• October 6, 2024

Imam Nahrawi adu belut sepak

memulai kompetisi sepak bola terbaik indonesia, Liga Super Indonesia (ISL), terlambat dari jadwal. Apa yang seharusnya diadakan pada 21 Februari telah ditunda.

Pasalnya, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) belum memberikan rekomendasi penyelenggaraan kompetisi tersebut. Langkah pertama yang dilakukan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) adalah mereformasi Federasi Sepak Bola Indonesia yang sudah tidak ada lagi.

Sepintas lalu, yang terlihat jelas adalah jadwal kompetisi yang molor. Dan yang jadi kambing hitam sepertinya adalah Kemenpora dan BOPI yang satu kubu (melawan kubu lain tentunya PSSI). Alasannya adalah kedua institusi tersebut pilih-pilih tentang semua persyaratan implementasi. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka rekomendasi tidak akan dikeluarkan.

Apa syaratnya? Persyaratan tersebut mencakup legalitas, keuangan, pembinaan, fasilitas pemain muda, dan kegiatan sosial.

Sejumlah suporter siap menyerang Kementerian Pemuda dan Olahraga karena sepak bola, hiburan utama mereka, molor dari jadwal. Komisi X DPR RI selaku komisi olahraga pun ikut menyalahkan PSSI dan BOPI. “Syarat tersebut tidak layak untuk diberlakukan,” kata Ketua Komisi X Teuku Riefky Harsya dalam tulisannya yang dimuat di tribunnews.com.

Jangan selalu percaya pada fans karena mereka bisa tergerak oleh klub. Selain itu, jangan selalu percaya pada anggota dewan karena kebanyakan dari mereka hanya mengejar popularitas. Percaya saja pada fakta cara kerja dorong dan tarik memulai itu dimulai. Dan ibarat belut, betapa rezim di PSSI selalu mulus menghindari gerakan kebangkitan dari luar organisasi.

Belajar dari Mendieta

Pernahkah Anda mendengar pemain asing meninggal karena klub tidak dibayar? Dialah Diego Mendieta, pemain asing asal Paraguay yang meninggal di rumah sakit pada tahun 2012 tanpa mampu membiayai pengobatan. Gajinya dari klubnya, Persis Solo, menunggak, Mendieta tak bisa makan. Ia juga meninggal setelah tertular penyakit tifus, penyakit pencernaan.

Ya, kasus itu terjadi 3 tahun lalu. Mungkin itulah terakhir kali Anda membaca berita sepak bola dalam negeri. Setelah itu, Anda bisa bersumpah tidak akan mengikutinya lagi karena kekecewaan yang kian memuncak. Sakit di hati tidak bisa diobati. Lagipula, kecintaan kita terhadap sepak bola bisa dengan mudah kita salurkan ke Premier League, La Liga, dan Serie A Italia yang lebih gemerlap, terorganisir, dan profesional.

Namun ketika meninggalkan berita sepak bola 3 tahun lalu, kasus yang sama masih terjadi. Masih banyak lagi kasus tunggakan gaji pemain yang tak kunjung dibayar klub meski sudah bertahun-tahun. Hingga tahun 2015, masih banyak pemain yang belum dibayar. Kebanyakan lebih dari satu musim kompetisi. Namun sebagian besar pemain enggan membeberkannya. Alasannya, mereka takut dengan klub yang mempekerjakan mereka.

“Kata administrator, apakah kamu masih ingin bermain di sini? Jika Anda masih ingin bermain, tidak apa-apa. Jangan protes,” ucap salah satu pemain menirukan perkataan administrator. Padahal, gaji saya di klub masih Rp 200 juta, tambahnya. Klub telah menghindari gajinya selama lebih dari tiga musim.

Bagi kita yang menonton dari luar, kenapa pemainnya tidak mogok saja? Atau mengapa mereka tidak memboikot kompetisi tersebut? Masalahnya, hubungan antara klub dan pemain mirip dengan hubungan antara pekerja dan perusahaan. Pilihannya adalah menerima persyaratannya atau Anda akan menganggur dan tidak punya pekerjaan. Dan seperti pekerja, pemain tidak berdaya dalam situasi seperti ini.

Terobosan Menteri Nahrawi dan tim 9

Memasuki tahun 2015, kemeriahan baru muncul di sepak bola Indonesia dengan janji Menpora Imam Nahrawi untuk mereformasi PSSI. Tim Sembilan dibentuk. Anggotanya mulai dari akademisi seperti Imam Prasodjo, sosiolog Universitas Indonesia, hingga mantan Wakil Kapolri Komjen (Purn) Oegroseno.

