Kerusuhan Aceh Singkil, perkelahian atas nama IMB
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia—Bentrokan warga penentang gereja di Aceh Singkil dan jemaah gereja tersebut bukan disebabkan oleh perselisihan sebulan atau dua bulan, melainkan sejak tahun 1979, usai adanya kesepakatan antara umat Kristen dan Islam.
“Kesepakatan umat Islam dan Kristen sepakat untuk memperbolehkan satu gereja dan empat undung-undung (setingkat musala),” kata Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Wilayah Aceh Singkil, Roswin, kepada Rappler, Rabu 14 Oktober. .
Namun kemudian jemaat gereja bertambah.
“Itu menyebabkan sedikit riak,” katanya.
Akhirnya pada tahun 2001 perjanjian tersebut diperbaharui.
“Warga non-Muslim diberikan kesempatan untuk mengajukan izin ke Pemerintah Kabupaten Singkil,” ujarnya.
Dia tidak begitu ingat rumus dan syaratnya. Setelah kesepakatan disepakati, ternyata warga masih menganggap gereja-gereja tersebut masih berfungsi.
“Sejak saat itu, banyak terjadi koreksi dan pengaduan dari umat Islam kepada pemerintah kabupaten untuk mengatur gereja-gereja yang tidak memiliki izin,” ujarnya.
Respons Pemkab dinilai terlambat, karena adanya penyegelan atau garis polisi baru dipasang tahun 2012, tiga tahun lalu.
“Seiring berjalannya waktu, garis polisi menghilang dan aktivitas kembali normal,” ujarnya.
Kenyataan bahwa gereja tersebut digunakan kembali menyebabkan warga sekitar yang tidak setuju dengan pembangunan gereja tersebut mengajukan protes kepada pemerintah kabupaten. Mereka menggelar aksi damai.
Namun dalam aksi damai tersebut, massa menuntut pembongkaran gereja. Mereka hanya memberi waktu seminggu untuk merobohkannya atau mereka mengambil alih pembongkaran. Aksi tersebut dipimpin oleh Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil.
Pada tanggal 6 Oktober, pemerintah meresponsnya dengan mengadakan pertemuan dengan para pemimpin agama.
“Tetapi kecuali perwakilan Kristen, mereka tidak diundang,” katanya.
Roswin mengaku tidak mengetahui alasan perwakilan umat Kristiani tidak diundang. Namun dia hadir sebagai wakil dari Muhammadiyah.
Apa isi pertemuannya?
Pertama, tuntutan sebagian masyarakat untuk membongkar tempat ibadah yang tidak berizin, ujarnya.
Ada 10 bangunan gereja tak berizin yang menjadi sasaran pembongkaran dalam waktu seminggu.
“Yah, mungkin karena tidak sesuai dengan niat yang mereka minta, dan pada Selasa (13 Oktober) lalu. tenggat waktu,” ujarnya. Sehingga terjadilah bentrokan.
Perjanjian di bawah senjata
Pendeta Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) resort (wilayah) Kuta Karangan, Kabupaten Aceh Singkil, Erde Berutu, membenarkan adanya kesepakatan pada tahun 1979 dan 2001. Namun menurutnya kesepakatan tersebut dibuat dalam tekanan.
“Pada tahun 2001 kami berada di bawah tekanan. Dulu kami dipaksa oleh aparat keamanan,” katanya kepada Rappler. Bahkan jemaah pun tidak berani pulang jika tidak menandatangani perjanjian.
Pendeta GKPPD Keras Resort, Kabupaten Aceh Singkil, Domeniktus Padang mengamini pernyataan Erde. Ia mengeluhkan dalam setiap pertemuan yang dibicarakan hanyalah pembongkaran gereja.
“Terkadang pertemuan itu hanya sekilas. Gereja terus-menerus dibahas. Mengapa ini hanya sebuah gereja? “Tapi ini bukan cara menata gereja ini sedemikian rupa sehingga kondusif,” ujarnya.
