Charlie Hebdo dan impian kebebasan yang terbunuh
- keren989
- 0
Apa yang dilakukan Charlie Hebdo terhadap Nabi Muhammad bukanlah hal baru. Sedangkan untuk melontarkan hal-hal yang menyindir keyakinan orang lain, Prancis sudah melakukannya sejak lama. Bukan hanya Islam, tapi juga seluruh agama ketuhanan di dunia.
Jauh sebelum itu, filsuf Perancis, Voltaire, menulis lakon satir dalam lima babak dengan judul Mahomet. Voltaire menyusun naskah ini pada tahun 1736 sebagai kritik terhadap kaum fundamentalis yang anti-kritis dan memendam kebencian.
“Ditulis untuk menentang pendiri sekte palsu dan biadab yang kepadanya saya lebih pantas menulis sindiran tentang kekejaman dan kekeliruan seorang nabi palsu,” kata Voltaire.
Sindiran dan kebebasan berekspresi di Prancis sudah ada jauh sebelum munculnya Negara Islam atau ISIS. Bagi masyarakat Prancis, kebebasan berpendapat dan berekspresi itulah yang menjadikan Prancis sebagai Prancis. Suatu kebanggaan tersendiri karena mereka mampu menahan segala kritikan dan menertawakan sindiran terhadap diri mereka sendiri. Sindiran ini juga berujung pada terbunuhnya 12 orang dalam insiden yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis di tabloid Charlie Hebdo.
Serangan itu membunuhnya Stéphane Charbonnier (“Charb”), pemimpin redaksi Charlie Hebdo, serta Jean Cabut, Bernard Velhac, Georges Wolinski – ketiganya adalah kartunis Charlie Hebdo – dan Bernard Maris, penulis Charlie Hebdo. Menariknya, dalam kejadian tersebut ada seorang petugas polisi yang diyakini beragama Islam bernama Ahmed Merabet yang turut tewas dalam penyerangan tersebut.
Tapi siapa sebenarnya Charlie Hebdo? Charlie Hebdo merupakan tabloid satir yang terbit setiap hari Rabu. Tabloid yang didirikan pada tahun 1969 ini berhenti terbit antara tahun 1981 dan 1992. Charlie Hebdo dikenal sebagai tabloid yang memuat gambar-gambar provokatif yang menyerang segala bentuk otoritas, termasuk politisi, agama, bahkan militer.
Pada edisi 20 Desember, Charlie Hebdo membuat kartun yang menggambarkan Perawan Maria melahirkan Yesus berwajah babi.
Secara ideologis, Charlie Hebdo adalah media sayap kiri dengan kecenderungan ateis. Agama adalah salah satu target provokasinya yang paling banyak dipilih.
Apakah tabloid ini anti Islam? Tentu saja tidak, pada edisi 20 Desember, Charlie Hebdo menerbitkan kartun yang menggambarkan Perawan Maria melahirkan Yesus berwajah babi. Juga di Shoah (bencana) Hebdo, saat majalah ini menghina orang Yahudi karena membiarkan warga Palestina dibantai. Sesuatu yang mustahil untuk ditulis oleh Republika.
Perselisihan utama yang mengawali kebencian umat Islam terhadap tabloid ini adalah ketika Jyllands-Posten, sebuah majalah di Denmark, menerbitkan karikatur Nabi Muhammad pada tahun 2005. Setahun kemudian, Charlie Hebdo menerbitkan ulang gambar tersebut, serta karikatur yang menggambarkan Nabi Muhammad sedang menangis dengan judul “Sulit sekali dicintai oleh orang idiot.” Gambar ini dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Protes resmi kemudian dilancarkan oleh Masjid Agung Paris dan Persatuan Organisasi Islam di Prancis, namun Mahkamah Agung Prancis membebaskan Charlie Hebdo.
Banyak intelektual Muslim dan pemimpin agama Islam di dunia yang mengecam tindakan tersebut. Mereka menilai apa yang dilakukan kelompok ekstremis ini bukanlah Islam. Namun Azis Anwar Fachrudin, intelektual muda Muslim Indonesia, punya pandangan berbeda. Menurut Azis, akar kekerasan terkait penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW mempunyai dasar yang kuat dalam Islam.
Ibnu Taimiyah pernah menulis buku yang berjudul “as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul” yang artinya kira-kira Pedang terhunus bagi para pemfitnah Rasulullah.
