelompok minoritas seperti Druid, Samaria, atau bahkan sejumlah kecil orang Yahudi diakomodasi dan dilindungi oleh otoritas pemimpin lokal.

Jadi jika Anda berpikir Palestina adalah negara Islam, nampaknya paradigma ini perlu sedikit disesuaikan.

Mayoritas penduduk negara ini beragama Islam, namun di kota ini setiap keyakinan dan perilaku penduduknya dibiarkan sebebas mungkin. Dalam wawancaranya dengan Fariz N. Mehdawi, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, pernah mengatakan bahwa agama seseorang di Palestina tidak bisa ditebak hanya dari namanya saja. Abdullah belum tentu beragama Islam. Yesus dan Maria belum tentu Kristen. Masyarakat Palestina juga tidak bisa membedakan agamanya berdasarkan gaya pakaian yang mereka kenakan. Dikatakannya, di Palestina, negara ini mengambil dasar negara sekuler yang menghargai kemanusiaan.

Fariz N. Mehdawi, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, pernah mengatakan bahwa di Palestina agama seseorang tidak bisa ditebak hanya dari namanya saja. Abdullah belum tentu beragama Islam. Yesus dan Maria belum tentu Kristen.

Selain Janet Mikhail di Ramallah, ada juga walikota beragama Kristen bernama Vera Baboun di Betlehem. Jika Anda datang ke Palestina saat Natal, Anda pasti mengira beberapa tempat di negeri ini mayoritas penduduknya beragama Kristen, karena semua orang merayakannya dengan gembira. Selain itu, jika Anda sempat membaca buku-buku tentang sejarah agama-agama dunia, Anda akan memahami bahwa agama Kristen bukanlah agama impor. Namun, agama Kristen lahir di Palestina. Yesus lahir di Betlehem, Palestina. Umat ​​​​Kristen Palestina memiliki nenek moyang yang bisa jadi adalah orang-orang yang pernah bertemu langsung dengan Yesus. Jadi, agama Kristen adalah agama asli di Palestina.

Agama Kristen adalah agama asli Palestina, siapapun yang berkata sebaliknya perlu belajar mengeja sejarah. Tentu saja jika Anda dan saya setuju bahwa Yesus yang lahir di Yudea, Betlehem, mengajarkan agama Kristen di Nazareth, Yerusalem dan tentu saja di Betlehem. Tiga kota berada di wilayah Palestina dan Israel. Bukan tidak mungkin penduduk Kristen Palestina saat ini merupakan keturunan langsung dari umat Yesus yang pernah hidup bersama-Nya.

Jadi ketika Mahmoud Abbas, mantan presiden Palestina, menghadiri Misa Natal di Betlehem, tidak ada yang istimewa. Bukan soal halal dan haram yang kita perdebatkan di negara kita, tapi soal akhlak dan budi pekerti. Menariknya, di negara asal kita, Indonesia, kelompok sektarian seperti Front Pembela Anu dan Hizbut Anu kerap menjual Palestina sebagai komoditas. Menjual kesedihan, menjual solidaritas seringkali didasari simpati agama. Namun, mereka mengabaikan untuk melihat Ramallah dan apa yang telah dilakukan Mahmoud Abbas di Palestina sebagai model rujukan toleransi.

Di Indonesia, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama hendak dicopot dari jabatan gubernur karena beragama Kristen, hal serupa juga terjadi pada Camat Lenteng Agung, Susan. Sementara itu, dua wanita Kristen di Palestina bahkan memimpin sebuah kota sebagai walikota.

Maka ketika sebagian dari kita meneriakkan seruan jihad di Palestina, tanyakan dulu: “Haruskah kita berjihad di kota yang dipimpin oleh orang-orang kafir, dalam hal ini Katolik Roma?”

Kalau Palestina, tanah jihad yang sering dijual kesedihan, bisa menoleransi pemimpin kafir dan komunis, kenapa kita di Indonesia tidak? Mengapa Anda seorang komunis? Palestina sekali lagi mengejutkan kita dengan keberadaannya Hizb al-Sha’b al-Filastini. Atau Partai Rakyat Palestina yang komunis. Ketika para ulama, ustadz, dan tokoh agama kita memusuhi komunis, sosialisme dan komunisme memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Pada tahun 1969 anggota sudahJabhah al-Sha`biyyah li-TaHsungai gandum hitamTdi dalam, atau Front Pembebasan Tahanan Palestina Israel, yang berhaluan Marxis-Leninis, membajak sebuah pesawat untuk menuntut kemerdekaan Palestina. Jadi kalau di Palestina paham Komunis-Sosialis-Marxis dibiarkan, itu bukan masalah besar. Negara ini telah mengakui bahwa pejuang komunis berperan dalam upaya kedaulatan Palestina. Tak hanya itu, Bassam as-Salhi, pemimpin Partai Rakyat Palestina yang komunis, pernah dipercaya presiden Palestina menjadi menteri kebudayaan.

Maka ketika Palestina masih menjadi tanah jihad melawan Zionis, maka mereka yang menjual kesedihan dan kesedihan wajib mengetahui apa dan siapa Palestina sebenarnya. Ini adalah negara yang membiarkan kota-kotanya dipimpin oleh non-Muslim, ini adalah negara yang menyelenggarakan festival bir, ini adalah negara yang memberi ruang bagi komunisme, dan yang jelas adalah negara yang presidennya tidak hanya mengucapkan Selamat Natal tetapi juga menghadiri Misa Natal.

Betapa jauhnya realita yang kita bayangkan antara Palestina sebagai negeri jihad dan Palestina sebagai negara sekuler. Jadi jika nanti ada ajakan untuk berdonasi atau bahkan berjihad, pastikan siapa dan apa yang Anda bela di Palestina. Jangan hanya terjerumus pada propaganda agama, dan melupakan akal sehat dan hati nurani. Karena manusia tidak seharusnya mengenal agama. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


agen sbobet