Ia menyayangkan pertemuan yang digagas Forum Kerukunan Umat Beragama ini tidak efektif.
Jadi kita lihat kerukunan di sana hanya sebatas tatap muka, belum tentu hati ke hati, ujarnya.
Ia pun menyayangkan persahabatan yang terjalin tidak sampai ke akar-akarnya, hanya antar karakter saja. Hal ini belum sampai ke masyarakat.
Ia mengaku tak henti-hentinya memikirkan bentrokan ini karena pihak gereja dan masyarakat setempat sudah menjalin hubungan sejak gereja berdiri pada tahun 1963.
“Kenapa sekarang ada bentrokan,” katanya.
Meski baru ada kesepakatan antara warga dan jemaah, serta pada tahun 2012 sejumlah gereja juga disegel, namun bentrokan tidak terjadi.
Terkait perjanjian ini, peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono mengatakan bahwa perjanjian tahun 1979 dan 2001 sebenarnya belum bisa disebut perjanjian karena terdapat indikasi adanya tekanan pada saat penandatanganan perjanjian tersebut.
“Perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1979 memaksa penggunaan semua senjata,” kata Andreas.
Kesepakatan yang disepakati secara sepihak ini akhirnya menimbulkan ketidakpuasan salah satu pihak yaitu jemaah gereja. Perjanjian tersebut diperpanjang kembali hingga tahun 2001.
HRW: Awal SKB Dua Menteri
Keadaan semakin parah ketika pemerintah saat itu dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dua Menteri nomor 8 dan 9 tahun 2006.
Salah satu klausulnya menyatakan bahwa pendirian tempat ibadah harus mendapat dukungan minimal 60 orang dalam bentuk tanda tangan, dan harus mendapat pengesahan dari kepala desa atau lurah.
Menariknya, Bupati Irwandi Yusuf (yang saat itu menjabat) di Singkil memperketatnya dengan menambah syarat persetujuan dari 150 orang dan berlaku surut, kata Andreas.
Artinya semua gereja, termasuk yang didirikan pada tahun 1963, harus mematuhi persyaratan tersebut, atas nama kerukunan umat beragama. Konsep kebebasan beragama telah bergeser ke kerukunan umat beragama.
Mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati mayoritas, atas nama kerukunan umat beragama, ujarnya.
Akibat SKB kedua menteri ini, sebanyak 19 gereja di Aceh Singkil ditutup pada tahun 2012. Gereja-gereja yang ditutup termasuk yang didirikan pada tahun 1932-2003.
“Tetapi sebagian lagi digunakan secara rahasia. Itu yang menjadi permasalahannya,” ujarnya.
Baca laporan Human Rights Watch tentang gereja-gereja di Aceh Singkil Di Sini.
Penampilan PPI di babak final
Setelah itu, suasana di Singkil kurang kondusif. Pertemuan yang dilakukan antara warga penentang gereja dengan perwakilan jemaah juga berlangsung alot.
Lalu muncullah PPI Aceh Singkil. Pendeta Erde dan Domeknitus mengaku tidak tahu apa-apa tentang PPI. Mereka juga tidak tahu karakternya.
Tapi Roswin dari Muhammadiyah tahu betul siapa PPI itu.
“Mereka muncul baru-baru ini dan tidak pernah hadir dalam pertemuan tersebut,” kata Roswin.
Menurut Roswin, PPI-lah yang kemarin mengajak masyarakat menggelar aksi damai di depan Kantor Bupati Aceh Singkil, hingga berakhir bentrok keesokan harinya.
Siapa mereka?
“Mereka sudah ada sejak FPI tidak kuat lagi di sini,” ujarnya. “Iya, sama saja orangnya, pertama-tama orang FPI.”
Saat ini Aceh Singkil masih dalam pengawasan polisi, namun ribuan warga mengungsi tanpa batas waktu ke perbatasan Sumut.—Rappler.com
BACA JUGA