Tujuannya untuk memperbaiki permasalahan klub. Dan salah satunya adalah dengan menegakkan aturan dan persyaratan bermain klub yang dijelaskan dalam peraturan perizinan Federasi Sepak Bola Asia (AFC).

Poin-poin peraturan tersebut antara lain membahas 5 aspek yang harus dipenuhi klub agar bisa tampil di kompetisi resmi. Yakni aspek pembangunan pemuda, infrastruktur, administrasi, hukum dan keuangan. Dengan persyaratan tersebut, badai seperti Mendieta bisa dihindari. Tak ada lagi cerita pemain merana karena klub menggelapkan gajinya.

Selain itu, yang lebih penting adalah dasar hukum klub tersebut. Klub sepak bola harus berbadan hukum. Bentuknya bisa bermacam-macam. Memerlukan perseroan terbatas (PT) atau koperasi. Kebanyakan klub di Indonesia enggan mengadopsi format PT—masalah ini bisa dibahas di artikel lain.

Bahkan klub sekelas Real Madrid dan Barcelona pun berbadan hukum kooperatif. Dengan memiliki klub sebagai badan hukum, hubungan mereka dengan pemain dan segala konsekuensi yang ditimbulkannya (gaji, kontrak, dan ikatan kerja sama lainnya) bisa lebih jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Faktanya, banyak klub ISL yang tidak berbadan hukum.

Kemenpora dan BOPI juga sepakat: Tidak akan ada kompetisi tanpa terpenuhinya syarat-syarat tersebut. memulai dijadwalkan pada 21 Februari, tidak dilaksanakan karena tidak memiliki izin keamanan. Klub memberontak. Sebanyak 18 klub mencanangkan Deklarasi Bandung pada 20 Februari. Isinya, menolak keputusan Menpora dan BOPI. Alasan yang digunakan adalah “rekaman lama” yang diputar berulang kali: FIFA melarang intervensi pemerintah dalam sepak bola dan mengancam akan memberikan sanksi yang berat.

Komisi “Syarat-syarat ini bisa dipenuhi seiring berjalannya waktu,” kata Teuku Riefky Harsya, ketua komisi. Masalahnya, seperti yang juga diketahui, sejak Mendieta meninggal dunia, janji tersebut sudah diusung sejak lama oleh pihak klub. Dan tidak pernah selesai.

Kementerian Pemuda dan Olahraga menyadari hal tersebut. Gatot S. Dewa Broto, Deputi V Bidang Harmonisasi dan Kemitraan yang juga anggota Tim Sembilan, tak yakin dengan imbauan “Kita jalani saja”.

Sebab, seperti saat saya hubungi, dia bilang: “Kalau kita permisif, begitu izin keluar, semuanya akan beres. kehilangan, tidak dapat berhenti. Siapa yang bisa melewati setengah kompetisi? Ini adalah aliran massa yang sangat tinggi dalam sepak bola. “Jika kita tidak memperbaikinya dari awal, itu tidak akan mungkin terjadi sampai kompetisi berakhir.”

Kemenpora juga siap dengan alibi klub dan PSSI yang bersembunyi di balik kata “intervensi”. Memang, FIFA mengirimkan surat ancaman akan memberikan sanksi jika pemerintah melakukan intervensi terlalu jauh. Namun, hal itu dikarenakan informasi yang diterima federasi pimpinan Sepp Blatter itu setengah hati. “Kami juga akan mengirimkan surat ke FIFA untuk menjelaskan kondisi sebenarnya. Padahal, yang kami lakukan adalah menegakkan aturan di FIFA peraturan perizinan klub,” dia berkata.

Dalam peraturan tersebut, klub harus mematuhi hukum negara. Salah satu pasalnya menyebutkan klub dan PSSI harus tunduk legislasi nasional.

“Dalam peraturan tersebut, FIFA mewajibkan klub untuk mematuhi hukum nasional. Masalah pajak, kontrak pemain, status imigrasi pemain, semuanya menyusul legislasi nasional. Penggunaan stadion juga terkait legislasi nasional. Apakah kemudian harus mengikuti hukum internasional? Ini soal kepatuhan hukum, bukan intervensi pemerintah. Kalau disebut intervensi, apakah kebal hukum?” dia berkata. —Rappler.com


Agung Putu Iskandar atau Aga Agung adalah mantan jurnalis Jawa Pos. Dia meliput Piala Dunia di Sao Paolo, Brasil pada tahun 2014. Aga yang kini tinggal di Jakarta memilih menjadi penulis lepas sambil mengamati dunia sepak bola. Selain menulis tentang olahraga, ia juga peduli dengan masalah sosial dan hukum. Ikuti terus di Twitter @aagung dan blog pribadinya agungputu.wordpress.com.


Keluaran SGP