Azis mengatakan, banyak contoh permasalahan hukum yang melatarbelakangi pembunuhan terhadap orang yang menghina Nabi. Salah satunya adalah peristiwa Ka’ab bin Al Asyraf. Meski demikian, ia menekankan perlunya kajian mendalam. “Tidak bisa disembunyikan bahwa dalam khazanah klasik Islam ada ketentuan hukuman mati bagi yang menghina Nabi,” ujarnya.
Tapi apakah ini satu-satunya cara? Dalam kisah klasik, Nabi Muhammad dikisahkan bahwa beliau biasa memberi makan kepada orang-orang Yahudi buta yang menghinanya setiap hari. Orang Yahudi ini menyebut nabi sebagai penyihir dan pembohong. Nabi tidak tersinggung, namun ia memberi makan orang Yahudi tersebut hingga akhirnya nabi meninggal. Ketika peran nabi digantikan oleh Abu Bakar, orang Yahudi menyadari perubahan tersebut dan kita mengetahui bahwa orang Yahudi masuk Islam di akhir cerita ini.
Yang menarik adalah Charlie Hebdo bukanlah tabloid murni. Pada tahun 2000, salah satu jurnalis Charlie Hebdo, Mona Chollet, dipecat karena memprotes keras Philippe Val, editor tabloid tersebut. Mona protes karena Charlie Hebdo salah menulis orang Palestina sebagai orang barbar. Mona menilai Val mengabaikan fakta bahwa Palestina adalah warga negara berdaulat yang mengalami perang.
Mona Chollet tentu bukan orang pertama yang memecat Val. Sebelumnya, kolumnis Charlie Hebdo Philippe Corcuff juga dipecat karena melakukan protes. Dalam surat yang ditulisnya pada tanggal 3 Desember 2004, beberapa tahun setelah dia pergi, Corcuff menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan kebijakan editorial Charlie Hebdo yang mempromosikan Islam sebagai agama, Islam sebagai gerakan politik, dan Islam sebagai ‘penyebab pengabaian fundamentalisme. .
Di Indonesia sendiri, pasal penodaan agama memakan banyak korban. Ahmadiyah dan Syiah adalah contoh terbaru bagaimana aturan-aturan ini digunakan oleh kelompok fundamentalis untuk membunuh dan mengusir. Namun soal penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, Indonesia punya catatan sejarah tersendiri.
Dalam Majalah Sastra edisi Agustus 1968, sastra Indonesia diguncang dengan terbitnya cerita-cerita pendek profetik yang membuat marah umat Islam. Cerpen panjang berjudul Langit menjadi mendung menceritakan kisah turunnya Nabi Muhammad SAW ke bumi. Dalam cerita ini terdapat penghinaan terhadap Tuhan dan dialog yang dianggap menghina Islam. Kipandjikusmin, hingga saat ini identitasnya masih belum jelas.
Pada bulan Agustus 1968, sastra Indonesia diguncang dengan terbitnya cerita pendek profetik yang membuat marah umat Islam. Cerpen panjang berjudul ‘Langit Makin Mendung’ menceritakan tentang turunnya Nabi Muhammad SAW ke bumi.
Terlebih lagi, penggalan cerita menggambarkan para pemimpin agama sebagai tokoh yang gila uang dan mengagung-agungkan petani komunis yang baik hati. Cerpen ini pada masanya dipandang sebagai upaya mengembalikan pemahaman politik yang dianggap sesat. HB Jassin, penanggung jawab majalah Sastra, kemudian dijatuhi hukuman percobaan selama satu tahun karena menolak mengungkapkan identitas penulis.
Kasus terbaru adalah ketika pemimpin redaksi Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat diangkat mengira dalam kasus penodaan agama. Pada tanggal 3 Juli 2014, Jakarta Post menerbitkan karikatur ISIS yang dianggap menyinggung umat Islam. Kita tahu ISIS tidak mewakili Islam, dan mengkritik ISIS tidak sama dengan mengkritik Islam. Namun tentu tidak semua orang bisa berpikiran seperti itu.
Charlie Hebdo mungkin membela kebebasan berekspresi, namun kebebasan itu harus dibayar mahal. Pada tahun 2006 ketika mereka membagikan karikatur Nabi Muhammad, kerusuhan merebak di kalangan umat Islam. 100 orang meninggalsebagian besar Muslim, di Nigeria karena kebencian sektarian.
Apakah ini harga yang adil untuk sebuah kebebasan? Atau adakah cara yang lebih cerdas untuk memberikan pendapat?
Namun pada akhirnya, apakah kita harus membunuh untuk membuktikan bahwa kita benar? —Rappler.com
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.